Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 17 April 2019 merupakan pemilu pertama secara serentak. Pelaksanaannya diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada Januari 2014 atas permohonan dari Koalisi Masyarakat Sipil.Â
Menjadi sejarah baru atau mungkin "hanya" sebagai eksprimen demi atas nama efisiensi atau sebuah desakan publik. Semoga pemilu serentak ini menjadi yang pertama dan terakhir. Biarkan hanya menjadi kenangan atau menjadi balada buat rakyat Indonesia.Â
Tahapan pemilu serentak ini memang menyita waktu. Selain menguras anggaran yang tidak sedikit jumlahnya, hingga mencapai RP. 24,9 Triliun. Juga menguras tenaga yang sangat melelahkan. Sepertinya "pemilu serentak" tersebut tanpa didahului analisa dan pendalaman masalah yang akurasi.Â
Penulis sesudah mencoblos untuk menunaikan hak demokrasi di TPS 056 Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Selanjutnya melakukan pantauan di beberapa TPS di Jakarta, untuk membuktikan efisiensinya secara holistik terhadap pemilu serentak.Â
Ternyata dalam temuan, bukan terjadi efisiensi tapi berbiaya tinggi bila ditinjau dari penyerapan waktu dan tenaga yang berdampak pada biaya dan kesehatan para petugas KPPS, PPS, PPK, Panwas dan aparat keamanan.Â
Kelihatan memberatkan adalah persiapan pelaksanaan atau pencoblosan pileg sesudah pilpres. Pengaturan dan perhitungan pada pileg yang juga sangat melelahkan. Karena yang menjadi tanda tanya, berapa petugas yang bisa menyelesaikan perhitungan pileg sesuai waktunya.Â
Kondisi ini yang sangat menyita waktu dan tenaga harus prima. Bagaimana kalau tenaga TPS kurang ? Pastilah mereka lembur, untuk menyeselesaikan perhitungan secara maraton. Karena tidak bisa tertunda pada besok harinya.Â
Tentu hal ini membuat petugas kelelahan sampai berjatuhan korban, demi honor Rp. 500.000.- sungguh ironis dan tragis pemilu serentak 2019. Karena adanya pertaruhan tanggungjawab dan hak atau honor yang diterimanya. Ahirnya menjadi malapetaka.Â
Sepertinya tidak sebanding jumlah tenaga dengan waktu yang dibutuhkan dalam perhitungan. Sementara waktu perhitungan dan rekapitulasi harus up date, tidak bisa tertunda.Â
Solusi Pemilu SerentakÂ
Bila prinsip efisiensi biaya dan tenaga serta menghindari mobilisasi pemilih yang menjadi motivasi dasar dalam pemilu serentak. Penulis coba beri usul kepada pemerintah (Presiden dan DPR) dengan konsentrasi pemilu dibagi waktu pelaksanaannya sesuai kategori atau level pemilihan sebagai berikut:Â
Pertama: Pilpres tetap pelaksanaannya tunggal. Karena bila digabung dengan pileg dan juga pilkada. Maka pilpres tidak akan bermutu dan efektif serta pemilih akan terganggu pada tekanan dari si calon peserta pileg dan juga akan mengorbankan kampanye pilpres, karena tentu lebih mengutamakan pribadi si caleg. Disamping perhitungannya akan memakan waktu dan korban.
Kedua: Pileg kembali ke metode lama. Pileg harus tersendiri seperti pilpres. Jangan digabung dengan pilpres atau pilkada. Disamping perhitungan melelahkan, juga calon legislatif tidak akan maksimal bekerja untuk pilpres dan pilkada. Serta pemilih bisa konsentrasi dalam pilihannya dan tidak terganggu pada perbedaan pilihan pada pilpres. Tidak saling memanfaatkan.Â
Caleg tentu akan mendahulukan kepentingan pribadi. Berpotensi merusak hak demokrasi masyarakat dan juga berpotensi terjadi "keterpaksaan" memilih atau mengikuti pemilu dengan pilihan tidak sesuai kehendak pemilih. Tapi keterpaksaan berbeda, karena si caleg yang menjadi jagoan si pemilih berbeda dukungan pada pilpres.Â
Ketiga: Pemilihan gubernur (pilgub) dilakukan serentak seluruh provinsi dan terpisah dengan pilbup/pilwali. Juga tidak bisa digabung atau serentak. Karena juga akan saling mengganggu atau bersinggungan kepentingan si calon terhadap pemilih pada Pilgub dan Pilbup/Pilwali.Â
Jadi kesimpulannya, tidak ada pemilu serentak pilpres, pileg apalagi akan lebih bermasalah bila serentak dengan pilgub dan pilbup/pilwali. Kecuali serentak diadakan dalam kategori yang sama. Momentum serentaknya hanya pada satu kategori atau satu level pemilihan.Â
Maka rencana pemilu serentak diperluas dengan pilpres, pileg dan pilkada agar tidak dilanjutkan alias stop rencana tersebut.Â
E-Voting Lebih Efisien dan Efektif?Â
Electronic voting atau E-Voting mungkin lebih efisiensi dan efektif dari segala pertimbangan atau sudut pandang dalam melaksanakan pemilu serentak. Namun syarat utama tentu e-KTP nya yang harus benar-benar valid dan cerdaskan masyarakat menghadapi teknologi.
Tidak ada e-KTP bodong. Sosialisasi juga harus dilaksanakan dengan benar dan bermutu di masyarakat. Karena umumnya masyarakat kita masih merem teknologi.Â
Regulasi kepemiluan yang ada selama ini sangat lemah terutama untuk melindungi para pemilih. Sebaliknya justru lebih melindungi kandidat dan parpol. Namun, perbaikan regulasi ini juga mesti berbarengan dengan perbaikan parpol secara umum.Â
Khususnya parpol harus kembali menerapkan atau mengutamakan kadernya dalam menentukan calon-calon pemimpin dan calon-calon legislator. Jangan berdasar pada yang mampu membayar saja. Hal ini yang paling merusak perjalanan demokrasi Indonesia.Â
Maka diharapkan pemerintah merevisi UU. Pemilu dan UU. Parpol agar lebih bermutu. Termasuk peraturan-peraturan KPU janganlah gonta-ganti sesuai kehendak penguasa yang nantinya akan ikut pemilu selanjutnya. Rakyat akan jadi tumbal demokrasi, semua itu harus dihindari demi peningkatan bobot dan peradaban demokrasi Indonesia. Â
Keterangan Video: Penulis saat menyaksikan perhitungan suara Caleg pada salah satu TPS di Kecamatan Palmerah Jakarta Barat (17/04)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H