Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyasar Dana Insentif Daerah Pengelolaan Sampah Plastik

20 April 2019   17:31 Diperbarui: 20 April 2019   17:44 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Lokasi TPA Tamangapa Kota Makassar kurang 6 meter dari pemukiman. Sesungguhnya Makassar tidak layak diberi apresiasi DID. Sumber: Pribadi 

Pemerintah berupaya mewujudkan salah satu gerakan serta manfaat  hidup bersih, sehat dan bernilai budaya. Salah satu wujudnya adalah memberi apresiasi kepada daerah yang telah mengelola sampahnya. Sesungguhnya patut diapresiasi, bila aplikasinya benar dan bertanggungjawab. Tapi sebaliknya disanksikan bila hanya berdasar laporan asal ibu menteri senang atau hanya menyenangkan Presiden Joko Widodo. 

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) memberikan apresiasi insentif kepada 10 pemerintah daerah (pemda) yang terbukti serius dan berprestasi dalam menangani dan mengelola sampah plastik melalui Dana Insentif Daerah (DID). Insentif ini bukan salah, tapi perlu kehati-hatian (baca: Bantu Pengelolaan Sampah, KLHK Beri Dana Insentif untuk Depok) 

Daerah tersebut ialah Provinsi DKI Jakarta (Rp. 9,02 M), Kota Surabaya (Rp. 9,33 M), Kota Bogor (Rp. 8,97 M), Kota Balikpapan (Rp. 11,06 M), Kota Malang (Rp. 9,66 M), Kota Banjarmasin (Rp. 9,34 M), Kota Cimahi (Rp. 9,33 M), Kota Depok (Rp. 9,12 M), Kota Padang (Rp. 9,12 M) dan Kota Makassar (Rp. 8,9 M). Mengherankan juga, bagaimana kriteria menentukan angka-angka tersebut diatas. 

Menkeu Sri Mulyani Indrawati terlalu tergesa-gesa memberi insentif dengan mencantolkan pengelolaan sampah dalam item penilaian kinerja DID. Tanpa mempelajari atau menganalisa (monev) apa yang telah dilakukan pemerintah daerah (pemda) dalam mengatasi sampahnya sebelum memberi insentif. Besaran angka DID itu bagus bila penilaiannya dikaitkan dari seluruh kriteria kinerja atau 11 kriteria DID. Agar menghindari kamuflase dalam kelola sampah, termasuk memberi signal pada pemda agar penuh kehati-hatian.

Seharusnya mengikuti formula DID dan proses pemberian insentif atau kompensasi berdasar UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) dan PP. No. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis sampah Rumah Tangga. UUPS sudah memberi petunjuk dasar tentang siapa layak menerima insentif atau kompensasi tersebut atau siapa berbuat apa. 

Kemana DID Pengelolaan Sampah ?

Pemda belum masuk karegori berhasil kelola sampah plastik. Karena kebijakan yang dikeluarkan pemda bukanlah mengelola atau mengurangi sampah plastik dengan mendaur ulang sampah plastik atau sampah lainnya. Tapi pemda hanya melarang penggunaan kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik. Hanya solusi instan yang menghasilkan resistensi terhadap industri dan perdagangan tanpa benefit. 

Kebijakan pemda sangat bertentangan regulasi persampahan dan pengembangan industri serta menghambat pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana maksud eksistensi DID itu sendiri.

Bisa dipastikan kebijakan pemda dalam mengatasi sampah plastik, bertentangan dengan maksud dan tujuan adanya apresiasi melalui DID bagi daerah yang menjalankan kriteria utama dan 11 kinerja penilaian DID, yang didalamnya termasuk kinerja persampahan. Kebijakan tersebut baru dimulai 2019 dengan menambah 1 (satu) kinerja yaitu pengelolaan sampah. 

Seharusnya Menkeu jangan langsung menerima laporan diatas kertas saja dari KLHK sebelum diadakan riset terhadap kebijakan dan kinerja pengelolaan sampah di daerah. Karena KLHK diduga juga tidak melakukan survey lapangan. Apalagi bila pemda hanya dikatakan berhasil kelola sampah plastik. 

Pemda hanyalah mengeluarkan kebijakan semu berupa larangan penggunaan produk plastik. Bukan berhasil mengelola dan mengolah sampahnya. Tapi produk yang di reduse alias di larang. Kebijakan ini telah digugat ke Mahkamah Agung banyak pihak. Karena ditengarai menghambat perekonomian. 

DID urgent dalam meningkatkan komitmen daerah untuk terus berlomba menjalankan pelayanan dasar terbaik kepada masyarakat sebagai  shareholders  utamanya. Termasuk dalam pengelolaan sampah. Karena apa yang terjadi di masyarakat dalam pengelolaan sampah, sangat jauh dari amanat regulasi persampahan. Maka perlu ada triger bagi daerah dan masyarakat. 

Apresiasi DID yang tidak profesional, bisa menjadikan pemda lupa akan substansi masalah sampah. Kalau tidak dibenahi dari awal, pemda hanya akan menerbitkan kebijakan "pelarangan produk plastik" untuk mengejar DID. Maka yang harus ditelisik dari awal oleh Kemenkeu dan KLHK adalah kesesuaian UUPS dengan perda yang teraplikasi di lapangan. 

Apresiasi dari DID ini bukan susbtitusi APBD, tapi hanya insentif yang bersifat sementara. Jangan sampai karena DID, pemda tidak fokus pada pengelolaan sampah - waste manajemen - yang benar. Tapi hanya berlomba mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan produk berupa kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik, guna mendapatkan DID untuk selanjutnya diperuntukkan pada kelompok tertentu. 

Pemda harus terlebih dahulu memberi perhatian melalui penganggaran di APBD terhadap pengelolaan sampah yang benar. Termasuk menyiapkan kelembagaan pengelolaan sampah yang benar. Dari kinerja tersebut, barulah pemerintah bisa berikan reward. Jadi pemda harus menunjukkan komitmen terlebih dahulu terhadap penanganan sampah. Komitmen diawali dengan kesiapan perangkat regulasi atau perda sesuai amanat UUPS dan pelibatan masyarakat melalui penguatan kelembagaan pengelola sampah di daerah atau disetiap desa/kelurahan. 

Kalau Kemenkeu dan KLHK hanya menilai keberhasilan pemda dari kebijakan pelarangan penggunaan produk berbahan plastik. Hal tersebut sangat bertentangan dengan eksistensi DID untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal, penurunan angka kemiskinan dan penurunan angka pengangguran. Karena pelarangan plastik akan merusak struktur dan operasional industri dan perdagangan serta kebutuhan masyarakat. 

Bila DID diinginkan merubah atau menjadi motivasi daerah agar terjadinya perubahan pengelolaan sampah yang signifikan. Seharusnya DID diserahkan langsung ke desa-desa yang sudah mengikuti arah regulasi persampahan. Karena diduga keras hanya akan menjadi mainan korupsi yang empuk oleh oknum di pemda dan bisa jadi melibatkan oknum elit pemerintah pusat. 

Solusi DID Dalam Pengelolaan Sampah 

Saran kepada Menteri Keuangan dan KLHK hal DID pada sub kinerja pengelolaan sampah atau dasar kinerja pada point 11 pada pedoman DID, sebaiknya membuat standar operation prosedure - SOP - tersendiri dalam kinerja pengelolaan sampah dengan mempertimbangkan: 

Pertama: Apakah pemda sudah memiliki perda atau regulasi lainnya yang berkesesuaian dengan regulasi diatasnya. Perda ini banyak yang timpang dari regulasi sampah. Umumnya perda bersinggungan dan tidak mengejawantah UUPS. 

Kedua: Pemda sudah harus menjalankan Pasal 13, 44 dan 45 UUPS, dengan penekanan pengelolaan sampah di kawasan timbulannya dan rencana penutupan TPA/TPST. Pasal-pasal ini absolut dilaksanakan dalam menghadapi Indonesia darurat sampah.

Ketiga: Terbitkan kembali Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Karena dalam permendagri telah diatur mengenai hal insentif dan disinsentif (Pasal 21). 

Keempat: TPA/TPST harus ber SNI TPA No. 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah dan pemda tidak boleh mengelola secara open dumping (hampir semua TPA di Indonesia melanggar UUPS karena masih lakukan open dumping, harusnya stop sejak 2013). Cermin pengelolaan sampah yang baik oleh pemda, dapat dilihat dari kesuksesan mengelola TPA/TPST. Sebagai penyanggah usaha daur ulang di sumber timbulan sampah.

Kelima: Pemberian kompensasi (baca: insentif) sangat jelas diberikan kepada orang atau kelompok yang mengolah atau memilah sampah untuk daur ulang. Bukan yang melarang menggunakan produk plastik. Nomenklatur ini harus dipahami dengan jernih dan bijak tentang pemberian insentif kepada yang memilah sampah.

Keenam: Pemberian insentif diserahkan langsung kepada rekening masing-masing pengelola bank sampah dan tembusan atau pengawasannya diberikan pada desa/kelurahan, camat dan bupati/walikota. Bukan melalui rekening Kas Daerah. DID diduga akan raib dan ditelikung bila tidak langsung pada sasaran.

Ketujuh: Pemda tidak boleh monopoli dalam pengelolaan sampah yang berorientasi pada TPA/TPST dan Bank Sampah Induk (BSI). Hal ini yang merusak semangat masyarakat dalam memilah sampah. Momentum ini diduga dijadikan kesempatan terjadinya permainan atau penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan sampah. Oknum birokrasi ikut berbisnis sampah. Praktek ini terjadi pada pengelolaan BSI oleh oknum penguasa dan pengusaha.

Kedelapan: Dalam menentukan penerima DID pengelolaan sampah, Kemenkeu harus melibatkan lintas menteri, asosiasi serta lembaga swadaya dan pers. 

Kesembilan: Cukai kantong plastik (CKP) harap dihentikan wacananya. Diduga keras awal dari rencana CKP ini datang dari oknum di KLHK karena ingin menutup kegagalan kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) pada tahun 2016 melalui kebijakan Menteri KLHK dan Surat Edaran Dirjen PSLB3 KLHK. Bukan solusi CKP yang harus diterapkan. CKP ini sangatlah keliru sebagai solusi sampah plastik. 

Kesepuluh: Benahi sekaligus pertanggung-jawabkan dana KPB yang telah dipetik dari rakyat (baca: konsumen) oleh KLHK melalui Aprindo yang disetujui bersama dengan YLKI dan BPKN. Jumlah dana KPB ini tidaklah sedikit sejak awal penarikannya tahun 2016 dan sampai sekarang diberlakukan lagi dengan mengganti nama Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG). DPR dan penegak hukum harus segera menyikapi masalah KPB dan KPTG. 

Paling urgen diketahui oleh Kemenkeu adalah permasalahan sampah Indonesia bukanlah pada sampah plastik yang menjadi pokok masalah. Tapi sesungguhnya sampah organiklah menjadi biang keladi yang menjadi obsesi pemerintah dan pemda untuk memonopoli sampah dengan pengelolaan orientasi TPA/TPST atau pengelolaan yang lebih kecil ke orientasi TPS3R. Operasionalisasi TPS3R sama saja dengan TPA/TPST (sila tinjau lapangan). 

Pengelolaan sampah baik di TPA/TPST dan TPS3R hampir tidak ada yang menunjukkan kebenaran dalam pengelolaannya. Semua bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Setiap tahun dan bahkan setiap hari dana operasional dan kompensasi pengelolaan dan pengolahan sampah raib entah kemana. 

Kemenkeu harus stop menambah masalah dengan serampangan memberi apresiasi kepada pemda melalui DID. Semua ini akan menjadi bancakan korupsi baru pada persampahan. Korupsi dipersampahan sudah sangat massif.  Cuma belum terungkap saja, jangan ditambah lagi kesempatannya. Hancur negeri ini karena pengelolaan sampah yang tidak benar. 

Keterangan Video: Penulis dan Tim GIF survey sampah Kantong Plastik di TPA/TPST Piyungan Bantul DI. Yogyakarta (12/04).


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun