Membaca dan mengapresiasi opini "Perlu Sinergitas Pengelolaan Sampah di DIY" merupakan tulisan dan buah pikiran sahabat kompasianer mbak Yusticia Arif sebagai Komisioner Lembaga Ombudsman (LO) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sangat menarik dan inspiratif bagi penulis yang kebetulan bergerak dalam dunia persampahan.Â
Sangat solutif apa yang diusulkan oleh LO-DIY untuk ke 3 kabupaten/kota (Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul) sebagai pemanfaat TPST/TPA Piyungan yang berada di Kabupaten Bantul DIY dalam mengoptimalkan fungsinya.Â
Sedikit berbagi untuk solusi TPST/TPA Piyungan Bantul DIY, agar apa yang menjadi usulan LO-DIY bisa terwujud dengan baik, karena memang pada prinsipnya sesuai regulasi. Maka sebagai sesama pemerhati dalam bidang ini, sedikit berbagi antara lain:Â
Pertama: TPA/TPST Piyungan seharusnya menerapkan "sanitary landfill" (Permen PU No. 3/2013) dengan kaitan pelaksanaan Pasal 44 Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UU Pengelolaan Sampah), Pasal 44 merupakan strategi dalam rangka rencana penutupan TPA.Â
Kedua: Solutif penawaran LO-DIY dengan substansi kerjasama dengan "teknologi serta analisis sosial terkait pengelolaan sampah". Umumnya solusi yang ada saat ini di Indonesia, tidak mengaitkan antara teknologi dan sosial. Lebih berbicara pada tataran bisnisnya saja.Â
Kelola sampah dengan mengabaikan faktor sosial, maka bisa dipastikan gagal dan mati suri. Karena tidak ada kesamaan gerak - sosial - dalam menjalankan solusi menuju pencapaian tujuan utama pengelolaan sampah untuk menyelamatkan lingkungan.Â
Justru menurut hemat penulis, faktor sosiallah yang utama dan perlu dikedepankan oleh stakeholder. Bukan faktor teknologi dan untung-rugi. Benefid dari kerja sosial itu akan mendapat bonus atau berefek ekonomi.Â
Semoga ke tiga kabupaten dan kota tersebut bisa mencerna dan melaksanakannya serta menjadi pembelajaran untuk daerah lainnya di Indonesia.Â
Kaitan penerapan teknologi dan sosial yang menjadi sorotan dan dapat mewujudkan harapan itu adalah keharusan menerapkan UU. Pengelolaan Sampah Pasal 13 dan 45 yaitu penekanan pengelolaan sampah - hulu - disumber timbulannya dengan kombain Pasal 44 yaitu pemerintah daerah (pemda) wajib melakukan perencananaan penutupan TPA. Tentunya berlaku pula pada TPA/TPST Regional Piyungan DI. Yogyakarta.
Sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Singapore sejak 2001 dan berlanjut sampai sekarang, adalah melaksanakan hakekat dari pasal-pasal dalam UU. Pengelolaan Sampah milik pemerintah Indonesia. Dimana pemangku kepentingan dalam pengelolaan sampah Indonesia sendiri belum melaksanakan pasal-pasal tersebut dengan baik dan benar.Â
Justru Singapore telah melaksanakan pengelolaan sampah kawasan sebelum UU. Pengelolaan Sampah di terbitkan pada tahun 2008.
Ketiga: Solusi sampah dengan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan menggunakan teknologi incenerator atau termal (bakar) sangat tidak cocok di Indonesia. Mungkin dan sepakat bisa melalui teknologi hidrotermal dengan output briket sampah atau melalui biodigest. Tapi ini berbiaya tinggi dan bisa merusak system dengan pola penerapan dengan sentralisasi terpusat di TPA/TPST Piyungan.Â
Keempat: Pilihan solusi TPA/TPST Piyungan itu dan juga TPA-TPA lainnya di Indonesia sebaiknya mengikuti Permen PU. No. 3 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, dengan 2 (dua) cara yaitu: untuk Kota Kecil-Sedang dengan Pola Control Landfill dan Kota Besar-Metropolitan dengan Pola Sanitary Landfill.Â
Pola Sanitary Landfill ini merupakan pilihan terbaik untuk TPA/TPST Piyungan DIY, ekonomis dan sangat cocok untuk karakteristik sampah Indonesia yang didominasi sampah organik dan memiliki unsur basa yang tinggi. TPA Sundakwon Korea Selatan juga menerapkan Pola Sanitary Landfill delapan tingkat.Â
Maka dengan penerapan Pola Sanitary Landfill di TPA/TPST Piyungan Bantul DIY tersebut, tidak perlu menambah lahan 2,3 Ha lagi dari luas lahan 12,5 Ha. Lokasi yang telah ada cukup direstorasi dengan pola Sanitary Landfill.Â
Kelima: Sepakat usulan LO-DIY tentang perlunya pemerintah daerah dari tiga wilayah tersebut membuat Rencana Aksi Daerah untuk mendorong gerakan pengelolaan sampah berbasis rumah tangga dengan melibatkan Academic-Businesses-Community-Government (ABCG).Â
Program agar sekaligus dikaitan dengan pengembangan dan penguatan kelembagaan bank sampah di wilayah masing-masing secara massif dan terstruktur.Â
Gerakan ini sebijaknya dituangkan pada satu program kerjasama antar lintas kabupaten dan kota terkait agar secara regionalisasi bersama melakukan transformasi bank sampah. Bank sampah sebagai garda terdepan - wakil pemerintah - harus berani berubah meluruskan paradigmanya sesuai amanat regulasi.Â
Terima kasih Mba Yus, mari terus kita berbagi untuk Indonesia Bebas Sampah. Saya bermaksud mengirimkan buku yang sudah saya terbitkan yaitu "Bank Sampah, Masalah dan Solusi"Â (foto buku dibawah ini).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H