Makassar (17/2) - Terbitnya buku "Bank Sampah, Masalah dan Solusi" merupakan bukti kegelisaan penulis dalam menyaksikan fenomena "pembiaran permainan negatif" dalam pengelolaan sampah di Indonesia, khususnya dalam eksistensi bank sampah yang sangat rapuh dan umumnya mati suri.Â
Padahal keberadaan bank sampah merupakan program dan kehendak pemerintah serta sebagai wakil terdepan pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dalam melaksanakan misinya  atau bank sampah menjadi basic tata kelola persampahan - waste management - Indonesia.
Penulis menduga keberadaan bank sampah sengaja dilemahkan atau hanya dijadikan pajangan dalam etalase permainan licik oleh mafia persampahan yang sudah bercampur baur seperti sampah antara oknum birokrasi, legislatif dan pihak swasta serta lembaga swadaya yang saling mendukung dalam lorong-lorong gelap tanpa adanya cahaya kebenaran.
Penulis sungguh mengakui untuk mengelola bank sampah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sebuah kegiatan yang "harus" menggabungkan dua misi bersamaan pada ruang dan waktu yaitu misi sosial dan misi bisnisya.Â
Terlebih dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana "umumnya" pengelola bank sampah sebagai pemula dalam kegiatan bisnis itu sendiri. Maka edukasi bukan bertitik tolak hanya pada masyarakat tapi terlebih edukasi itu harus dilakukan pada pengelola bank sampah itu sendiri dalam menemukan jati-dirinya sebagai calon pengusaha berbasis sosial (kewiraswastaan sosial).Â
Peran asosiasi, lembaga swadaya dan pengusaha sangat diharapkan demi terealisasinya kepentingan bersama yang saling membutuhkan - mutual - diantara stakeholder persampahan dan bisnis yang berbasis atau berujung pada sampah. Semoga dengan hadirnya buku ini, bisa dijadikan bahan renungan dan acuan untuk semua pemangku kepentingan untuk berinovasi dan hijrah kearah yang benar.Â
Khususnya kepada masyarakat dan pengelola sampah, agar bisa faham dan berhenti dibohongi oleh mafia sampah. Juga buku ini sebagai hadiah Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) pada tanggal 21 Pebruari 2019.
"Bank Sampah Induk (BSI) pada hakekatnya bukan merupakan pendukung Bank Sampah, tapi lebih hanya sebagai mitra kerja konvensional dan bahkan berpotensi sebagai pesaing dan umumnya BSI dikelola oleh birokrasi dan koleganya" Asrul Hoesein (Penulis Buku Bank Sampah Masalah dan Solusi serta Direktur Green Indonesia Foundation Jakarta).
Sesungguhnya bank sampah harus kuat dan kokoh dalam mengawal regulasi persampahan atas pelaksanaan tata kelola sampah - waste management - Indonesia. Karena bank sampah merupakan wakil pemerintah terdepan dalam penanganan sampah melalui gerakan 3R (Reduse, Reuse dan Recycle) atau pengelolaan sampah pola circular economy.Â
Tidak ada jalan lain dalam menyelesaikan permasalahan sampah kecuali dengan circular economy melalui bank sampah, bukan dengan solusi instan. Karena sampah itu sendiri setiap saat diproduksi oleh aktifitas manusia. Maka solusinya harus berkelanjutan (sustainable).
Bank sampah sesungguhnya memiliki kedudukan yang sama dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau sebagai pelayan masyarakat. Maka bank sampah dalam aktifitasnya dalam merubah paradigma kelola sampah di masyarakat (social engineering) haruslah mendapat fasilitas prasarana dan sarana dari pemerintah dan pemda secara berkelanjutan dan itu absolut.Â
Termasuk dari dana perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR) atau dana hibah lainnya. Baik yang datang dari dalam negeri maupun dana bantuan dari luar negeri.
Sebagai program pemerintah, bank sampah sejak berdiri lebih kurang tujuh tahun lalu yang  ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah.Â
Namun bila mengikuti regulasi yang lebih awal lagi adalah dengan Permendagri No.33 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Sampah, dimana pada Pasal 14 ayat (1) mengatakan pemerintah daerah memfasilitasi pembentukan lembaga pengelola sampah.
Progres bank sampah sampai saat ini nampak tidak ada pengaruh sosial engineering atau minus perubahan paradigma kelola sampah di masyarakat, efeknya tentu tidak terjadi peningkatan kualitas lingkungan yang bersih dan sehat serta tanpa peningkatan usaha bisnis bank sampah secara signifikan, sesuai amanat regulasi dan eksistensi bank sampah sebagai garda terdepan gerakan 3R termasuk dalam peningkatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru dalam sektor persampahan tidak memberi kontribusi positif.
Sedikitnya ada empat tema atau substansi besar yang terdapat di dalam buku tersebut antara lain:
- Bank sampah sesat jalan dalam misi sosialnya dan bagaimana solusinya. Masalah sampah Indonesia bukan pada teknis (pengolahan) tapi masalahnya berada pada non teknis atau tata kelola (pengelolaan).
- Bank sampah secara bersama harus membentuk primer koperasi bank sampah (PKBS) dalam satu wilayah kabupaten dan kota. Demi mewujudkan misi bisnisnya yang adil dan berkelanjutan.
- Bank sampah dalam mencapai dan menjangkau target operasional atau proses rekayasa sosial, bank sampah dalam melakukan misinya tersebut harus membuat master plan atau mapping potensi sosialisasi dan edukasi.
- Asosiasi Bank Sampah Indonesia (ASOBSI) harus membuat klasifikasi atau grade bank sampah agar menjadi petunjuk dasar dalam memfasilitasi bank sampah pada aktifitasnya sebagai perekayasa sosial.
- Stop dan tutup Bank Sampah Induk (BSI) dengan menggantinya dengan badan hukum usaha berbentuk koperasi atau Primer Koperasi Bank Sampah (PKBS), sebagaimana petunjuk dalam regulasi sampah.
Bank sampah dalam eksistensinya sebagai motor penggerak kebersihan dan lingkungan di masyarakat maka bank sampah selayaknya berbadan hukum yayasan (nir laba). Agar dengan mudah mendapat fasilitas prasarana dan sarana persampahan termasuk biaya operasional secara permanen atau berkelanjutan, baik dari pemerintah dan pemda serta dana CSR. Pada progres misi sosial ini, perolehan fasilitasi kepada bank sampah, baru bisa didapatkanya dengan baik dan legal formal.
Tentu dengan dukungan mutlak dari pemerintah dan pemda sebagai regulator dan fasilitator, maka bank sampah juga seharusnya mendapat perhatian penuh dari perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR), hibah atau bentuk sumbangan lainnya yang tidak mengikat ataupun nantinya dari dana Extanded Produser Responsibility (EPR) yang akan berlaku efektif tahun 2022. Pada masa EPR ini, bank sampah sangat berfungsi menjadi mitra pemerintah dan pemda dalam mengawal tertibnya pelaksanaan EPR secara efektif dan efisien.
Kalau bentuk kelembagaan bank sampah berbentuk yayasan (nir laba atau non profit oriented), maka akan memudahkan penerimaan bantuan atau sumbangan atau akan menciptakan alur administrasi keuangan yang rapi, disiplin dan legal formal antara bank sampah dan perusahaan-perusahaan CSR dan EPR ke depan. Baik itu dari pemerintah sendiri maupun dari donatur dalam dan luar negeri.
Penulis berkesempatan meluncurkan buku "Bank Sampah, Masalah dan Solusi" Karena kebetulan substansi buku ini sangat terkait dengan materi presentase yang diberikan Panpel Lokakarya Unhas kepada penulis yaitu "Kemandirian Bank Sampah Sebagai Tolak Ukur Utama Keberhasilan Tata Kelola Sampah".Â
Dimana penulis termasuk sebagai salah satu narasumber pada Lokakarya Solusi Sampah Nasional Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dengan Tema Lokakarya Unhas adalah "Mereduksi Pencemaran Sampah Plastik Melalui Konsep 3R (Reuse, Reduce dan Recycle)". Lokakarya akan dilaksanakan di Kampus Unhas Tamalanrea Kota Makassar (18/2).
Untuk mengetahui lebih detail pembahasan buku ini, sila baca bukunya, dan temukan di toko buku pada kota Anda. Dalam waktu dekat buku tersebut akan didistribusi ke seluruh Indonesia. Baik melalui toko buku maupun secara online.
Selamat Membaca !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H