Dalam kaitan inilah apa yang dialami bank sampah sejak berdiri lebih kurang sepuluh tahun lalu dan sampai saat ini nampak tidak ada pengaruh yang berarti pada peningkatan kualitas lingkungan yang bersih dan sehat serta tanpa peningkatan usaha bisnis bank sampah secara signifikan, sesuai amanat regulasi dan eksistensi bank sampah sebagai garda terdepan gerakan 3R termasuk dalam peningkatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru dalam sektor persampahan tidak memberi kontribusi positif. Malah bank sampah diduga hanya dijadikan tameng dalam penilaian Adipura serta dijadikan sumber bancakan korupsi oleh oknum birokrasi.
Bank Sampah Induk
Kehadiran Bank Sampah Induk (BSI) yang diinisiasi oleh pemerintah dan pemda sendiri yang "katanya" akan mengawal dan memayungi bank sampah, ternyata tidaklah signifikan dan menguntungkan bank sampah, diduga hanya menjadi pesaing bank sampah. Karena aktifitas BSI semata hanya menerima produk sampah yang disetor atau dijual oleh bank sampah ke BSI.Â
Sudah jelas BSI akan mematikan aktifitas bank sampah terlebih sebagai fungsi social engineering pastilah tidak akan terlaksana dengan baik. Karena terjadi tarik ulur kepentingan antara BSI dan bank sampah itu sendiri dalam bisnis dan aktifitas ekonomi kreatifnya. Bahkan ada koperasi bank sampah menjadi nasabah BSI, dimana BSI sendiri tidak mempunyai badan hukum, ini lebih aneh lagi karena unit usaha BSI berbadan hukum sementara induknya (BSI) tidak berbadan hukum, bahkan BSI tidak termaktub dalam undang-undang persampahan.
"Bank Sampah Induk pada hakekatnya bukan merupakan pendukung Bank Sampah, tapi lebih hanya sebagai mitra kerja konvensional dan bahkan berpotensi sebagai pesaing dan umumnya BSI dikelola oleh birokrasi atau keluarganya" Asrul Hoesein (Direktur Green Indonesia Foundation).
Primer Koperasi Bank Sampah (PKBS)
Bank Sampah dalam satu kabupaten dan kota harus dipayungi sebuah Koperasi dalam pemenuhan fungsi bank sampah pada bidang sosial dan ekonomi sesuai keberadaannya dalam regulasi persampahan di Indonesia.Â
Maka bank sampah semestinya difasilitasi atau disubsidi oleh pemerintah dan pemda dengan sebuah kelembagaan tunggal berupa badan hukum yayasan bank sampah (sesuai Pasal 8 Permen LH 13-2012) atau mengikuti Permendagri No.33-2010 Tentang Pengelolaan Sampah, dimana pada Pasal 14 ayat (1) mengatakan pemerintah daerah memfasilitasi pembentukan lembaga pengelola sampah (perizinan lembaga pengelola sampah lebih ringan lagi dalam permendagri ini).Â
Selanjutnya untuk payung atau rumah bersama bank sampah adalah dengan badan hukum Primer Koperasi Bank Sampah (PKBS) dalam satu wilayah kabupaten dan kota. Artinya hanya ada satu PKBS yang memayungi bank sampah dalam aktifitasnya.
Harus ada satu payung ekonomi saja bagi bank sampah agar benar-benar terjadi fokus dalam kegiatannya yang mendahulukan fungsi sosial. Agar bank sampah tidak dihadapkan lagi pada sebuah persaingan bisnis yang ketat dan tidak sehat. Supaya bank smpah bisa bergerak maju sebagai pengusaha pemula dalam berusaha pada sektor ekonomi kreatif, untuk menghidupi pergerakannya (social entrepreneur) dalam menggerakkan masyarakat untuk merubah paradigma kelola sampah.
PKBS sebagai rumah bersama bank sampah dalam satu kabupaten dan kota guna melakukan aktifitasnya sebagai social entrepreneur, baik sebagai penggerak lingkungan dan kebersihan maupun sebagai penggerak ekonomi kerakyatan"