Bila hendak mengatakan dan mengakui siapa menjadi pelopor atau peletak batu pondasi "paradigma baru kelola sampah Indonesia", atau kelola sampah dengan "pendekatan ekonomi melingkar" atau circular economy. Rasanya tidak berlebihan bila Indonesia mengakui Presiden Ke-6 Republik Indonesia Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono.
Sangat beralasan karena pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode pertama (2004-2009) berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan periode kedua berpasangan Wakil Presiden Budiono (2009-2014), telah menerbitkan perundang-undangan pengelolaan sampah beserta aturan pelaksanaannya (saat itu menteri-menteri yang bekerja dibawah kepemimpinan SBY menampakkan kekompakan mengatasi sampah).Â
Terlihat dan terbaca dari keputusan atau peraturan menteri yang mengawal UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Dengan beberapa terobosan diantaranya, menetapkan tahun 2013 stop pengelolaan sampah dengan pola open dumping di TPA, menetapkan tahun 2022 untuk berlaku efektifnya extanded produser responsibility (EPR), oftimalisasi fungsi TPS untuk mengurangi arus sampah ke TPA.
Pendekatan ekonomi melingkar atau circular economy tidak hanya berbicara soal nilai tambah bagi penyelamatan bumi atau lingkungan, namun juga memiliki penciptaan nilai tambah ekonomi baru dan juga nilai tambah sosial, seperti halnya pemberdayaan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja baru serta menjadi sumber pendapatan masyarakat dan daerah.
Akan menjadi pendapatan asli daerah (PAD) baru bila sampah ini benar-benar diberdayakan. Juga dengan sendirinya akan mendorong pembangunan pertanian terpadu bebas sampah (integrated farming zero waste).
Perlu diketahui bahwa sejak republik ini berdiri, barulah ada pedoman dasar untuk pengelolaan sampah di Indonesia. Produk hukum ini merupakan karya besar SBY-JK yaitu UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
"Regulasi inilah sesungguhnya yang menjadi lokomotif paradigma baru kelola sampah di Indonesia, sejak 10 tahun lalu dengan pendekatan ekonomi melingkar. Sebuah pendekatan "kebutuhan" bukan pendekatan "kewajiban" dalam pengelolaan sampah secara berkeadilan dan berkelanjutan" Asrul Hoesein (Direktur Green Indonesia Foundation)
Apa saja regulasi yang menjadi pedoman dasar persampahan Indonesia ? (Diurut sesuai bulan dan tahun penerbitannya)
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah.
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah.
- Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
- Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga.
Apa yang telah ditorehkan selama pemerintahan SBY tersebut sangatlah berarti bagi dunia persampahan di Indonesia. Regulasi yang tercipta dan diterbitkan dimasa pemerintahan SBY masih saja up to date sampai sekarang.
Menurut fakta dan data empiris yg dimiliki Green Indonesia Foundation, sebuah LSM domisili Jakarta yang berkonsentrasi mengamati regulasi dan kebijakan persampahan dan pertanian organik bahwa kenapa sejak 10 tahun (UU. No.18 tahun 2008) dan lebih parah 3 tahun terakhir ini, pengelolaan sampah Indonesia semakin keluar dari regulasi, lebih karena:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian PUPera, masing-masing bergerak sendiri dan kurang memahami dan mengaplikasi secara jernih dan jujur atas regulasi persampahan yang ada.
Nampak KLHK dan PUPera berjalan sendiri tanpa keterlibatan Kemendagri, juga terhadap Kementerian Pertanian yang membutuhkan banyak pupuk organik kompos untuk lahan pertanian yang sudah minus unsur hara tanah pertanian dan perkebunan.Â
Pemerintah dan Pemda dalam melakukan edukasi kepada masyarakat dengan pendekatan "kewajiban" bukan pendekatan "kebutuhan" maka masyarakat pasti akan apriori. Karena sikap dan karakter yang dimunculkan oleh aparat birokrasi sangat tidak sejalan dengan regulasi tersebut.
Pemerintah dan Pemda tidak membangun massif dan memaksimalkan Infrastruktur persampahan yang ada. Misalnya bank sampah tidak didukung sepenuhnya didalam melaksanakan misinya sebagai social engineering yang mengajarkan masyarakat untuk memilah sampah serta menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah secara bijak.
Padahal masalah ini harus terus dilakukan dengan inovasi terus menerus dan pada gilirannya akan mengurangi sampah yang diangkut ke Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA) dengan progres optimalisasi fungsi Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) atau reflikasi massif pengelolaan sampah kawasan (Baca: Pasal 13 dan 45 UUPS). Pemerintah dan pemda tidak berusaha semaksimalnya untuk meminimalisir APBN/D dengan melibatkan pihak perusahaan pengelola kawasan.
Asrul: Pemerintah dan Pemda tidak "menjahit" secara positif atas kepentingan masing-masing pengelola sampah dari sudut profesionalismenya di bidang sampah organik, an organik dan limbah B3. Ahirnya solusi yang tercipta bersifat parsial bukan solusi komprehensif berbasis regulasi.
Hampir punah lembaga atau aktifis sampah atau lingkungan yang peduli terhadap amanat regulasi yang berbasis utama pada azas kebersamaan yang absolut. Sebagaimana karakteristik sampah yang unik dan bergerak terus tanpa henti, seiring kemajuan peradaban. Sangat disayangkan aktifis lingkungan dan persampahan berkolaborasi dengan oknum birokrasi dalam menegakkan regulasi.
Sampai saat ini masih terjadi kebuntuan dan terjadi pembiaran (plesetan makna terurai dan kelola) dalam pengelolaan sampah, Â kurang memahami sepenuhnya Pasal 19 UUPS, ahirnya terjadi politisasi yang sangat tajam terhadap eksistensi sampah plastik. Karena birokrasi pusat dan daerah masih "sengaja" berparadigma lama untuk memuluskan rencana jahat oknum tertentu.Â
Walau senyatanya pemerintahan Jokowi-JK telah menambah regulasi sampah lainnya, tapi banyak terjadi persinggungan dengan regulasi sebelumnya. Maka terjadi resistensi. Karena regulasi-regulasi yang tercipta saat ini terkesan sarat kepentingan.Â
Kondisi ini susah terbantahkan, dimana penulis sendiri berusaha menjadi bagian dari proses kritisi dan solusi tersebut agar jangan terjadi ketimpangan dan pembiaran dalam mengaplikasi regulasi (mencegah korupsi). Hanya saja lintas kementerian tidak bersifat terbuka kepada semua pihak.
Kunci dalam melahirkan solusi pengelolaan sampah, terletak pada sinergi semua stakeholder atau pemangku kepentingan untuk ikut terlibat dalam membangun tata kelola persampahan yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Pemerintah seringkali terjebak pada penyederhanaan masalah sampah, sehingga berujung pada solusi yang tidak terintegrasi dan bersifat sesaat dan sesat. Pemerintah dan pemda sebagai pembuat kebijakan dan fasilitator harus dapat memetakannya secara holistic agar dapat menghasilkan kebijakan yang terintegrasi. Bukan menghasilkan solusi parsial yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Silakan baca dan simak sendiri regulasi dan fakta empirisnya !!!
Berita Terkait:
- Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia.
- Tantangan dan Peluang Koperasi dalam Pengelolaan Bank Sampah.
- "Sampah" Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi.
- Catatan untuk Menteri LHK tentang Regulasi Sampah.
- Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi.
- Aneh Menteri Pertanian Tidak Dilibatkan Dalam Jaktranas Sampah
- Jaktranas Sampah 2017-2025
- SNI Tempat Pembuangan sampah Ahir
- Draf Perdes Sampah (asrul)
- Pedoman 1000 Desa Organik
- Strategi Stop Sampah ke Laut (asrul)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H