Bogor - Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM bidang Ekonomi Makro Hasan Djauhari membuka Focus Group Discussion (FGD) "Bank Sampah Sebagai Entity Bisnis Koperasi" yang diselenggarakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM bekerjasama dengan Green Indonesia Foundation Jakarta dan Harian Sinar Pagi Baru Jakarta, Selasa (24/4/2018) di Hotel Royal Bogor.
Hasan mengatakan bahwa potensi bisnis bank sampah tersebut dapat dikembangkan menjadi bisnis yang bernilai jual tinggi, mengingat banyaknya manfaat yang bisa didapatkan dari sampah yang telah diolah menjadi produk kerajinan ataupun pupuk.Â
Namun untuk mengembangkan bisnis bank sampah, menurutnya masih perlu dioptimalkan dan dibuat kelembagaan formal dalam bentuk koperasi yang mampu mewadahi bank sampah sebagai entitas bisnis untuk menambah pendapatan masyarakat.
Peserta FGD tersebut hadir lintas menteri, Adupi, Apdupi, Asobsi, IPI dan pelaku Bank Sampah seluruh Indonesia. Dengan narasumber dari Kementerian LHK, Green Indonesia Foundation dan Pengelola Koperasi Bank Sampah Jakarta Timur.
Diperoleh data dalam FGD tersebut bahwa ada sekitar 4000 bank sampah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam kondisi bank sampah tersebut tidak semuanya berjalan normal, umumnya hanya papan nama saja. Karena pada fakta, banyak diantara mereka tidak mendapat perhatian dari pemda setempat.
Hal ini merupakan pertanda tidak ada penekanan pelaksanaan regulasi persampahan dari pemerintah pusat agar menjalankan regulasi sesuai relnya. Disamping pemerintah tidak mengarahkan bank sampah untuk mengelola sampah organik. Padahal jenis sampah organik ini mendominsi hampir 70% dari 3 jenis sampah dan limbah yang ada.
Bank Sampah Harus Dipayungi oleh Primer Koperasi.
"Asrul: Seharusnya pemerintah pusat eksis pada urusan kebijakan, janganlah turut terlalu jauh mengintervensi secara teknis. Biarkan pemda ikut pula melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagaimana yang telah diatur dalam perundang-undangan"
Selama bank sampah berdiri, tidaklah menampakkan perkembangan yang signifikan layaknya dikelola sebagai usaha permanen. Karena dalam pelaksanaannya tidak sesuai azas kebersamaan sebagaimana amanat regulasi. Keniscayaan pengelolaan sampah harus bermitra antar bank sampah dalam satu wilayah.
Dalam kondisi carut-marut bank sampah yang semakin hilang dari misinya, muncul dan lahir bank sampah induk (BSI), seakan eksistensi BSI ini akan menolong bank sampah. Namun sangat disanksikan karena aktifitasnya dipastikan akan mengambil alih kegiatan bank sampah, ya faktanya demikian karena BSI juga tidak bankcable. Jadi hampir tidak ada kelebihan dibanding bank sampah bila ditinjau dari sudut kelembagaan.
Rumah Bersama Bank Sampah
Asrul pada kesempatan tersebut mengajukan solusi perubahan system kelembagaan yang akan menjadi rumah bersama para pengelola bank sampah berupa Primer Koperasi Bank Sampah (PKBS) per satu kabupaten dan kota.
Pemulung sampah baik yang bergerak (keliling) maupun yang menetap di TPA akan diberdayakan menjadi anggota PKBS agar kelak mereka tidak lagi menjadi pemulung yang berkeliaran.
PKBS merupakan katalisator terhadap stakeholder persampahan dalam melakukan kegiatan secara berkelompok dan berkesinambungan dalam bingkai jejaring kemitraan permanen. BSI dan Koperasi Bank Sampah yang ada saat ini tetaplah sama fungsinya bank sampah dan akan mematikan bank sampah.
Malah BSI ini yang umumnya didirikan oleh pemda akan merampas hak pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat. Sebagaimana yang telah dialami oleh Endang Susanti, Direktur Bank Sampah Sanora yang beralamat di Kelurahan Semper Barat Kecamatan Cilincing Jakarta Utara.
Bahwa setelah mendirikan bank sampah tersebut, tiba-tiba pemda mengambil alih dengan mendirikan BSI yang juga bernama Sanora dan mematikan bank sampah yang dikelola Ibu Endang tersebut.Â
Maka selayaknya bank sampah berbadan hukum kelompok pengelola sampah (Permendagri 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah) atau bentuk yayasan sesuai Pasal 8 (a) Permen LH No 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah.
Sementara untuk menjalankan fungsi usaha bisnisnya akan diwadahi koperasi atau PKBS sesuai Pasal 8 (b) Permen LH No 13 Tahun 2012 tersebut. Jadi harus ada ketegasan dalam memaknai regulasi, demi kelancaran usaha dan kegiatan sosial bank sampah tersebut.
Jadi sesungguhnya bank sampah tidak berbadan hukum koperasi secara tunggal dan harus berjejaring dalam aktifitasnya sebagaimana karakteristik dari bahan produk berupa sampah.
Sepertinya pemerintah (KLHK) sendiri tidak mampu memaknai Pasal 8 Permen LH No.13 Tahun 2012 tersebut "siapa berbuat apa" pada tataran kelembagaan atara yayasan dan koperasi. Ya pantaslah sengkarut berkepanjangan masalah kelembagaan pengelolaan sampah ini, yang berimplikasi negatif terhadap kemandirian bank sampah.
PKBS akan beranggotakan perorangan dan terbuka untuk seluruh masyarakat. Mulai dari pemulung sampah, petugas kebersihan, pengelola dan nasabah bank sampah, para pemulung, dan usaha yang sekaitan langsung dengan pengelolaan sampah.
Tujuan dan target utama pendiri dan anggota dari PKBS ini adalah para pemulung bergerak dan yang bekerja di TPA akan diarahkan bekerja pada usaha inti PKBS dalam pengelolaan sampah organik dan juga akan menjadi anggota bank sampah secara otomatis di wilayah tempat tinggalnya. Dimana PKBS akan mendorong serta menfasilitas bank sampah dalam menyasar rumah-rumah warga sekitarnya.
PKBS tidak akan mengambil alih kegiatan bank sampah, hanya saja PKBS akan fokus pada usaha inti (core bisnis) pengelolaan sampah organik. Pada instalasi pengolahan sampah organik, akan ditempatkan para pemulung dan pemulung tersebut akan dibuatkan bank sampah dan/atau ikut pada bank sampah yang telah ada.
Sangat disayangkan sikap Kementerian LHK sebagai leading sector persampahan, belum menampakkan keseriusannya dalam menjalankan regulasi khususnya pasal 13 dan pasal 45 pada UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
Pertama: Melalui FGD "Sampah Sebagai Entity Bisnis Koperasi" Kementerian Koperasi dan UKM meminta kepada Presiden Joko Widodo cq: Kementerian Dalam Negeri untuk menerbitkan kembali Permendagri Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Permendagri tersebut pernah dicabut tahun 2016.
Kedua: Pasca FGD diusulkan kepada lintas menteri dan gubernur, bupati/walikota untuk mendukung dan memfasilitasi pembentukan "percontohan" PKBS serta penyusunan AD/ART PKBS di kabupaten dan kota seluruh Indonesia, yaitu Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Bali, Balikpapan, Palembang, NTB, Pontianak, Tangerang, Aceh atau sesuai kesepakatan.
Ketiga: Mengusulkan kepada pemerintah c/q: Kementerian Koperasi dan UKM. Bahwa dalam revisi UU. No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian untuk menghapus struktur koperasi sekunder di tingkat provinsi, yang ada hanya primer koperasi di tingkat kabupaten dan kota (kantor cabang) serta induk koperasi pada tingkat nasional (kantor pusat).
Keempat: Segera revisi Perpres No. 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga. Dalam perpres tersebut agar dimasukkan Kementerian Pertanian sebagai pendukung utama dalam pengelolaan sampah. Kementerian Pertanian sepertinya terlupakan dalam Jaktranas Sampah.
Berita Terkait:
- Tantangan dan Peluang Koperasi dalam Pengelolaan Bank Sampah
- Aneh Menteri Pertanian Tidak Dilibatkan Dalam Jaktranas Sampah
- "Sampah" Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi
- Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia
- Catatan untuk Menteri LHK tentang Regulasi Sampah
- Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H