Mohon tunggu...
Azamayazimazmil
Azamayazimazmil Mohon Tunggu... -

Not The Special One, Just Extra Ordinary.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komoditi Medsos

28 Februari 2018   04:53 Diperbarui: 28 Februari 2018   05:31 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Media sosialadalah sebuah media daring, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.

Andreas KaplandanMichael Haenleinmendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content".(1)

Sebagaibentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia, medsos memungkinkan pertukaran informasi yang massive antar penggunanya.Medsos menjadi pengganti tatap muka, interaksi langsung antar individu. Cukup duduk manis, smartphone dalam genggaman, kuota memadai, maka berita dari ujung dunia bisa dinikmati, tanpa kontrol, tanpa sensor, internet sehat? Itu mah gampang.Dengan medsos, kontrol lembaga maupun negara menjadi sebuah dagelan belaka. Pengguna medsos bebas dengan sebebas-bebasnya mengunggah konten yang mereka suka, walaupun kontek seksualitas dan kekerasan mengalami penyensoran juga, tapi sensor ini seolah tak berlaku pada konten bersifat tulisan. Tulisan penuh kekerasan maupun pornografi masih berseliweran dengan bebasnya.

Kebebasan ini bermedsos ini bisa menjadi nilai lebih. Berita yang selama ini tidak laik tayang karena menyingung otoritas misalnya, akan bisa berseliweran dilini massa dengan gagah berani melewati proteksi ini. Pengikut medsospun diuntungkan dengan berita yang berimbang, atau minimal seolah berimbang,sehingga pembaca cerdas bisa memutuskan dengan lebih bijak langkah mana yang harus ditempuh. Ketercukupan informasi ini bisa memperluas pilihan yaang akan diambil. Tapi ini hanya berlakau buat kaum yang berfikir.

Sebangun dengan keterkungkungan, kebebasan tidaklah melulu kebaikan. Selalu ada celah untuk salah, atau sengaja berbuat salah. Keterhubungan massal ini membuat sebuar warta bisa tersebar cepat, tanpa proteksi tanpa koreksi, dan celakanya banyak orang dengan sadar menalan mentah-mentah informasi yang diterima tanpa mau sedikit meluangkan waktu melakukan cek dan ricek. Padahal cara mengkroscek ini kebenaran berita ini tak kalah mudahnya dengan menerima berita.

 Hanya butuh sedikit pembiasaan untuk melakukannya. Kemalasan ini menyebabkan hoax bisa melenggang bebas, menjadi viral sebelum terbantahkan, bahkan pemerintahpun merestui hoax walau dibalut dengan kata membangun (2) , dan hoax terbaik adalah buatan penguasa. (3)  

-----

Beberapa hari ini sebuah berita lalu lalang dilini massa saya. Sebutlah sebuah kejadian luar biasa yang terjadi nun jauh disana. Sebagai sebuat hot issue,tentulah tanggapan audiens luar biasa, riuh rendah tak kalah dengan suporter Juventus menyemangati timnya bertanding. Teriakan dari sudut warung kopi, dihadapan tv layar cembung yang hari ini hampir menjadi spesies langka itu

seolah dianggap bisa melewati batas ruang dan waktu, menembus petala langit lalu bergema di Turin, mengalakahkan canggihnya parabola jaring yang terpasang didepan warung, yang digunakan sebagai pembenaran pemilik warung menarik pelanggan penggila bola untuk menontong siaran langsung diwarungnya, yang mana siaran ini diklaim bebas ganguan, tak kalah dengan sinyal tv berbayar tetangga sebelah yang katanya jernih disegala musim, terkecuali musim pemadaman bergilir.

Tersebut seorang pelaku kejahatan yang melakukan pelecehan seksual terhadap korbannya. Demi menjaga nama baik dan asas praduga tak bersalah marilah kita sebut saja pelaku ini P, dan korbannya K. Nah, sebagaimana kita ketahui bersama, sebuah kebaikanpun terkadang dihujat, kononlah itu sebuah perilaku jahat. Hujatanpun tak kalah derasnya dengan arus air dipintu air Manggarai saat hujan deras mengguyur Bogor beberapa jam sebelumnya. Seluruh netizenpun tiba-tiba menjadi tak kalah suci dari sosok malaikat Jibril pembawa wahyu. 

Umpatan, makian, cacian, sebuat apa saja dialamatkan pada pelaku. Pelakupun menjadi orang ternista didunia, tiada lagi yang lebih nista daripada dirinya, didunia serasa dia yang paling nista, sedangkan yang lain cuma ngontrak.

Bukan membenarkan prilakunya, tapi bagaimanapun juga, bagaimana bisa sebuah kebenaran disampaikan dengan cara yang tak elok, cukuplah seorang Robin Hood dijadikan pahlawan karena tindakannya. Tak perlu pula polah seorang Berandal Lokajaya dijadikan pembenaran, toh akhirnya dia tobat juga. Bila ingin menghujat silahkan, tapi gunakanlah cara yang beradab, tunjukkan kita manusia berfikir, tak sekedar primata bipedal.

Selain barisan penghujat ini, ada sekelompok yang memperhatikan kondisi psikis korban. Saran dan pesanpun berdatangan. Merekaberkata, efek dari pelecehan ini bisa menjadi masalah dikemudian hari. Korban akan sangat mungkin bertransformasi menjadi pelaku kelak.Sebelum itu terjadi, temuilah psikolog, coba konsultasi. Selain saran, tak lupa pula hujatan mereka sisipkan.

Dan kelompok terbesar adalah pengamat, tak turun kegelanggang, hanya membaca dipojokan, mengerutkan kening dan akhirnya melap mata yang lelah memandang layar hp sedari tadi.

Tiap kelompok tentu merasa benar dengan tindakannya, terlebih sipengunggah yang merasa dapat dukungan luas. Pada kehidupan nyata mungkin dukungan ini tidak dia dapatkan, problem yang dia angkat dianggap sepi belaka, atau mungkin tidak layak untuk dipublikasikan. 

Atau mungkin sebagian yang lain memganggap hanya akan memperkeruh suasana bila masalah ini diviralkan. Sedangklan dunia maya menyimpan dukungan berlimpah untuknya. Orang entah darimana saja bisa teriak setuju dengan unggahannya, padahal masalah yang terjadi ini tidak mereka ketahui dengan jelasa adanya, hanya informasi dari satu pihak yang mereka terima.

Sependek pengamatan yang saya lakukan, kasus ini akan bermuara pada hukum negara. Ada ketidakpuasan akan hukum yang telah dijatuhkan secara "kekeluargaan" pada pelaku. Kasus ini akan terus bergulir, dipanasi, dikipasi hingga terpuaskannya hasrat penuntut. Penuntut seolah menikmati moment yang penuh sorak sorai pendukungnya, berdiri diatas pangguang, menikmati standing applause penggemarnya, dan berlama-lama menikmatinya, setiap detiknya, setiap tepukannya, setiap kerlip cahaya lampunya. Dan akhirnya BAP jua jadinya.

Diantara megahnya pentas ini, korban hanyalah korban. Pengungggah menikmati dukungan yang mengalir padanya. Netizen menikmati melontarkan caci maki pada pelaku, menjadi lakon suci, penentu standard kebajikan. Sedangkan korban tetap tertunduk dipojokan, hanya terpapar sesaat blizt yang memancar, urusan psikologis mereka? Biarlah jadi urusan negara. Dan gegap gempita caci maki terus berkumandang.

Tak elok sebenarnya berlama-lama, bila klaim pengunggah benar adanya, mereka menyatakan punya bukti yang bisa dipertanggung jawabkan, apa beratnya melaporkan, toh mereka berkata, "Tiada takut kami mati demi memperjuangkan kebenaran yang kami yakini." Selesaikanlah segera, melempar bola panas, lalu duduk dipojokan menikmati netizen menggocek bola, bertengkar sesamanya rasanya bukanlah solusi. Itu hanyalah sarana pemuas ego pengunggah, menikmati sorotan, kerlip cahaya, sanjungan layaknya pejuang 45. Dan korban tetaplah korban, tanpa solusi yang pasti, tak ubah komoditi, hanya jadi sarana publikasi, yang manfaatnyapun tak mereka nikmati.

DS180228

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun