Mohon tunggu...
Azamayazimazmil
Azamayazimazmil Mohon Tunggu... -

Not The Special One, Just Extra Ordinary.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komoditi Medsos

28 Februari 2018   04:53 Diperbarui: 28 Februari 2018   05:31 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bukan membenarkan prilakunya, tapi bagaimanapun juga, bagaimana bisa sebuah kebenaran disampaikan dengan cara yang tak elok, cukuplah seorang Robin Hood dijadikan pahlawan karena tindakannya. Tak perlu pula polah seorang Berandal Lokajaya dijadikan pembenaran, toh akhirnya dia tobat juga. Bila ingin menghujat silahkan, tapi gunakanlah cara yang beradab, tunjukkan kita manusia berfikir, tak sekedar primata bipedal.

Selain barisan penghujat ini, ada sekelompok yang memperhatikan kondisi psikis korban. Saran dan pesanpun berdatangan. Merekaberkata, efek dari pelecehan ini bisa menjadi masalah dikemudian hari. Korban akan sangat mungkin bertransformasi menjadi pelaku kelak.Sebelum itu terjadi, temuilah psikolog, coba konsultasi. Selain saran, tak lupa pula hujatan mereka sisipkan.

Dan kelompok terbesar adalah pengamat, tak turun kegelanggang, hanya membaca dipojokan, mengerutkan kening dan akhirnya melap mata yang lelah memandang layar hp sedari tadi.

Tiap kelompok tentu merasa benar dengan tindakannya, terlebih sipengunggah yang merasa dapat dukungan luas. Pada kehidupan nyata mungkin dukungan ini tidak dia dapatkan, problem yang dia angkat dianggap sepi belaka, atau mungkin tidak layak untuk dipublikasikan. 

Atau mungkin sebagian yang lain memganggap hanya akan memperkeruh suasana bila masalah ini diviralkan. Sedangklan dunia maya menyimpan dukungan berlimpah untuknya. Orang entah darimana saja bisa teriak setuju dengan unggahannya, padahal masalah yang terjadi ini tidak mereka ketahui dengan jelasa adanya, hanya informasi dari satu pihak yang mereka terima.

Sependek pengamatan yang saya lakukan, kasus ini akan bermuara pada hukum negara. Ada ketidakpuasan akan hukum yang telah dijatuhkan secara "kekeluargaan" pada pelaku. Kasus ini akan terus bergulir, dipanasi, dikipasi hingga terpuaskannya hasrat penuntut. Penuntut seolah menikmati moment yang penuh sorak sorai pendukungnya, berdiri diatas pangguang, menikmati standing applause penggemarnya, dan berlama-lama menikmatinya, setiap detiknya, setiap tepukannya, setiap kerlip cahaya lampunya. Dan akhirnya BAP jua jadinya.

Diantara megahnya pentas ini, korban hanyalah korban. Pengungggah menikmati dukungan yang mengalir padanya. Netizen menikmati melontarkan caci maki pada pelaku, menjadi lakon suci, penentu standard kebajikan. Sedangkan korban tetap tertunduk dipojokan, hanya terpapar sesaat blizt yang memancar, urusan psikologis mereka? Biarlah jadi urusan negara. Dan gegap gempita caci maki terus berkumandang.

Tak elok sebenarnya berlama-lama, bila klaim pengunggah benar adanya, mereka menyatakan punya bukti yang bisa dipertanggung jawabkan, apa beratnya melaporkan, toh mereka berkata, "Tiada takut kami mati demi memperjuangkan kebenaran yang kami yakini." Selesaikanlah segera, melempar bola panas, lalu duduk dipojokan menikmati netizen menggocek bola, bertengkar sesamanya rasanya bukanlah solusi. Itu hanyalah sarana pemuas ego pengunggah, menikmati sorotan, kerlip cahaya, sanjungan layaknya pejuang 45. Dan korban tetaplah korban, tanpa solusi yang pasti, tak ubah komoditi, hanya jadi sarana publikasi, yang manfaatnyapun tak mereka nikmati.

DS180228

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun