Mohon tunggu...
Hasna Zahratil Fuadah
Hasna Zahratil Fuadah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

studying Political Science at Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membebaskan Masyarakat Adat dari Belenggu Stereotip Orientalisme

21 Oktober 2021   22:00 Diperbarui: 21 Oktober 2021   22:20 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jauh sebelum Indonesia merdeka, wilayah Indonesia telah menjadi bagian dari hidup masyarakat adat yang ada di dalamnya. Setiap masyarakat adat memiliki corak kebudayaan, sistem masyarakat, cara pandang, dan cara hidup yang berbeda-beda. Masing-masing kebudayaan tersebut menjadi kekayaan warisan budaya Indonesia yang telah mengakar dan membentuk komunitas yang unik selama ratusan tahun. 

Kedatangan penjajah Belanda pada 1569 memulai sebuah era baru kolonialisme yang perlahan turut mengubah corak budaya masyarakat sebagai negara jajahan. 

Penjajahan yang dilangsungkan selama 350 tahun tersebut, tidak dapat dipungkiri, turut berkontribusi dalam merubah cara berpikir masyarakat dalam memaknai kebudayaan dan modernisasi. 

Penempatan bangsa barat sebagai bangsa yang superior dan bangsa timur sebagai bangsa inferior dan terjajah, menjadi doktrin yang dipropagandakan terus menerus. Penjajahan juga berkontribusi dalam menggerus kebudayaan lokal dengan mengenalkan kebudayaan ala barat yang dianggap lebih baik dan merekonstruksi sistem sosial menjadi kelas-kelas ala kolonial. 

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pemikiran ini tidak serta merta hilang. Seiring dengan merebaknya modernisasi, globalisasi, dan demokrasi, kebudayaan lokal menjadi semakin terpinggirkan. 

Nasionalisme yang sedang berusaha dibangun mempropagandakan persatuan politik nasional yang didasarkan pada demokrasi. Solidaritas nasional diletakkan di atas solidaritas kedaerahan/kesukuan sehingga konsolidasi lokal seringkali dianggap sebagai bentuk ancaman separatisme. 

Fluktuasi politik pada awal kemerdekaan Indonesia, menjadikan diskursus mengenai multikulturalisme menjadi sangat minim. Hal ini diperkuat dengan rezim orde baru yang melakukan unifikasi/penyeragaman politik yang didasarkan pada asas tunggal Pancasila sebagai alat untuk mengontrol negara dan menjamin stabilitas politik. 

Kurangnya diskursus mengenai keberagaman kebudayaan dan masyarakat adat ini, menciptakan kebijakan-kebijakan yang bias. Kepentingan masyarakat adat dan pola-pola interaksi di dalamnya belum cukup dilindungi oleh negara meski berdiri di bawah semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika.

Kemerdekaan yang didapatkan oleh banyak negara-negara bekas jajahan pasca Perang Dunia II, tidak otomatis menghilangkan kolonialisme itu sendiri. Menurut Edward Said (1978), terdapat bentuk-bentuk kolonialisme baru melalui hegemoni ilmu pengetahuan dan pengaruh global yang terbagi secara geografis; Barat (Occident) dan Timur (Orient). 

Said membawa sebuah terminologi 'orientalisme' yang dimaknai sebagai perbedaan ontologis dan epistemologis antara Timur dan Barat. Bangsa barat merekonstruksi pengetahuan berdasarkan sudut pandang mereka terhadap bangsa Timur, bahkan memproduksi Timur secara politis, ideologis, sosiologis, ilmiah, dan militer melalui kacamata bangsa Barat. 

Bangsa timur seringkali didefinisikan sebagai bangsa yang primitif, barbar, dan tidak berpendidikan, hal ini tentu mengukuhkan posisi Barat sebagai kiblat dari modernisme dan pengetahuan sehingga memperbesar dominasinya dalam membentuk wacana global. 

Relasi kuasa ini yang disoroti Said sebagai bentuk kolonialisme baru karena barat berusaha membangun asumsinya atas timur yang sering kali jauh berbeda dari yang sebenarnya.

Konstruksi pendidikan dan modernisme ala barat yang dianggap lebih superior kemudian menggeser pemaknaan sistem lokal (adat) menjadi sistem yang primitif dan tertinggal. 

Stereotip akan kebodohan dan primitivisme masyarakat adat ini tentu sangat berimplikasi kepada bagaimana masyarakat luas memandang masyarakat adat, terutama bagi mereka yang tinggal di dalam rimba.  

Keterbatasan mereka atas pengetahuan mengenai modernisme dianggap sebagai bentuk ketertinggalan dan kelemahan intelektual, padahal, masyarakat adat membentuk sistem pengetahuan dan kecerdasan mereka sendiri yang tentu selaras dengan kebutuhan (Manurung, 2007). 

Karena masyarakat adat belum menerima sistem pendidikan modern, peran mereka kemudian dikecilkan dalam kontribusi politik daerah dan nasional. Ketidaktahuan ini juga banyak dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi politik. 

Masyarakat adat seringkali harus berhadapan dengan konflik agraria dan lingkungan dengan perusahaan-perusahaan besar, sebagaimana yang terjadi pada Masyarakat Adat Toruakat di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara (27/9/21) yang menewaskan satu korban jiwa. Konflik ini dipicu oleh konflik lahan dengan perusahaan tambang emas PT Bulawan Daya Lestari . 

Konflik serupa juga terjadi di Kutai Timur, Kalimantan Timur antara Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai dengan PT SAWA mengenai konflik lahan sawit (30/1/21). Terjadi intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat sebagai bentuk ancaman. 

Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tercatat konflik agraria yang melibatkan masyarakat desa dengan perusahaan adalah sebanyak 2.228 kasus sepanjang 2015-2020. 

Hal ini tentu menjadi angka yang sangat memprihatinkan yang menunjukkan betapa lemahnya posisi masyarakat adat ketika harus berlawanan dengan perusahaan besar demi sepetak lahan dan identitas adat yang mereka perjuangkan.

Masyarakat adat adalah kelompok rentan yang intelektualnya berkali-kali dipertanyakan, perlu ada pergerakan untuk memperkuat kedudukan masyarakat adat secara politik, ekonomi, dan budaya sehingga masyarakat adat memiliki kekuatan tawar (bargaining power) yang tinggi, salah satunya adalah melalui pemerataan pendidikan. 

Salah satu yang bergerak pada bidang ini adalah Sokola Institute, sebuah organisasi non-profit yang melakukan pengajaran dan pendidikan alternatif kepada masyarakat adat yang terbatas akses, secara geografis maupun kultural, untuk mengenyam pendidikan formal. 

Kurikulum Sokola terintegrasi dengan kearifan lokal dari masyarakat adat yang bersangkutan, pendidikan alternatif yang diajarkan bersifat kontekstual dan berfokus pada penyelesaian masalah dan perlindungan kepentingan masyarakat adat, seperti melindungi hutan dari penebang liar, memperjuangkan hak lahan dan identitas adat, advokasi, hak asasi manusia dan juga hukum (Manurung, 2007).

Selain pendidikan, perlu dikembangkan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat adat. Kepentingan masyarakat adat perlu dilindungi secara konstitusional. 

Salah satu kebijakan yang mulai mengakomodir suara masyarakat adat adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengakui aliran kepercayaan di luar 6 agama yang diakui secara resmi. 

Agama kepercayaan berbasis kultural seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Parmalim, dan Marapu mendapatkan status hukum yang jelas sebagai agama yang diakui oleh negara. 

RUU Masyarakat Adat yang melindungi hak-hak masyarakat adat seperti hak atas wilayah adat, hak atas budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda adat, hak atas lingkungan hidup, dan hak atas FPIC (Free, Prior, Informed Consent) yang menjadi telah bahasan sejak 2013 juga perlu untuk segera disahkan. 

RUU ini penting disahkan demi menghormati, melindungi, dan memenuhi kebutuhan hukum yang memperkuat posisi masyarakat adat dalam undang-undang (Walhi, 2020).

Kesadaran atas orientalisme, yang memproyeksikan sebentuk stereotip kepada masyarakat adat/kesukuan ini, dapat dikembangkan sebagai kebangkitan dari pemaknaan baru atas kekayaan lokal dan primitivisme. 

Membebaskan masyarakat adat dari stereotip dan definisi ketertinggalan ala barat, menjadi sebuah jalan untuk menghormati dan merayakan keragaman budaya lokal. 

Mendengar dan mewadahi kepentingan masyarakat adat sebagai komunitas yang valid dalam tatanan struktur nasional artinya merangkul mereka sebagai bagian dari Indonesia. 

Masyarakat adat tidak seharusnya teralienasi hanya karena tidak bisa membaca dan menulis, akses terhadap pendidikan dasar, kesehatan, dan perlindungan hukum sudah sepantasnya diberikan selagi Indonesia masih membawa semboyan yang sama: Bhinneka Tunggal Ika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun