Relasi kuasa ini yang disoroti Said sebagai bentuk kolonialisme baru karena barat berusaha membangun asumsinya atas timur yang sering kali jauh berbeda dari yang sebenarnya.
Konstruksi pendidikan dan modernisme ala barat yang dianggap lebih superior kemudian menggeser pemaknaan sistem lokal (adat) menjadi sistem yang primitif dan tertinggal.Â
Stereotip akan kebodohan dan primitivisme masyarakat adat ini tentu sangat berimplikasi kepada bagaimana masyarakat luas memandang masyarakat adat, terutama bagi mereka yang tinggal di dalam rimba. Â
Keterbatasan mereka atas pengetahuan mengenai modernisme dianggap sebagai bentuk ketertinggalan dan kelemahan intelektual, padahal, masyarakat adat membentuk sistem pengetahuan dan kecerdasan mereka sendiri yang tentu selaras dengan kebutuhan (Manurung, 2007).Â
Karena masyarakat adat belum menerima sistem pendidikan modern, peran mereka kemudian dikecilkan dalam kontribusi politik daerah dan nasional. Ketidaktahuan ini juga banyak dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi politik.Â
Masyarakat adat seringkali harus berhadapan dengan konflik agraria dan lingkungan dengan perusahaan-perusahaan besar, sebagaimana yang terjadi pada Masyarakat Adat Toruakat di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara (27/9/21) yang menewaskan satu korban jiwa. Konflik ini dipicu oleh konflik lahan dengan perusahaan tambang emas PT Bulawan Daya Lestari .Â
Konflik serupa juga terjadi di Kutai Timur, Kalimantan Timur antara Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai dengan PT SAWA mengenai konflik lahan sawit (30/1/21). Terjadi intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat sebagai bentuk ancaman.Â
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tercatat konflik agraria yang melibatkan masyarakat desa dengan perusahaan adalah sebanyak 2.228 kasus sepanjang 2015-2020.Â
Hal ini tentu menjadi angka yang sangat memprihatinkan yang menunjukkan betapa lemahnya posisi masyarakat adat ketika harus berlawanan dengan perusahaan besar demi sepetak lahan dan identitas adat yang mereka perjuangkan.
Masyarakat adat adalah kelompok rentan yang intelektualnya berkali-kali dipertanyakan, perlu ada pergerakan untuk memperkuat kedudukan masyarakat adat secara politik, ekonomi, dan budaya sehingga masyarakat adat memiliki kekuatan tawar (bargaining power) yang tinggi, salah satunya adalah melalui pemerataan pendidikan.Â
Salah satu yang bergerak pada bidang ini adalah Sokola Institute, sebuah organisasi non-profit yang melakukan pengajaran dan pendidikan alternatif kepada masyarakat adat yang terbatas akses, secara geografis maupun kultural, untuk mengenyam pendidikan formal.Â