Mohon tunggu...
Sriyanti HasnaMarwanti
Sriyanti HasnaMarwanti Mohon Tunggu... Lainnya - A dreamer

Seorang pemimpi yang terkadang suka membaca buku non fiksi. Mari berteman lewat diskusi sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Wacana Pajak Ekspor Nikel Akan Dibuat Progresif, Pebisnis Tambang Mau Muntah!

23 Agustus 2022   17:05 Diperbarui: 23 Agustus 2022   17:10 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kucing muak. Sumber: liputan6.com

Membayangkan berbisnis di Indonesia seperti enak dan mantap, apalagi pemerintah Indonesia begitu terbuka dengan hadirnya investor serta sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang melimpah-ruah. Pilihan untuk komoditas yang diolah pun begitu banyak!

Namun sayangnya, berbisnis tak semudah itu! Kenyataannya, ketika pemerintah sudah mendapatkan investor untuk mengucurkan dananya di negara, kemudian banyak 'batu terjal' yang harus dilalui oleh pebisnis, khususnya bisnis pada industri pertambangan. 

Contohnya pada Agustus 2022, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa Indonesia kemungkinan akan memberlakukan pengenaan pajak atas ekspor nikel demi meningkatkan pendapatan dan mempromosikan manufaktur lokal bernilai tinggi. Menurutnya, pajak ekspor nikel ini berguna untuk menambah nilai Indonesia, meningkatkan penerimaan negara, dan menciptakan lapangan kerja lebih banyak. 

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo memaparkan pada Selasa (2/8) ini masih dalam wacana karena membutuhkan diskusi lebih lanjut secara mendetail, serta kapan diterapkannya. Namun, seorang pejabat senior pemerintah mengatakan pada 1 Agustus 2022 kalau pajak ekspor nikel diterapkan pada kuartal ketiga tahun 2022. 

Tentu ini sesuatu yang mendadak jika dilihat dari kacamata pebisnis. Yang menjadi pertanyaan, dalam jangka waktu secepat itu, apakah pemerintah sudah benar-benar mendiskusikan dengan pihak pebisnis? Mengingat dalam berbisnis, terdapat multipihak yang terlibat yakni negara, investor, dan pebisnis. 

Apalagi jika kebijakan ekspor nikel tersebut dinilai dari sudut pandang pebisnis tambang, keputusan ini menambah beban pengusaha. Terutama jika pajak yang diterapkan bersifat progresif alias bernilai tinggi! 

Wakil Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, mengutip dari Katadata, Sabtu (20/8), Indonesia nantinya akan mengenakan pajak untuk olahan mineral nikel seperti NPI dan Feronikel berdasarkan harga nikel serta batu bara yang dikenakan dalam produksi. 

Namun, berdasarkan penelusuran tim, pemerintah rupanya telah merilis PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Pada lampiran beleid yang diterbitkan 15 Agustus 2022 ini,PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada halaman 18, semua komoditas pemurnian seperti Nickel Matte, Ferro Nickel (FeNi), Nickel Oksida, Nickel Hidroksida,  Nickel MHP, Nickel HNC, Nickel Sulfida, Kobalt Oksida, Kobalt Hidroksida, Kobalt Sulfidal, Krom Oksida, Logam Krom, Mangan Oksida, Magnesium Oksida, Magnesium Sulfat pada akhirnya dikenakan pajak ekspor!

Pengenaan pajak ekspor nikel tersebut telah menjadi polemik di kalangan pelaku industri. Jumlah pajak ekspor itu juga dinilai tinggi. Semua komoditas olahan industri nikel tersebut ditarifkan pajak ekspor progresif sebesar 5% per ton dari harganya. 

Bisa dibayangkan, industri pertambangan tidak hanya satu atau dua ton saja produksinya, namun bisa berpuluh-puluh ton bahkan jutaan ton per harinya. 

Jika jumlahnya tidak berketentuan setiap hari, dapat dipastikan penerapan pajak ekspor tersebut dapat menghambat rantai produksi yang sedang berjalan.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli, menerangkan bahwa pengenaan pajak ekspor progresif bisa menimbulkan akibat yang kurang menyenangkan apabila tidak dipikirkan dan didiskusikan secara saksama serta matang. 

Mengingat teknologi untuk pemurnian komoditas nikel dan turunannya memiliki nilai investasi cukup mahal, maka risiko investasinya pun besar. Sementara, harga nikel di pasar global mengalami tingkat pergolakan harga yang tinggi.

Rizal juga menambahkan, bahwa pemerintah seharusnya tidak bisa serta-merta mengenakan pajak ekspor begitu saja. Hal ini disebabkan oleh tingkat risiko investasi pada industri nikel yang terbilang tinggi sehingga pemerintah harus ambil peran kepada para pebisnis yang menanggung risiko ketidakpastian harga global komoditas nikel.

Apabila di suatu momen harga nikel global merosot, harapannya pemerintah tidak 'menutup kupingnya', dan membiarkan para pebisnis sendirian menghadapi momen tersebut. Sebab, di awal perjanjian ketika masa penjajakan dalam berbisnis, seolah-olah pemerintah memberikan kesan 'manis' akan memberikan segala hal dengan bijak kepada pebisnis dalam menerima investasi.

Namun jika pemerintah hanya hadir ketika harga tinggi dan memberikan pajak ekspor nikel begitu saja, apakah hal tersebut etis dalam berbisnis? Sepertinya tidak, ini lebih kepada (maaf) posesif menuju serakah.

Alih-alih melakukan hilirisasi dengan baik dan bijak, pemerintah hobi untuk menarik ulur investor dengan melakukan pajak ekspor nikel, salah satunya. Rasanya seperti mabuk darat ketika naik mobil, bisa-bisa investor akan muntah dan memilih untuk keluar mobil (red: Indonesia) jika lama kelamaan dibikin mabuk dan mual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun