Bisa dibayangkan, industri pertambangan tidak hanya satu atau dua ton saja produksinya, namun bisa berpuluh-puluh ton bahkan jutaan ton per harinya.Â
Jika jumlahnya tidak berketentuan setiap hari, dapat dipastikan penerapan pajak ekspor tersebut dapat menghambat rantai produksi yang sedang berjalan.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli, menerangkan bahwa pengenaan pajak ekspor progresif bisa menimbulkan akibat yang kurang menyenangkan apabila tidak dipikirkan dan didiskusikan secara saksama serta matang.Â
Mengingat teknologi untuk pemurnian komoditas nikel dan turunannya memiliki nilai investasi cukup mahal, maka risiko investasinya pun besar. Sementara, harga nikel di pasar global mengalami tingkat pergolakan harga yang tinggi.
Rizal juga menambahkan, bahwa pemerintah seharusnya tidak bisa serta-merta mengenakan pajak ekspor begitu saja. Hal ini disebabkan oleh tingkat risiko investasi pada industri nikel yang terbilang tinggi sehingga pemerintah harus ambil peran kepada para pebisnis yang menanggung risiko ketidakpastian harga global komoditas nikel.
Apabila di suatu momen harga nikel global merosot, harapannya pemerintah tidak 'menutup kupingnya', dan membiarkan para pebisnis sendirian menghadapi momen tersebut. Sebab, di awal perjanjian ketika masa penjajakan dalam berbisnis, seolah-olah pemerintah memberikan kesan 'manis' akan memberikan segala hal dengan bijak kepada pebisnis dalam menerima investasi.
Namun jika pemerintah hanya hadir ketika harga tinggi dan memberikan pajak ekspor nikel begitu saja, apakah hal tersebut etis dalam berbisnis? Sepertinya tidak, ini lebih kepada (maaf) posesif menuju serakah.
Alih-alih melakukan hilirisasi dengan baik dan bijak, pemerintah hobi untuk menarik ulur investor dengan melakukan pajak ekspor nikel, salah satunya. Rasanya seperti mabuk darat ketika naik mobil, bisa-bisa investor akan muntah dan memilih untuk keluar mobil (red: Indonesia) jika lama kelamaan dibikin mabuk dan mual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H