Hilirisasi industri terutama di produk nikel sudah lama digaungkan oleh pemerintah. Tidak baru satu, dua atau lima tahun belakangan, akan tetapi sudah menjadi semangat Indonesia sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara diberlakukan.Â
Pada 2010, Kementerian Perindustrian menginisiasikan hilirisasi industri untuk mendapatkan value added produk bahan mentah, memperkuat struktur industri, menyediakan lapangan kerja, dan memberikan peluang usaha di Indonesia.
Bahkan kebijakan larangan ekspor nikel mentah pun turut menjadi bagian dari cerita hilirisasi industri yang dapat membuat produk mineral negeri ini bernilai tinggi dan berdaya saing di pasar global. Namun nampaknya, cita-cita hilirisasi Indonesia bisa terancam tak berjalan, justru karena ulah pembuat kebijakan itu sendiri.
Mengapa begitu? Meski larangan ekspor nikel mentah tak serungsing yang terjadi di sektor batu bara, namun baru-baru ini muncul kebijakan baru yang membuat pusing para pengusaha dan juga investor di sektor nikel yaitu dengan diberlakukannya PP No. 26 Â Tahun 2022 tentang pajak progresif untuk ekspor nikel.Â
Sebenarnya apa, sih, pajak progresif untuk ekspor nikel dan mengapa hal itu membuat pusing para pengusaha dan investor nikel? Sesederhana ini, nantinya produk nikel akan dikenakan pajak jika diekspor ke luar negeri. Selain itu, pajak progresif juga membuat perusahaan tambang yang terintegrasi dengan pabrik smelter harus membayar pajak hasil produk akhirnya.Â
Semua itu diluar pajak badan perusahaan dan pajak karyawan yang telah dibayarkan selama ini. Â
Para pengusaha dan investor tambang nikel sudah mengetahui rencana ini kala Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto di Januari 2022 silam mengungkap maksud dan tujuan dari pemberlakuan pajak progresif untuk ekspor nikel di awal tahun 2022 lalu.Â
Kala itu, ia menyebutkan bahwa nantinya akan ada 2 produk nikel yang dikenakan pajak ekspor yaitu Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferronickel (FeNi). Katanya, semua ini demi mendorong hilirisasi nikel lebih jauh lagi.  Tak hanya berhenti di 2 produk itu saja namun juga ke produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.Â
Namun, pengusaha dan investor seolah-olah terperangkap saat yang termaktub di PP No 26 tahun 2022 terbaru tak hanya 2 produk NPI dan Feronikel yang dikenakan pajak ekspor tetapi bertambah juga sederet produk lainnya seperti Nickel Matte, Nickel MHP, Nickel Sulfide, Kobalt Oksida, Logam Krom, Mangan Oksida dan masih banyak lainnya.Â
Padahal, dulu pihak dari pengusaha sudah pernah menyampaikan aspirasi, meski tak diajak diskusi terlebih dahulu mengenai rencana kebijakan, bahwa pengenaan pajak ekspor pengolahan nikel harus hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai aspek dalam menunjang iklim investasi tetap berjalan lancar di Indonesia. Hal ini diutarakan di waktu yang sama oleh Rizal Khasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia
Sebenarnya, peran pemerintah yang adil dan berimbang menjadi poin penting dalam case pajak ekspor nikel ini. Jika harga nikel di pasar dunia tidak mencapai level harga ekonomis, maka dalam kondisi tersebut, perusahaan terpaksa menanggung risikonya, tanpa sedikit pun mendapatkan 'pertolongan' dari Pemerintah. Sudah tidak dapat 'pertolongan', harus menanggung beban pajak pula. Namun saat harga nikel tinggi pemerintah muncul untuk mengenakan pajak ekspor.
Adanya kebijakan demi kebijakan kontroversial yang dibuat pemerintah Indonesia namun tak menguntungkan pihak investor yang berperan besar dalam pengembangan industri dalam negeri, ditakutkan hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran.
Pertama, para investor lama-kelamaan bisa merasa jengah jika berada di dalam iklim investasi yang tidak nyaman sehingga akhirnya memilih untuk menghentikan investasinya di sektor industri pengolahan nikel. Selanjutnya, jika investor menarik semua modal yang tak hanya berupa uang namun juga teknologi dan pengetahuan, maka cita-cita hilirisasi industri bisa sulit tercapai.
Apakah kita mau kembali ke belakang saat Fraser Institute pada Global Survey of Mining Investor (2013) mencatat Indonesia adalah negara dengan peringkat terbawah terkait iklim investasi dari 96 negara?
Mengapa justru sumber pundi investasi hingga Rp302,2 triliun di kuartal II/2022 ini seolah diperlakukan bak peribahasa habis manis sepah dibuang oleh pemerintah Indonesia? Ya semoga saja Indonesia bukan sedang menggali lobang kerugiannya sendiri.
Saat ini, hanya dua pilihan yang akan dihadapkan kepada kita. Tumbuh lebih tinggi atau stagnan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H