Sebenarnya, peran pemerintah yang adil dan berimbang menjadi poin penting dalam case pajak ekspor nikel ini. Jika harga nikel di pasar dunia tidak mencapai level harga ekonomis, maka dalam kondisi tersebut, perusahaan terpaksa menanggung risikonya, tanpa sedikit pun mendapatkan 'pertolongan' dari Pemerintah. Sudah tidak dapat 'pertolongan', harus menanggung beban pajak pula. Namun saat harga nikel tinggi pemerintah muncul untuk mengenakan pajak ekspor.
Adanya kebijakan demi kebijakan kontroversial yang dibuat pemerintah Indonesia namun tak menguntungkan pihak investor yang berperan besar dalam pengembangan industri dalam negeri, ditakutkan hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran.
Pertama, para investor lama-kelamaan bisa merasa jengah jika berada di dalam iklim investasi yang tidak nyaman sehingga akhirnya memilih untuk menghentikan investasinya di sektor industri pengolahan nikel. Selanjutnya, jika investor menarik semua modal yang tak hanya berupa uang namun juga teknologi dan pengetahuan, maka cita-cita hilirisasi industri bisa sulit tercapai.
Apakah kita mau kembali ke belakang saat Fraser Institute pada Global Survey of Mining Investor (2013) mencatat Indonesia adalah negara dengan peringkat terbawah terkait iklim investasi dari 96 negara?
Mengapa justru sumber pundi investasi hingga Rp302,2 triliun di kuartal II/2022 ini seolah diperlakukan bak peribahasa habis manis sepah dibuang oleh pemerintah Indonesia? Ya semoga saja Indonesia bukan sedang menggali lobang kerugiannya sendiri.
Saat ini, hanya dua pilihan yang akan dihadapkan kepada kita. Tumbuh lebih tinggi atau stagnan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H