Tahun 2014, Adian berhasil menjadi anggota DPR, saat Fahri sudah terpilih untuk ketiga kalinya, Sekjen PENA 98 tersebut kembali dibuat kecewa kala Fahri dan sebagian anggota DPR membuat perubahan UU MD 3 yang membiarkan partai pendukung capres yang kalah bisa menguasai pimpinan DPR. Akhirnya, Fahri lah yang berhasil menempati salah satu posisi tersebut. Tentunya hal ini tidak sehat dan tidak sportif.Â
Meski dirundung kecewa dengan kelakuan beberapa anggota wakil rakyat, namun Adian tetap berjuang bersama rakyat. Kembali, anggota DPR fraksi PDIP tersebut mempertanyakan keberadaan Fahri saat dirinya memperjuangkan hak rakyat  Bogor, Cianjur, Sumedang, Bandung, Majalengka dan Cirebon hingga Semarang yang tanahnya dilintasi jalur SUTET, memperjuangkan hak rakyat Pongkor atas tambang emas ANTAM di sana hingga memperjuangan 400 ha lahan emas ANTAM agar bisa dikelola Pemda Konawe Utara, dan masih banyak lainnya.Â
Bahkan meski Fahri mengaku sebagai aktivis '98, namun Adian menilai Fahri tak pernah ada saat dirinya dan alumni Trisakti mengusahakan bantuan untuk 4 keluarga korban Trisakti atau membantu memperjuangkan kebebasan Eva Susanti Bande, aktivis '98 yang dipenjara korean membela hak petani sawit di Sulteng.Â
Di akhir suratnya, Adian mengutarakan bahwa uraian pengalamannya di atas bukan untuk menyombongkan diri, namun untuk menjawab Fahri Hamzah yang seperti mempertanyakan komitmen perjuangannya untuk rakyat.Â
Tidak seharusnya menghakimi dan mempertanyakan pilihan jalan dan pilihan perjuangan masing-masing. Terlebih pilihan jalan Adian dan Fahri dinilai aktivis '98 tersebut berbeda. Adi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H