Mohon tunggu...
Sriyanti HasnaMarwanti
Sriyanti HasnaMarwanti Mohon Tunggu... Lainnya - A dreamer

Seorang pemimpi yang terkadang suka membaca buku non fiksi. Mari berteman lewat diskusi sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Putusan MK Terbaru Buat Pejabat yang Bisnis Tes PCR Tak Lagi Kebal Hukum

5 November 2021   17:04 Diperbarui: 5 November 2021   17:12 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahkamah konstitusi. Sumber foto: migrantcare.com

Kabar baik bagi masyarakat yang geram dengan adanya keterlibatan pejabat yang berbisnis tes PCR di masa pandemi. Pasalnya, kini pejabat tersebut bisa digugat pasca adanya judicial review terhadap Perppu Nomor 1 tahun 2020 atau Perpu Covid-19 yang sudah diganti menjadi UU No. 2 tahun 2020 oleh Mahkamah Konstitusi pada Kamis, (28/10).

Sekadar informasi, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) yang pertama kali menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini dilakukan demi UU No. 2 tahun 2020 yang tidak lagi dapat disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab, terutama pejabat pemerintah .

Jadinya, ketika pasal 27 ayat (1), (2), (3) dalam UU No 2 tahun 2020 juga ikut direvisi, kini pejabat tidak lagi kebal hukum dan bahkan negara pun bisa dituntut terkait segala sesuatu yang berhubungan dengan penanganan pandemi di Tanah Air.

Terutama ayat (1) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 di pasal 27 UU Nomor 2 tahun 2020, yang diubah oleh Mahkamah Konstitusi adalah; kini negara bisa digugat jika terbukti menyelewengkan dana penanganan Covid-19.

Dengan adanya perubahan ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan institusi penegak hukum seperti KPK maupun Polri, dapat melakukan penyelidikan jika adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat atau negara. 

Dan di ayat-ayat selanjutnya, MK tidak mengubah banyak, namun menyebutkan pejabat pemerintah yang disebutkan dalam UU tersebut termasuk subjek hukum yang bisa digugat.

Lalu apa Hubungan Keputusan MK dengan keterlibatan pejabat di polemik hangat baru-baru ini?

Terdapat dua syarat apabila tes usap PCR hendak diberlakukan ke moda transportasi masyarakat atau kegiatan kehidupan sehari-hari.  Pertama, haruslah mudah dijangkau oleh seluruh lapisan. Kedua, tidak bermahar alias gratis. 

Namun kini faktanya, penyelenggaraan tes PCR malah diserahkan kepada pihak swasta, yang berdalih bahwa seluruh peralatan hingga mesin pembuatnya harus impor dan membutuhkan modal, sehingga membuat harga tes PCR melambung tinggi.

Negara seharusnya tidak selalu bergantung pada barang impor dan mendukung pembuatan mesin PCR lokal dalam negeri, demi solusi harga murah tes PCR. Tapi ternyata ada alasan mengapa semua itu tidak pernah terjadi dengan terkuaknya dugaan keterlibatan Menko Luhut dan beberapa tokoh lainnya di pusaran bisnis tes usap PCR dalam laporan investigasi Majalah Tempo belakangan ini.

Dalam hal ini, seharusnya penyelenggaraan tes PCR bisa menggunakan anggaran negara dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dengan menyerahkan sepenuhnya ke pihak swasta.

Dan, sudah sewajarnya bahwa para pembasmi kebijakan di level manapun untuk penanganan virus Covid-19 di Tanah Air, harus memiliki niat dan ikhtiar bekerja yang berorientasi pada kebaikan masyarakat.

Apakah undang-undang ini akan terpakai dalam penindakan tegas terhadap dugaan keterlibatan Menko Luhut dan beberapa tokoh lainnya di bisnis tes PCR?

Sudah banyak para tokoh masyarakat yang meminta para pejabat di bisnis tes PCR agar mematuhi putusan MK tentang UU nomor 2 tahun 2020 ini. Seperti yang dilontarkan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus.

Putusan dari Mahkamah Konstitusi ini sudah inkrah, yang artinya bersifat final dan mengikat. Tentunya pejabat sekelas menteri harusnya tak bisa kebal hukum, meski ia membantah keterlibatan dirinya di bisnis tes PCR. Benar begitu, kan? Atau, kamu ada pendapat lain perihal polemik yang lagi hangat-hangatnya kali ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun