Kabar baik bagi masyarakat yang geram dengan adanya keterlibatan pejabat yang berbisnis tes PCR di masa pandemi. Pasalnya, kini pejabat tersebut bisa digugat pasca adanya judicial review terhadap Perppu Nomor 1 tahun 2020 atau Perpu Covid-19 yang sudah diganti menjadi UU No. 2 tahun 2020 oleh Mahkamah Konstitusi pada Kamis, (28/10).
Sekadar informasi, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) yang pertama kali menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini dilakukan demi UU No. 2 tahun 2020 yang tidak lagi dapat disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab, terutama pejabat pemerintah .
Jadinya, ketika pasal 27Â ayat (1), (2), (3) dalam UU No 2 tahun 2020 juga ikut direvisi, kini pejabat tidak lagi kebal hukum dan bahkan negara pun bisa dituntut terkait segala sesuatu yang berhubungan dengan penanganan pandemi di Tanah Air.
Terutama ayat (1) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 di pasal 27 UU Nomor 2 tahun 2020, yang diubah oleh Mahkamah Konstitusi adalah; kini negara bisa digugat jika terbukti menyelewengkan dana penanganan Covid-19.
Dengan adanya perubahan ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan institusi penegak hukum seperti KPK maupun Polri, dapat melakukan penyelidikan jika adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat atau negara.Â
Dan di ayat-ayat selanjutnya, MK tidak mengubah banyak, namun menyebutkan pejabat pemerintah yang disebutkan dalam UU tersebut termasuk subjek hukum yang bisa digugat.
Lalu apa Hubungan Keputusan MK dengan keterlibatan pejabat di polemik hangat baru-baru ini?
Terdapat dua syarat apabila tes usap PCR hendak diberlakukan ke moda transportasi masyarakat atau kegiatan kehidupan sehari-hari. Â Pertama, haruslah mudah dijangkau oleh seluruh lapisan. Kedua, tidak bermahar alias gratis.Â
Namun kini faktanya, penyelenggaraan tes PCR malah diserahkan kepada pihak swasta, yang berdalih bahwa seluruh peralatan hingga mesin pembuatnya harus impor dan membutuhkan modal, sehingga membuat harga tes PCR melambung tinggi.
Negara seharusnya tidak selalu bergantung pada barang impor dan mendukung pembuatan mesin PCR lokal dalam negeri, demi solusi harga murah tes PCR. Tapi ternyata ada alasan mengapa semua itu tidak pernah terjadi dengan terkuaknya dugaan keterlibatan Menko Luhut dan beberapa tokoh lainnya di pusaran bisnis tes usap PCR dalam laporan investigasi Majalah Tempo belakangan ini.