Mohon tunggu...
Hasbi Aswar
Hasbi Aswar Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Penggiat kajian politik internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Persaingan Amerika - China dan Posisi Kaum Muslimin

18 Oktober 2022   18:43 Diperbarui: 18 Oktober 2022   18:53 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu dekade terakhir dalam politik Internasional diwarnai oleh rivalitas antara Amerika Serikat dan China. Selama lebih dari dua dekade Amerika tidak tersaingi secara pengaruh global, setiap tindakannya diikuti oleh negara lain namun munculnya China membuat Amerika Serikat mulai khawatir bahwa dominasinya mulai berkurang, dan negara -- negara lain secara bertahap lebih memilih kepada China.

Kawasan Indo-pasifik merupakan kawasan yang menjadi medan persaingan dua negara besar ini. China terlihat agresif di kawasan ini dengan proyek belt and route initiative (BRI) nya melalui kerjasama perdagangan dan investasi dengan berbagai negara di kawasan ini. Selain itu juga, China meningkatkan aktifitasnya di laut China Selatan yang dia klaim sebagai wilayah kedaulatannya melalui kegiatan militer, penelitian, dan penangkapan ikan. Selain itu, China juga terus meningkatkan kekuatan persenjataannya dan sekarang menjadi negara dengan belanja militer terbesar kedua setelah Amerika Serikat.

Meningkatnya kekuatan China dan sikap politiknya di kawasan Indo-Pasifik bagi Amerika Serikat merupakan ancaman terhadap kepentingannya di kawasan sebab bagi AS kawasan ini adalah mitra investasi, perdagangan strategis dan keamanan. Tahun 2018 misalnya, AS mengklaim dari nilai perdagangan antara AS dan negara di Indo-pasifik menyumbang 3 juta lapangan kerja untuk masyarakat AS. Di Kawasan laut china selatan, tahun 2016, sekitar 6% dari total perdagangan AS diangkut melalui jalur ini. 90% impor minyak untuk China, Jepang dan Korea selatan juga harus melalui laut china selatan[1].

Di saat China menguasai laut China selatan maka, negara ini bisa menguasai aktivitas penangkapan ikan dan eksplorasi gas dengan jumlah yang sangat besar. China juga dapat melakukan intimidasi atau tekanan -- tekanan politik bagi negara -- negara yang berbatasan dengan laut china selatan (LCS). China juga dapat menjadikan wilayah LCS sebagai zona pertahanan udaranya; Melakukan blokade terhadap Taiwan, Korea dan Jepang dan menjadi titik tolak proyeksi politik dan militer global.

Penguasaan China terhadap LCS bagi AS akan mempersulit AS untuk melindungi sekutu -- sekutunya di Asia Timur. Akan mempersulit proses perdagangan AS di wilayah Asia Tenggara dan Timur, serta akan menghambat jalur transportasi militer AS dari wilayah pasifik ke Samudera Hindia. Secara otomatis, bagi AS, jika china tidak segera dibendung maka akan membuat AS kehilangan posisi strategisnya di wilayah Indo-pasifik termasuk termasuk ancaman terhadap posisi secara global[2].

Dalam menghadapi ancaman China, Amerika Serikat telah merancang strategi politiknya sebagaimana yang tertuang dalam dokumen Dewan keamanan nasional AS:

a.   Memperkuat bantuan AS kepada negara -- negara sahabat, melakukan pendekatan terhadap publik negara -- negara tersebut untuk menyaingi upaya cina.

b.   Memperkuat kerjasama dengan negara -- negara mitra strategis seperti Jepang, Korea dan Australia seperti melalui quadrilateral security framework.

c.    Memperkuat aliansi dengan filipina dan Thailand demi mendukung peran aktif negara -- negara ini di Kawasan melalui bantuan pembangunan dan pertahanan, serta pelatihan -- pelatihan.

d.   Meningkatkan kepemimpinan AS dalam bidang keamanan non-tradisional di wilayah Indo pasifik seperti bantuan kemanusiaan, bencana, dan kesehatan.

e.   Melakukan konter terhadap sikap cina dalam perdagangan global yang bersikap tidak adil  serta menciptakan opini global mengenai perdagangan china yg tidak adil dan merusak[3].

 

Untuk mengimplementasikan strategi kebijakan diatas AS telah melakukan berbagai upaya antara lain, Dalam aspek kerjasama non-militer, sejak deklarasi Donald Trump tahun 2017 terkait visi Indo Pasifik yang terbuka dan bebas (U.S. vision for a free and open Indo-Pacific) AS memulai proyek bantuan pembangunan infrastruktur, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi melalui energi dan konektivitas digital dan kerjasama keamanan siber. USAID melaporkan pada tahun 2018 kerjasama antar negara -- negara indo-pasifik dan AS meningkat pesat dengan ribuan proyek -- proyek baru. Kerjasama tersebut mencakup negara Vietnam, Indonesia, Jepang, Sri Lanka, Myanmar[4]. Tahun 2021, dalam forum Indo-Pacific Business, AS memperluas bantuan ke negara -- negara asia selatan seperti Bangladesh, Bhutan, India, the Maldives, Nepal and Sri Lanka. Kemudian di negara Asia Tenggara mencakup Indonesia, Filipina, Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam. Dan negara -- negara di Pasifik seperti Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu. Jumlah komitmen bantuan adalah sekitar 286 juta dollar [5].

Sejak tahun 2019 melalui Komando Indo-Pasifik Amerika Serikat, USINDOPACOM, AS telah menempatkan sekitar 2000 pesawat tempur, 200 kapal perang, dan kapal selam, dan lebih dari 370 ribu pasukan beserta para awak yang difungsikan terkait kepentingan militer AS di Kawasan Indo-pasifik. Konsentrasi terbesar untuk penempatan militer itu berada di Jepang dan Korea Selatan. Dalam skala yang lebih kecil militer AS juga berada di Filipina, Australia, Singapura, dan Diego Garcia [6]. AS dan mitra strategisnya di kawasan membentuk forum dialog yang disebut dengan the Quadrilateral Security Dialogue dengan Australia, India dan Jepang. Forum ini dibentuk tahun 2004 untuk merespon dampak Tsunami namun berkembang saat ini sebagai forum dialog untuk isu -- isu strategis dalam bidang keamanan, ekonomi, kesehatan khususnya untuk membendung pengaruh china di Kawasan. Pada November 2020, aliansi ini menggelar latihan perang bersama di Malabar menggunakan peralatan perang laut dan udara (Department of Defence Ministers, 2020). Bukan hanya kerjasama militer, Quad ini juga memperkuat kerjasama di bidang vaksin untuk membendung upaya politik vaksin China di kawasan maupun global melalui bantuan keuangan Jepang dan AS untuk peningkatan produksi vaksin Covid 19 di India dan bantuan distribusi dari Australia di Kawasan[7] (Paskal, 2021).

Kemudian, pada 11 November 2021, AS, Inggris dan Australia mengumumkan kesepakatan trilateral untuk kerjasama pertukaran informasi penggerak nuklir Angkatan laut dalam rangka memperkuat pertahanan bersama yang disebut AUKUS. Dalam kesepakatan ini, Australian akan mendapatkan kapal selam canggih bertenaga nuklir. Kesepakatan ini sempat membuat Prancis kesal karena Australia memutuskan sepihak kontrak kapal selam antara kedua negara. Sementara di kawasan Asia Tenggara, yang terlihat skeptis adalah Malaysia dan Indonesia sementara Singapura, Vietnam dan Filipina menyambut baik kesepakatan ini.

Selain peningkatan kerjasama, beberapa tahun terakhir antara blok AS dan blok China juga melakukan show of force melalui latihan -- latihan tempur di Kawasan laut Cina selatan. Seperti kerjasama AS dan Indonesia dalam Latihan militer yang melibatkan 4000 tentara; Latihan India dan Vietnam;  Latihan AS dan Filipina; Latihan AS dan jepang; India dan Filipina dan Seterusnya. China juga disatu sisi menggelar Latihan bersama Rusia dengan melibatkan 10.000 tentara di wilayah laut china Selatan. AS secara umum telah menggelar 85 kali Latihan military di Kawasan Indo pasifik khususnya di laut china selatan. Sementara untuk merespon AS dan sekutunya, China juga telah meningkatkan kekuatan Angkatan perang lautnya sejak tahun 2019 [8].

Dari sisi yang lain, pada tahun 2018 AS telah melancarkan perang dagang dengan China sejak era Donald Trump.  Amerika Serikat juga memainkan isu pelanggaran HAM China atas Uighur untuk mengecam China bahkan pemerintahan Biden memboikot Winter Olympic dan Paralympic Games tahun 2022 di Beijing dengan alasan yang sama.

Dari fakta -- fakta diatas nampak sekali bahwa Amerika Serikat sangat serius dalam merespon kebijakan China di kawasan Indo-Pasifik. Penarikan tantara AS di Afghanistan juga disinyalir adalah bagian dari upaya AS memfokuskan diri untuk berhadapan dengan China. Terbukti pada akhir desember 2021, Kongres AS menyepakati kenaikan belanja pertahanan AS sebanyak lima persen dengan jumlah 777 miliar dolar. Jumlah yang sebanyak ini jauh melampaui belanjar China bahkan jika digabung dengan Rusia.

Ini diakui oleh angggota kongres dari Demokrat, Elaine Luria yang mengatakan bahwa, ini adalah bagian dari upaya kontra terhadap ancaman China. Bulan Mei 2021, saat pemerintahan Biden mengusulkan biaya pertahanan pun memasukkan China sebagai ancaman utama terhadap kepentingan AS[9]. Pada kunjungan ke Thailand, Malaysia dan Indonesia pada Desember 2021 lalu, Menteri Luar Negeri AS mempertegas kembali bahwa  AS akan bekerjasama dengan para mitranya di kawasan untuk menjamin wilayah itu terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja[10].

Sementara bagi China, kebijakan yang dilakukannya selama ini ini baik dalam aspek ekonomi, politik dan militer adalah dalam rangka mempertahankan kepentingan nya di kawasan Indo-Pasifik seperti: Pertama,  Mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah melalui penguatan keamanan di wilayah -- wilayah perbatasan baik darat seperti Myanmar, Vietnam dan Laos serta perbatasan laut China Timur, Laut China Selatan dan Laut Kuning.

Kedua, China juga perlu menjaga keberlanjutan pembangunan sosial ekonominya melalui perdagangan dan investasi. Di wilayah asia tenggara misalnya, negara -- negara seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand dan Indonesia merupakan mitra ekonomi penting bagi china. Selain itu, dalam bidang ekonomi maritim, China sangat tergantung pada selat malaka sebagai jalur transportasi impor minyaknya sehingga Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand secara otomatis akan menjadi negara penting bagi China. Selain itu, sebagai jalur alternatif, Burma/Myanmar menjadi target transportasi darat dari Samudera Hindia menuju China[11].

Hubungan Antara AS dan China 

Di lihat dari segi historis, hubungan antara kedua negara memang diawali dengan konflik khususnya era perang dingin karena perbedaan ideologi dan kepentingan politik. China berada diporos ideologi komunis bersama Uni Sovyet yang mendukung penyebaran komunisme khususnya di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur. Sementara Amerika Serikat berada diporos kapitalisme global. Perbedaan ideologi ini secara otomatis juga mempengaruhi kepentingan antara kedua negara.

Hubungan tersebut membaik di tahun 1970an yang membuat Amerika Serikat mengizinkan China masuk menjadi bagian dari anggota Perserikatan Bangsa -- Bangsa. Hubungan dagang lebih intensif terjadi di awal tahun 2000, dan Amerika Serikat memberikan jalan ke China masuk menjadi anggota organisasi perdagangan dunia (WTO)[12].

Masuknya China dalam politik perdagangan kapitalisme global banyak menguntungkan negara ini, pendapatan perkapita terus meningkat dan mampu menyalib posisi Jepang sebagai negara kedua terkuat secara ekonomi setelah Amerika Serikat. Bahkan dengan prestasi ekonomi tersebut, diprediksi bahwa China akan mengambil alih penguasa ekonomi dari tangan AS beberapa puluh tahun yang akan datang. Menurut lembaga konsultan Inggris, Pusat Penelitian Bisnis dan Ekonomi (CEBR), 2022, bahwa GDP China akan meningkat rata -- rata 5,7 persen setiap tahun sampai tahun 2025, dan rata -- rata 4,7 persen sampai tahun 2030 dan pada tahun itu, China akan menjadi negara dengan ekonomi dengan satu dunia mengalahkan Amerika Serikat[13].

Beberapa tahun terakhir ini, yang dominan di potret terkait hubungan AS dan China adalah isu persaingan di kawasan Asia -- Pasifik, faktanya hubungan ketergantungan ekonomi antara kedua negara masih terus terjadi sampai saat ini. Data tahun 2020 menunjukkan bahwa China adalah target ekspor barang ketiga terbesar Amerika Serikat dengan nilai 124,5 miliar dolar naik 16,9 persen dari tahun 2019. Bagi China, AS adalah supplier terbesar untuk kebutuhan barang -- barang seperti mesin mesin listrik, mesin , mainan dan peralatan olahraga, furnitur dan tempat tidur, dan barang tekstil[14]. Juga, Perusahaan- perusahaan AS melihat China adalah pasar yang besar dan menjanjikan, sementara disisi yang lain China butuh investasi asing besar -- besaran dari negara -- negara maju seperti Amerika Serikat[15].

Dalam bidang pendidikan, pelajar China yang belajar di AS mencapai 370 ribu orang pada tahun 2019- 2020 yaitu 34% dari seluruh jumlah pelajar asing di AS. Kerjasama penelitian antara kedua negara terus terjalin termasuk di era covid 19.

Masa Depan Pertarungan AS -- China

Dalam pertarungan antara AS dan China, Nampak bahwa China berupaya merespon sikap AS secara defensif. Setiap serangan propaganda AS atau aksi -- aksi provokasi AS untuk meningkatkan ketegangan, seperti pelatihan militer bersama, serangan terhadap isu HAM, perdagangan, dan yang lainnya tidak direspon secara konfrontatif oleh China. China selalu membela diri dan menyampaikan sikap terbuka dan kooperatif nya dan bersiap membawa segala masalah ke meja perundingan. Di sisi lain peningkatan kerjasama militer AS juga direspon oleh China sebagai bentuk provokasi yang mengganggu stabilitas kawasan Indo-Pasifik.

Dalam politik internasional, perubahan struktur politik adalah sesuatu hal yang wajar. Ada saatnya negara superpower yang dominan digantikan oleh negara superpower yang baru muncul. Jika melihat kondisi China saat ini dan dibandingkan dengan Amerika Serikat. China masih berada di Langkah awal untuk menuju negara superpower global. Ini yang telah terbaca, sehingga AS berupaya  untuk mengaborsi Langkah China ini agar tidak sampai pada kondisi yang tidak bisa terbendung lagi.

Melihat sikap Amerika Serikat terhadap China dan kebijakan strategisnya di Indo-Pasifik untuk membendung China, kedepan AS akan terus mengobarkan persaingan sampai betul -- betul China sudah sampai tahap yang tidak membahayakan kepentingan AS baik di kawasan maupun global. AS akan terus menggunakan isu HAM, laut China Selatan sebagai bagian dari narasi politik untuk menghantam China. Selain itu AS juga akan terus memperkuat kerjasama militer bersama Jepang, Korea Selatan, Australia dan India dan kerjasama AUKUS untuk menekan China.

Meskipun demikian, saling ketergantungan antara kedua negara juga akan membuat persaingan antara kedua negara juga sulit mencapai tahap yang lebih keras seperti di era perang dunia atau perang dingin. Sehingga kedua belah pihak akan selalu mencari jalan untuk bernegosiasi satu sama lain[16].

Posisi Umat Islam

Konteks persaingan antara China dan AS dalam lingkup yang besar adalah persaingan dalam peradaban sekuler kapitalisme. Artinya, persaingan yang terjadi antara kedua negara ini tidak memiliki kontribusi besar terhadap umat manusia bahkan berpotensi mengorbankan banyak nyawa. Sama halnya dengan konflik -- konflik yang terjadi selama ini dalam system kapitalisme sejak abad -- abad yang lalu sampai sekarang.

China dan AS sekarang juga punya masalah internal yang banyak dan berpotensi besar menghancurkan negara ini dari dalam. Seperti, kesenjangan sosial yang tinggi di masyarakat, tingkat kelahiran bayi yang rendah, kerusakan moral, kriminalitas, pengangguran, polusi udara,  dsb.

Dalam laporan Edelman Trust Barometer (2020) terkait respon masyarakat dunia terhadap kapitalisme dengan jumlah 34.000 orang dari 28 negara disimpulkan bahwa 56% masyarakat setuju bahwa kapitalisme lebiih banyak merusak daripada menciptakan kebaikan di bumi[17]. Pandangan terhadap demokrasi juga sama, Pew Research Center (2019) melaporkan hasil penelitian dari 27 negara dengan lebih 30 ribu responden menunjukkan bahwa 51 persen tidak puas terhadap demokrasi, 60% pemilu tidak menghasilkan perubahan, 54 % para politisi yang cenderung korup. Sikap masyarakat ini dianggap menjadi bagian dari penyebab menurunnya kualitas demokrasi negara -- negara secara global[18].

Disisi lain di dunia Islam, aspirasi terhadap pentingnya penerapan Syariah Islam semakin meningkat. Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya peran -- peran gerakan Islam untuk mengambil peran dalam politik di berbagai negara Muslim. Survei survei juga menunjukkan di berbagai negeri Islam telah terjadi peningkatan kesadaran bersyariah di antara kaum Muslimin. fakta yang paling mutakhir adalah runtuhnya rezim sekuler Afghanistan yang ditopang oleh AS dan kembalinya Taliban sebagai penguasa. Salah satu faktor penyebabnya adalah Muslim Afghanistan yang lebih rela diatur dengan Islam daripada dengan aturan - aturan yang tidak berasal dari hukum - hukum Allah SWT.

Dalam menghadapi persaingan antara China dan Amerika Serikat, umat Islam tidak boleh terjebak oleh pilihan salah satu yang terbaik kemudian memihak salah satu diantara mereka. Sebab dua - duanya adalah bagian dari masalah peradaban sekuler yang ada hari ini. Saatnya kaum muslimin memiliki agenda sendiri yang berakar dari ajaran - ajaran Islam yang luhur dan telah menjadi faktor penentu kecemerlangan peradaban Islam selama 14 abad lamanya.

Daftar Pustaka: 

'A "New Cold War"?: How the US-China Trade Dispute Is Deepening'. Accessed 22 January 2022. https://www.aljazeera.com/economy/2020/6/29/a-new-cold-war-how-the-us-china-trade-dispute-is-deepening.

'Blinken Slams "Aggressive" China; Vows Stronger Indo-Pacific Ties'. Accessed 22 January 2022. https://www.aljazeera.com/news/2021/12/14/blinken-vows-stronger-defence-economic-alliances-in-indo-pacific.

Department of Defence Ministers. 'Australia Joins Exercise MALABAR 2020'. Australian Government Department of Defence, 2020. https://www.minister.defence.gov.au/minister/lreynolds/media-releases/australia-joins-exercise-malabar-2020#:~:text=Australia has joined key regional of regional peace and security.

Harb, Ali. 'US Military Spending Grows as Policy Shifts to "Prioritise China".' Accessed 22 January 2022. https://www.aljazeera.com/news/2021/12/16/us-military-spending-grows-as-policy-shifts-to-prioritise-china.

Hass, Ryan. 'The "New Normal" in US-China Relations: Hardening Competition and Deep Interdependence.' Brookings (blog), 12 August 2021. https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2021/08/12/the-new-normal-in-us-china-relations-hardening-competition-and-deep-interdependence/.

He, Kai, and Li Mingjiang. 'Four Reasons Why the Indo-Pacific Matters in 2020 | OUPblog', 2020. https://blog.oup.com/2020/02/four-reasons-why-the-indo-pacific-matters-in-2020/.

Jennings, Ralph. 'China's Economy Could Overtake US Economy by 2030'. VOA, 4 January 2022. https://www.voanews.com/a/chinas-economy-could-overtake-us-economy-by-2030/6380892.html.

John, Mark. 'Capitalism Seen Doing "more Harm than Good" in Global Survey.' Reuters, 20 January 2020, sec. Business News. https://www.reuters.com/article/us-davos-meeting-trust-idUSKBN1ZJ0CW.

Lin, Bonny, Michael Chase, Jonah Blank, Cortez Cooper, Derek Grossman, Scott Harold, Jennifer Moroney, et al. Regional Responses to U.S.-China Competition in the Indo-Pacific: Study Overview and Conclusions. Regional Responses to U.S.-China Competition in the Indo-Pacific: Study Overview and Conclusions, 2020. https://doi.org/10.7249/rr4412.

O'Rourke, Ronald. 'U.S.-China Strategic Competition in South and East China Seas: Background and Issues for Congress (Updated)'. In Current Developments in the U.S.-China Relationship, 121--288, 2021.

Ott, Marvin. 'The South China Sea in Strategic Terms,' 2019. https://www.wilsoncenter.org/blog-post/the-south-china-sea-strategic-terms.

Paskal, Cleo. 'Indo-Pacific Strategies, Perceptions and The View from Seven Countries.' Energy, Environment, and Resources Programme and Asia-Pacific Programme, no. March (2021): 53.

Council on Foreign Relations. 'Timeline: U.S. Relations With China 1949--2021'. Accessed 22 January 2022. https://www.cfr.org/timeline/us-relations-china.

United States Trade Representative. 'The People's Republic of China: U.S.-China Trade Facts.' United States Trade Representative. Accessed 22 January 2022. http://ustr.gov/countries-regions/china-mongolia-taiwan/peoples-republic-china.

USAID. 'USAID Showcases More Than $286 Million in Planned Programs and Initiatives to Boost Economic Growth in the Indo-Pacific', 2021. https://www.usaid.gov/news-information/press-releases/oct-28-2021-usaid-showcases-more-286-million-planned-programs-and-initiatives.

---------. 'USAID's Role in Advancing the U.S. Vision for a Free and Open Indo-Pacific | U.S. Agency for International Development, 2019. https://www.usaid.gov/indo-pacific-vision/econ/shared-prosperity-2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun