Mohon tunggu...
Hasanudin
Hasanudin Mohon Tunggu... Guru - Freelance

Menyukai Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Candi Morangan: Situs Kadewaguruan pada Masa Mataram Kuno

20 Desember 2022   11:41 Diperbarui: 20 Desember 2022   11:59 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief kijang pada candi Morangan. Dok. Pribadi

Secara Admnistratif Candi Morangan terletak di Dusun Morangan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini terletak di ujung utara provinsi Yogyakarta, jika ditempuh dari pusat kota Yogyakarta kurang lebih memakan waktu sekitar 46 menit menuju lokasi. Candi yang ditemukan pada tahun 1884 dan dalam kondisi tertutup semak belukar dan sudah mulai runtuh. Kondisi candi yang seperti itu tidak lepas dari pengaruh alam, salah satunya adalah letusan gunung merapi. Hal ini dibuktikan dengan kondisi lingkungan sekitar candi yang terdiri atas batu-batu dan pasir yang dibawa oleh luapan sungai Gendol. (Yogyakarta., 2021).

Kisaran kapan candi Morangan dibangun belum ada bukti yang pasti, karena tidak ada prasasti atau literatur yang menyebutkan kapan candi ini di bangun. Akan tetapi, ada pendapat yang menyatakan bahwa candi Morangan di bangun pada abad ke-9 bersamaan dengan pembangunan candi Prambanan, hal ini dibuktikan dengan adanya kemiripan relief yang termuat di candi Morangan dengan candi Prambanan. 

Secara konstruktif, candi Morangan terdiri atas candi induk dan candi prewara (pengiring). Adanya temuan Yoni dan arca Lembu Nandi (tunggangan Dewa Siwa) menyiratkan bahwa candi ini beraliran Hindu-Siwa. Candi morangan masih menyisakan misteri terkait dengan kegunaan atau fungsinya, apakah sebagai pendermaan raja atau justru tempat para Brahma menggembleng putra-putri terbaik yang dimiliki kerajaan Mataram Kuno?

Apabila sebagai pendermaan raja, tidak ada Arca raja atau caitya-gṛha yang menyimpan arca dewa-dewi atau objek penyembahan untuk kegiatan keagamaan masyarakat sekitar candi Morangan (Aditya B. Perdana, 2020). Namun, bila dilihat berdasarkan relief yang tergambar pada panil-panil candi, justru diasumsikan sebagai tempat pendidikan, hal ini didasarkan pada adanya relief tiga orang Brahma yang membawa lontar pustaka. Relief sendiri merupakan bentuk viasualisasi yang menggambarkan cerita keagamaan atau cerita yang bersifat pendidikan moral, cerita dipahatkan dalam panil-panil yang berada di dinding luar bangunan candi, menyambung dari panil ke panil berikutnya secara horizontal. 

Selain itu, adanya relief juga menggambarkan tentang kondisi masyarakat atau lingkungan sekitar yang sejaman (Istari, 2015). Dalam relief yang termuat di candi ini, terdapat relief yang berkisah tentang seekor Harimau yang tertipu oleh seekor kambing. Relief tersebut merupakan bagian dari cerita Tantri Kamandaka yang biasanya ditemui pada candi-candi yang berlatar Budha (Cagar Budaya DIY).

Penggambaran binatang pada relief candi berfungsi sebagai bagian dari pengkisahan cerita yang berkaitan dengan suatu ajaran, pengkisahan cerita fabel atau perlambangan. Cerita fabel sendiri mengandung ajaran moral, etika, dan pendidikan, sementara untuk perlambangannya adalah binatang-binatang yang dianggap mengandung kekuatan, kepahlawanan, dan kesuburan, serta kendaraan dewa (Istari, 2015).

Relief kijang pada candi Morangan. Dok. Pribadi
Relief kijang pada candi Morangan. Dok. Pribadi

Selain itu, relef lain pada candi ini berisi para kaum agamawan dengan pakaian yang sederhana, sehingga mengidentikkan dengan tempat suci para kaum Brahma. Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya relief tiga orang resi sedang membawa pustaka lontar pustaka (kitab suci) dan uptala (teratai biru) (Anonim, n.d.).

Relief tiga orang resi membawa lontara pustaka dan uptala. Dok. Pribadi
Relief tiga orang resi membawa lontara pustaka dan uptala. Dok. Pribadi

Relief resi membawa lontar pustaka ini menggambarkan tokoh-tokoh cendekiawan dan pada masa itu budaya menulis pada daun lontar sudah dikenal. Sebagaimana kutipan yang terdapat pada lontar Merapi-Merbabu, yaitu:

“Itih aji sarasoti kayatnakna de nira sang sewaka dharma, idep minaka mangsi, lidah minangka gebhang sara minaka sastra”,….Artinya: Ini Aji Saraswati, (hendaknya) dipegang teguh oleh penghamba kebenaran (bahwa) pikiran itu sebagai mangsi (tinta tradisional), lidah sebagai gebhang (rontal), dan kata-kata sebagai sastranya, .... (Saraswati Merapi-Merbabu/PNRI 1 L.254, lp 1: 1-2). (Geriai, 2010)

Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa budaya menulis pada daun lontar menjadi bagian dari kehidupan seorang Brahmana. Dalam perspektif budaya dan masyarakat Hindu, sastra lontar dipandang sebagai sesuatu yang suci, sakral, dan religius sehingga orang yang akan menggeluti budaya lontar dituntut untuk memiliki pengetahuan moral-spiritual dan religius yang memadai, serta harus suci lahir batin (Geriai, 2010). Hal tersebut sesuai dengan peran seorang Brahma, yang mana golongan Brahma ini adalah golongan suci yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama dan bisa mengadakan hubungan dengan roh nenek moyang (Edi Setyawati, 1991).

Ruang bawah tanah dan relung dengan arca Bhatara Guru. Sumber : http://hdl.handle.net/1887.1/item:85049
Ruang bawah tanah dan relung dengan arca Bhatara Guru. Sumber : http://hdl.handle.net/1887.1/item:85049

Apabila dilihat berdasarkan relief yang ada pada candi Morangan, jelas bahwa terdapat indikasi bahwa candi Morangan adalah situs kadewaguruan. Justifikasi candi morangan sebagai situs kadewaguruan didasarkan pada relief yang terdapat pada panil-panil candi tersebut. Kadewaguruan sendiri letaknya berada di kaki gunung dan dekat dengan aliran sungai serta dihuni oleh keluarga Brahama dengan perempuan-perempuan yang suci (Edi Setyawati, 1991).

Foto dua pertapa sedang menaiki gajah. Dok. Pribadi
Foto dua pertapa sedang menaiki gajah. Dok. Pribadi

Secara geografis juga sangat memungkinkan jika candi ini sebagai tempat kadewaguruan karena terletak di lereng Gunung Merapi dan dekat dengan aliran sungai Gendol yang berhulu di Gunung Merapi, sehingga memungkinkan candi ini menjadi tempat belajar yang ideal, jauh dari keramaian dan terpisah dari pusat pemerintahan.  Hal ini sebagaimana tahapan yang harus dilalui oleh seorang murid untuk menjadi brahamacari (tahapan menuntut ilmu), yaitu keharusan untuk tinggal di hutan bersama dengan brahma (guru) untuk mempelajari berbagai ilmu. Tujuan lainnya adalah untuk menghindarkan seorang murid dari pengaruh nafsu duniawi. Di kadewaguruan para murid ini belajar secara individu maupun kelompok dengan materi ajar beruapa tata cara upacara, filasafat, keadaan alam dan dunia, riawayat pada rsi, dan kita-kitab yang beraliran Siwa (Nugroho, 2014)

Dalam kitab negara Kertagama salah satu ciri mandala atau kadewaguruan adalah adanya lingga-pranala atau lingga-yoni (Titasari, 2020). Syarat ini juga tentunya ditemukan pada candi Morangan. Selain itu, adanya temuan lontar Merapi-Merbabu yang ditulis di lereng Merapi-Merbabu juga dapat menjadi bagian yang menentukan bagaimana kehidupan masyarat Jawa kuno mengenai pendidikan. begitu juga catatan berita Cina dari Dinasti T’ang (619-907) menyebutkan bahwa pada tahun 640 M terdapat sebuah kerajaan di daerah lautan Selatan beranama Ho-ling. Dalam catatan tersebut digambarkan bahwa penduduk Ho-ling sudah memiliki kemampuan dalam menulis dan juga ilmu perbintangan (Suwandono, 2013). Berdasarkan pada pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada masa itu penduduk Jawa Kuno sudah mempunyai peradaban yang cukup maju dengan lembaga pendidikannya yang bernama Kadewaguruan.

Referensi

Aditya B. Perdana, R. P. (2020). STUDY ON ARCHITECTURAL RELATION OF ANCIENT MATARAM HINDU CANDI AND VĀSTUŚĀSTRA. Volume 04, Nomor 03, edisi Juli, hal 234-251.

Anonim. (n.d.). Candi Morangan. Retrieved from https://direktoripariwisata.id/unit/1214

Edi Setyawati, M. Z. (1991). Sejarah Pendidikan di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat. Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Geriai, A. G. (2010). Lontar: Tradisi Hidup Dan Lestari Di Bali. Media Pustakawan, 36.

Istari, R. (2015). ragam Hias Candi-Candi di Jawa Motif dan Maknanya. Yogyakarta: Kepel Press.

Nugroho, Y. A. (2014, Mei 09). Pendidikan Agama di Kadewaguruan. Retrieved from https://historia.id/kuno/articles/pendidikan-agama-di-kadewaguruan-vo4qP/page/1

Suwandono. (2013). Sejarah Indonesia Pada Masa Hindu Budha. Yogyakarta: Ombak.

Titasari, H. P. (2020). MANDALA KADEWAGURUAN: TEMPAT PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI LERENG BARAT GUNUNG LAWU ABAD XIV – XV MASEHI. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 5, Nomor 1, Juni.

Yogyakarta., B. P. (2021, Januari 31). Candi Morangan. Retrieved from https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/candi-morangan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun