“Itih aji sarasoti kayatnakna de nira sang sewaka dharma, idep minaka mangsi, lidah minangka gebhang sara minaka sastra”,….Artinya: Ini Aji Saraswati, (hendaknya) dipegang teguh oleh penghamba kebenaran (bahwa) pikiran itu sebagai mangsi (tinta tradisional), lidah sebagai gebhang (rontal), dan kata-kata sebagai sastranya, .... (Saraswati Merapi-Merbabu/PNRI 1 L.254, lp 1: 1-2). (Geriai, 2010)
Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa budaya menulis pada daun lontar menjadi bagian dari kehidupan seorang Brahmana. Dalam perspektif budaya dan masyarakat Hindu, sastra lontar dipandang sebagai sesuatu yang suci, sakral, dan religius sehingga orang yang akan menggeluti budaya lontar dituntut untuk memiliki pengetahuan moral-spiritual dan religius yang memadai, serta harus suci lahir batin (Geriai, 2010). Hal tersebut sesuai dengan peran seorang Brahma, yang mana golongan Brahma ini adalah golongan suci yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama dan bisa mengadakan hubungan dengan roh nenek moyang (Edi Setyawati, 1991).
Apabila dilihat berdasarkan relief yang ada pada candi Morangan, jelas bahwa terdapat indikasi bahwa candi Morangan adalah situs kadewaguruan. Justifikasi candi morangan sebagai situs kadewaguruan didasarkan pada relief yang terdapat pada panil-panil candi tersebut. Kadewaguruan sendiri letaknya berada di kaki gunung dan dekat dengan aliran sungai serta dihuni oleh keluarga Brahama dengan perempuan-perempuan yang suci (Edi Setyawati, 1991).
Secara geografis juga sangat memungkinkan jika candi ini sebagai tempat kadewaguruan karena terletak di lereng Gunung Merapi dan dekat dengan aliran sungai Gendol yang berhulu di Gunung Merapi, sehingga memungkinkan candi ini menjadi tempat belajar yang ideal, jauh dari keramaian dan terpisah dari pusat pemerintahan. Hal ini sebagaimana tahapan yang harus dilalui oleh seorang murid untuk menjadi brahamacari (tahapan menuntut ilmu), yaitu keharusan untuk tinggal di hutan bersama dengan brahma (guru) untuk mempelajari berbagai ilmu. Tujuan lainnya adalah untuk menghindarkan seorang murid dari pengaruh nafsu duniawi. Di kadewaguruan para murid ini belajar secara individu maupun kelompok dengan materi ajar beruapa tata cara upacara, filasafat, keadaan alam dan dunia, riawayat pada rsi, dan kita-kitab yang beraliran Siwa (Nugroho, 2014)
Dalam kitab negara Kertagama salah satu ciri mandala atau kadewaguruan adalah adanya lingga-pranala atau lingga-yoni (Titasari, 2020). Syarat ini juga tentunya ditemukan pada candi Morangan. Selain itu, adanya temuan lontar Merapi-Merbabu yang ditulis di lereng Merapi-Merbabu juga dapat menjadi bagian yang menentukan bagaimana kehidupan masyarat Jawa kuno mengenai pendidikan. begitu juga catatan berita Cina dari Dinasti T’ang (619-907) menyebutkan bahwa pada tahun 640 M terdapat sebuah kerajaan di daerah lautan Selatan beranama Ho-ling. Dalam catatan tersebut digambarkan bahwa penduduk Ho-ling sudah memiliki kemampuan dalam menulis dan juga ilmu perbintangan (Suwandono, 2013). Berdasarkan pada pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada masa itu penduduk Jawa Kuno sudah mempunyai peradaban yang cukup maju dengan lembaga pendidikannya yang bernama Kadewaguruan.
Referensi
Aditya B. Perdana, R. P. (2020). STUDY ON ARCHITECTURAL RELATION OF ANCIENT MATARAM HINDU CANDI AND VĀSTUŚĀSTRA. Volume 04, Nomor 03, edisi Juli, hal 234-251.
Anonim. (n.d.). Candi Morangan. Retrieved from https://direktoripariwisata.id/unit/1214
Edi Setyawati, M. Z. (1991). Sejarah Pendidikan di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat. Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.