Mohon tunggu...
Hasan Ismail
Hasan Ismail Mohon Tunggu... Insinyur - Pribadi yang masih haus ilmu, jadi masih terus belajar dan mengaji

Ayo terus bermujahadah :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Narasi Kebencian?

11 Agustus 2020   13:24 Diperbarui: 11 Agustus 2020   13:45 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

*Ditulis dalam rangka refleksi Peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-75*

Salah satu faktor pendukung agar tujuan dari sebuah kelompok/komunitas dapat dicapai dan sukses adalah kesolidan anggota komunitas tersebut. 

Kesolidan dapat dibentuk dengan berbagai cara dan metode. Salah satunya adalah dengan memperkuat kesepemahaman pada visi, misi, tujuan dan cita-cita pada sesuatu hal yang ingin dicapai dan diraih bersama-sama.

Hal ini dapat kita lihat pada era pra-kemerdekaan, dimana ide dan gagasan sebagai bangsa yang merdeka terus disebarluaskan. Meskipun sebelumnya berbagai usaha dan gerakan perlawanan kemerdekaan kepada penjajah terus dilakukan.

Namun sebelumnya banyak mengalami kegagalan karena sifatnya sporadis dan bersifat kedaerahan. Maka kemudian gema kemerdekaan disebarkan dengan lebih masif dan dengan skala lebih luas meliputi seluruh wilayah nusantara atau sebelumnya yang lebih dikenal dengan wilayah Hindia Belanda.

Salah satunya dilakukan melalui peran berbagai macam organisasi, baik organisasi kepemudaan, perdagangan, keagamamaan, bahkan organisasi politik. Yang mana dari sini kemudian berhasil membangun kesamaan ide dan cita-cita untuk merdeka yang diwujudkan dalam gerakan untuk lepas dari penjajah dengan lebih terorganisir dan dalam sekala yang lebih luas.

Selanjutnya, kesamaan rasa atau solidaritas sebagai bangsa yang terjajah yang diperlakukan dengan tidak adil, semena-mena dan terzolimi berhasil meningkatkan emosional (baca: kemarahan) dari masyarakat Hindia-Belanda waktu itu. 

Bahkan dari tingginya tingkat emosional kemudian mampu melipatgandakan keberanian dan sikap rela berkorban dari setiap diri rakyat Hindia-Belanda, yang menjadi cikal bakal Bangsa Indonesia, mulai dari rela mengorbankan harta benda bahkan sampai dengan jiwa raga mereka atas nama demi mewujudkan cita2 kemerdekaan & bisa terlepas dari belenggu penjajahan. 

Dari perasaan sebagai korban dari tindakan dan perilaku penjajah ini kemudian mampu mengobarkan kemarahan dalam dada dan jiwa bangsa Indonesia yang kemudian secara serempak dan bersama-sama menjadikan penjajah sebagai musuh bersama.

Stephen Glisason dalam bukunya berjudul Emotion and Feelings menulis bahwa kemarahan adalah emosi manusia yang paling dominan. Dimana pada dasarnya kemarahan bersifat mengganggu dan bisa berbahaya. Kemarahan dapat diekspresikan melalui tampilan dan bahkan dengan serangan yang bersifat fisik.

Semua interaksi manusia dipengaruhi oleh ancaman amarah sehingga banyak kekuatan otak yang kemudian dikhususkan untuk pengelolaan amarah. 

Dalam kondisi dan tingkatan tertentu, dorongan amarah dapat membuat manusia bisa bangkit. Namun jika kadar amarah semakin meningkat, aktualisasi amarah dapat berupa tindakan mengancam dengan gerakan; dan kemudian secara opsional bahkan sampai dengan menyerang.

Kemarahan memberi energi pada perilaku agresif dan bersifat protektif sekaligus destruktif. Ketika upaya-upaya negosiasi dan diplomasi yang ditujukan untuk meredam konflik melalui "penyerahan amarah" (anger submission) gagal karena kemarahan yang meningkat dan tidak terkendali, maka perkelahian dan pertempuran tidak akan dapat terelakkan. 

Dimana perkelahian dan pertempuran (fight and war) cenderung memiliki "aturan" tersendiri yang seringkali mengesampingkan rasionalitas dan peri kemanusiaan.

Kemarahan adalah pusaran emosi yang berenergi tinggi yang bahkan mampu untuk mengalahkan kontrol dan bahkan mampu meruntuhkan hambatan-hambatan. 

Kemarahan bersifat: fisik, periodenya singkat, kasar, dan merusak (destructive). Manusia yang mengamuk karena diliputi amarah/kemarahan dapat menghancurkan harta benda, dan bahkan dapat melukai maupun menghilangkan jiwa orang lain.

Kemarahan dihasilkan oleh aktivasi maksimal sistem pertahanan dan pertarungan, detak jantung dan pernafasan akan meningkat cepat, tekanan darah meningkat tinggi, mata kemerahan dan terjadi hipertonisitas semua otot-otot rangka. 

Kekuatan otot maksimal dapat dicapai dalam amarah, dan tampilan energi destruktif yang menakjubkan adalah karakteristik serangan amarah. Itulah mengapa dalam setiap pertempuran di medan perang biasanya diawali dengan pidato dari para pimpinan untuk mengobarkan amarah dari para prajuritnya. 

Pada perkembangannya kemudian banyak pihak yang memanfaatkan sifat bawaan lahir dari manusia berupa emosi ini untuk tujuan tertentu. Tidak jarang pihak-pihak tertentu membawa dan mengangkat isu-isu tertentu untuk mengaduk-aduk emosi sebagian besar masyarakat yang pada tujuannya adalah untuk menggugah kemarahan mereka.

Yang tentu saja kemarahan ini kemudian dieksploitasi untuk mendukung pencapaian tujuan mereka. Sentimen kebencian yang ditujukan untuk menyulut, membangkitkan, memantik dan membakar kemarahan atas nama dendam pribadi, golongan, agama, ras, suku bahkan sentimen anti-pemerintah kerap dimunculkan dengan mengangkat dan menyebarkan berbagai macam isu dan propaganda yang tidak jarang hanya berisi kebohongan, fitnah dan kutipan-kutipan yang di luar konteks. 

Tentu agar tujuan mereka dapat tercapai dengan memanfaatkan kemarahan yang pada akhirnya cenderung bersifat negatif dan destruktif/merusak yang tumbuh pada diri setiap orang yang berhasil dipantik dengan menggunakan berbagai isu dan narasi yang tidak tepat dan tidak benar.

Maka dengan merefleksi kembali sejarah perjuangan kemerdekaan, tentu kemarahan-kemarahan yang saat ini sengaja diciptakan untuk adu domba sesama anak bangsa & membuat sesama anak Bangsa saling bertikai, bermusuhan dan bahkan tidak segan saling adu fisik dan saling menyakiti, seyogyanya dapat diredam dan dihindari. 

Sadar bahwa alih-alih energi kemarahan itu digunakan untuk hal yang positif dan membangun, sebaliknya berbagai dalih dan alasan-alasan berdasarkan kebencian sengaja diciptakan untuk memunculkan kemarahan yang justru bersifat negatif dan dapat merusak diri dan tatanan sosial yang ada. 

Selain menghabiskan energi percuma dan tidak produktif, hal ini juga akan membuat Bangsa Indonesia yang telah memasuki umur ke-75 ini akan berjalan mundur ke belakang dan akan semakin tertinggal.

Umur yang bagi kehidupan manusia seharusnya sudah mencapai fase dewasa atau bisa juga dikatakan sudah tua, dimana mestinya segala sesuatu sudah semakin tertata. 

Jika tidak segera sadar, maka kapal besar bernama NKRI ini bisa saja hancur dan tenggelam karena dirusak oleh penumpangnya sendiri karena diliputi amarah-amarah akibat kebencian sebelum mencapai tujuan.

Dirgahayu Kemerdekaan RI Ke-75. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun