Setelah menerima usulan dari beberapa cendekiawan Ketua DPR Ade Komaruddin dan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di gedung DPR RI Nusantara III Senayan-Jakarta, dengan berbagai pertimbangan yang matang dan melakukan koordinasi atau konsultasi dengan berbagai unsur DPR seprti Fraksi, Komisi-Komisi dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, kemudia diputuskan untuk membangun perpustakaan. Perpustakaan itu nantinya akan berada satu gedung dengan kantor DPR dan Tenaga Ahli yang baru di kompleks parlemen.
Sejumlah Cendekiawan yang hadir antara lain Rizal Mallarangeng, Ignas Kleden, Nirwan Dewanto, Nirwan Arsuka, Ayu Utami, Nong Darol Mahmada, Ulil Abshar Abdalla dan Luthfi Assyaukani. Rizal berharap DPR memiliki perpustakaan layaknya Library of Congress yang memiliki 36 juta buku. Rencananya perpustakaan ini akan menampung 600.000 buku, yaitu di atas National Library of Singapore yang dimiliki Singapur yang hanya menampung 500.000 buku, dengan demikian perpustakaan yang akan direncanakan oleh DPR tersebut adalah yang terbesar di Asia Tenggara.
Alokasi anggaran yang digunakan totalnya adalah Rp. 570 Miliar, dengan rincian seluruh perencanaan pembangunan yaitu gedung baru DPR, perpustakaan, museum DPR, dan juga mimbar demokrasi.Itu artinya jauh di bawah usulan tahun 2014 yang mencapai 1,6 Triliun.
Perpustakaan tersebut dibangun sebagai sarana untuk menunjang kinerja dan kualitas anggota DPR serta menunjang kebutuhan-kebutuhan bahan kajian para tenaga ahli DPR, sekaligus sebagai sebuah symbol kemajuan sebuah pengetahuan suatu bangsa di hadapan bangsa lainnya, sehingga dengan kebesaran symbol tersebut dapat mendorong masyarakat dalam meningkatkan minat baca, minat menulis, rajin ke perpustakaan dan bangkitnya gerakan-gerakan literasi di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang maju dan modern.
Namun RENACAN ini mendapat penolakan dari berbagai pihak, dengan berbagai argumentasi dan dalil. Argument-argumen yang mereka sampaikan sebagai dasar penolakan di antaranya adalah bahwa pembangunan tersebut bukanlah sebuah kebutuhan prioritas; pembangunan tersebut tidak boleh dilakukan karena negara mengalami defist Rp. 300 Triliun; pembangunan tersebut mengada-ada; pembangunan perpustakaan lebih baik membangun E-Library. Alasan yang paling banyak disampaikan adalah yang terahir, yaitu usulan untuk membuat e-library karena di nilai murah, budah di akses dan dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Oleh karena desakan tersebut, mendorong saya untuk menelisik argumentasi tersebut, apakah benar bahwa e-library itu murah dan dapat diakses oleh semua masyarakat? Pertanyaan ini sangat menarik mengingat issu tentang perpustakaan ini menjadi perbincangan hangat ddiberbagai media saat ini. Menariknya adalah karena rakyat Indonesia selalu mudah tergiur dengan kata “murah”, tanpa dilakukan pertimbangan-pertimbangan bahwa apakah hal itu memang benar-benar murah atau hanya sekedar argumentasi yang spontan karena ketidak sukaan terhadap anggota DPR.
Pertama, pembanguan perpustakaan yang sedang di rencanakan oleh DPR yang saat ini sedang ramai diperbincangkan, menggunakan dana alokasi APBN 2016 untuk pembangunan infrastruktur lembaga pemerintahan sebesar Rp. 570 Miliar. Dana ini tidak secara keseluruhan digunakan untuk membangun perpustakaan, tetapi digunakan untuk membangun gedung baru DPR (sebagaimana yang saya jelaskan di awal), museum DPR dan mimbar demokrasi yang rencananya akan di bangun di depan kompleks parlemen sebagai tempat orasi atau menyampaikan aspirasi bagi masyarakat.
Ini jauh lebih murah dari usulan awal yang mencapai triliunan rupiah. Lagi pula, perpustakaan merupakan suatu kebutuhan utama dalam peningkatan kualitas kinerja DPR dan memberikan kemudahan bahan kajian serta referensi bagi anggota DPR serta tenaga ahli dalam menyelesaikan rancangan UU atau persoalan-persoalan lainnya. Dan sungguh sebuah ironi, jika sebuah pemerintahan dalam birokrasinya tidak memiliki perpustakaan yang memadai, sebab pemerintah Desa pun saat ini sudah memiliki perpustakaan yang bagus untuk menunjang peningkatan kerja dan mendorong masyarakat untuk membangkitkan minat baca.
Angaran 570 M terseebut akan dimaksimalkan dalam proses pembangunannya, mulai dari pengadaan 600.000 buku, pengadaan rak dan system kepustakaan, audit bibliografi dan lain-lain. Sehingga jika dihitung-hitung, dengan anggaran yang paspasan tersebut, tidak ada celah adanya kehawatiran tindakan korupsi atau pencitraan yang dipikirkan oleh sebagian orang. Media pencitraannya dari mana, justeru sebaliknya rencana seperti itu malah akan menurunkan citra dan bisa-bisa dianggap tidak pro rakyat. Pada hal rencana pembangunan perpustakaan tersebut, oleh DPR dengan dasar kepentingan rakyat dan masa depan bangsa.
Kedua, Mari kita melakukan komparasi antara perpustakaan manual dengan perpustakaan digital atau e-library. Secara formal e-library dianggap lebih murah karena tidak ada gedung, rak buku, atau ‘buku-buku yang perlu di beli’. Dan hal ini dianggap sebagai sebuah solusi bagi orang-orang yang tidak setuju dengan rencana pembangunan perpustakaan DPR.
Perpustakaan digital atau e-library basis utamanya adalah jaringan internet atau wifi, jika hal ini yang dimaksud ingin dibangun sebagai ganti yang dianggap murah atas rencana pembangunan gedung perpustakaan DPR maka otomatis jaringan internet haruslah dengan kapasitas yang besar dan kuat. Hal ini membutuhkan anggaran untuk pengadaan internet, dan agar dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia, maka negara harus mengeluarkan anggaran untuk pengadaan jaringan internet selurh Indonesia disetiap desa, ditambah dengan ketersediaan alat computer atau laptop setiap kepala keluarga. Oleh karena tidak semua masyarakat mengerti tehnologi dan memahami cara mengakses buku-buku dalam e-library tersebut, maka pemerintah juga akan menganggarkan untuk tenaga pembina dan pelatihan tekhnologi di setiap Desa.
Belum menghitung anggaran dalam proses digitalisasi semua buku-buku dan itu membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang banyak. Peralatan-peralatan serta program aplikasi yang baik. Bandingkan dengan aplikasi “Revolusi Mental” Menko Pembangunan Manusia senilai 3 Miliar. Dan internet dan aplikasi tersebut akan dibayar perperiode atau bahkan perbulan pemakaian. Keseluruhan tersebut menjadi sangat ribet hanya untuk membaca sebuah buku, membutuhkan pelatihan, membutuhkan waktu dan kesempatan yang tidak bebas untuk mengakses buku-buku.
Jika orang yang bias abaca buku atau cinta dengan dunia literasi, akan sangat mengerti tentang waktu dan tempat membaca buku e-book dengan buku manual. Perbedaannya begitu sangat jauh langit dan bumi, tapi jika orang-orang tidak bias abaca buku, tidak cinta dengan dunia literasi, tidak akrab dengan dunia buku dan penerbitan, maka tidak akan mengerti. Yang ada dalam isi kepala mereka hanyalah murah dan praktis, tanpa memahami prosedur dan methodeloginya. Dengan demikian, dapat dikalkulasikan secara sseksama dan teliti anggaran-anggaran yang digunakan setelah telah saya ganbarankan secara detil tentang prosedur yang harus di buat jika pilihannya yang diambil atas usulan atau agumentasi penolakan tersebut. Kalian akan menemukan berkali lipat anggaran yang jauh lebih mahal dari alokasi yang digunakan dalam perencanaan pembangunan gedung perpustakaan.
Jadi, sangatlah keliru mengatakan bahwa pembangunan perpustakaan yang direncanakan DPR tersebut mahal dan lebih sangat tidak masuk akal lagi jika menganggap e-library sebagai solusi yang murah, mudah diakses dan dapat dijangkau oleh masyarakat secara umum hingga seluruh pelosok Indonesia. Dan gagasan atau argumentasi yang keliru ini dapat ditinjau kembali atau dirasionalisasikan bila perlu oleh mereka yang menolak rencana pembangunan gedung perpustakaan DPR RI. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H