Mohon tunggu...
hasan.ali.penulis
hasan.ali.penulis Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Penulis yang masih terus belajar agar menghasilkan tulisan yang baik dan menarik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan di Bulan Desember

8 Desember 2024   10:59 Diperbarui: 8 Desember 2024   11:03 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bulan ini, hujan turun terus-menerus tiap sore. Terkadang hanya satu-dua jam saja, tapi lebih sering sepanjang sore hingga menghabiskan separuh malam. Hujan itu berkah. Waktu yang mustajab untuk berdoa, meski doaku di sepanjang bulan Desember belum juga terkabul. Namun, aku tetap percaya, suatu saat doaku itu akan terwujud. Jika bukan dengan wujud aslinya, barangkali doaku akan berwujud hal lain yang jauh lebih baik dari yang kuinginkan.

Sore itu, di awal bulan Desember, ketika langit tertutup oleh awan gelap layaknya langit malam, ketika tiada langit senja dengan semburat cahaya keemasan dan matahari yang tenggelam menuju peristirahatan yang banyak dicari oleh banyak remaja di bibir pantai, aku di atas sepeda motor dan mantel yang mendekap erat tubuhku, melintas di jalanan kota. Lampu-lampu menyala di setiap tepi jalan. Menemaniku dan hujan di bulan Desember yang terasa amat syahdu.

Aku menikmati waktu itu melebihi waktu-waktu yang telah berlalu. Rintik demi rintik air hujan yang turun, satu per satu menghapus kenangan-kenangan yang tak sepantasnya masih mengisi kekosongan memori di benakku. Kenangan-kenangan itu, sudah sepantasnya ikut meresap ke dalam bumi, di daur ulang oleh cacing-cacing tanah, mengalir menuju sungai, danau, dan laut, lalu menguap dan menjadi awan. Kenangan-kenangan itu turun kembali bersama rintik hujan menjadi kenangan baru yang segar yang mengisi kekosongan memori di dalam benakku.

Di salah satu perempatan, aku berhenti sejenak, menatap lampu merah yang tergantung di atas tiang di tepi jalan. Menghabiskan enam puluh detik bersama hujan di bulan Desember. Aku memperhatikan sekeliling. Jalanan yang bermandikan hujan. Trotoar yang sepi. Dan daun-daun di pucuk ranting pohon di sebuah taman di salah satu pojok perempatan yang melambai-lambai tertiup angin, terlepas dari genggamannya, lalu melayang bebas mengikuti arah angin, hingga sehelai daun di antara mereka mendarat di salah satu bangku taman, duduk di sebelah perempuan muda yang memasrahkan tubuhnya berpagutan bersama hujan di bulan Desember.

Aku melirik sekilas ke arah perempuan itu. Wajahnya memancarkan kesenduan yang begitu saja menusuk ke dalam sukma. Aku dapat merasakan kekosongan jiwa yang ia rasakan, yang juga sedang kualami sebelum hujan turun sore itu. Namun, aku tak tahu, mengapa kesenduan itu justru semakin tampak jelas meski hujan di bulan Desember sudah mengguyurnya.

Ia sendirian, hanya ditemani sehelai daun yang telah terlepas dari ranting pohon tabebuya beberapa saat yang lalu. Sementara lampu merah telah berganti menjadi hijau, aku segera melanjutkan perjalananku. Melintas di depan perempuan muda itu. Dari jarak yang lebih dekat, aku baru menyadari sesuatu. Perempuan itu sepertinya pernah singgah cukup lama di dalam ingatanku. Bukan hanya di dalam ingatan, namun juga di dalam hatiku. Aku berhenti sejenak. Kembali melirik ke arah perempuan itu. Memastikan jika perempuan itu memang benar perempuan yang pernah singgah di dalam hatiku.

Tidak salah lagi. Meski rambutnya kini telah dibungkus oleh kain yang melilit kepalanya, tak seperti dulu lagi. Namun, aku dapat memastikan jika perempuan itu adalah Elina. Aku segera putar balik. Menuju tempat parkir di ujung taman. Dengan tetap didekap mantel, aku berjalan berkecipak melewati kumpulan air hujan yang membasahi kakiku.

"Halo," ucapku memecah kebisingan hujan.

Ia menatapku, terkaget sebab tak menyadari ada orang di sekelilingnya.

"Boleh aku duduk di sebelahmu?"

Ia tak menjawab, tapi tubuhnya bergeser ke ujung bangku, memberikan ruang untukku duduk. Aku duduk di sampingnya dengan terlebih dahulu menyingkirkan sehelai daun dari pohon tabebuya yang sedang meringkuk kedinginan.

"Masih ingat aku?"

Elina mengangguk, tapi tatapan matanya masih lurus ke depan, ke arah sepasang merpati yang tengah meringkuk di dalam kandangnya, saling memberikan kehangatan lewat panas tubuhnya masing-masing.

"Aku tidak pernah mengenal bahagia, Al."

Ia bukan hanya menjawab pertanyaanku, namun juga menyampaikan kalimat pembuka obrolan.

"Bahagia seperti apa yang belum pernah kamu rasakan, El?"

Ia diam sejenak. Mengatur kata-kata yang hendak ia utarakan. "Entahlah, sepanjang hidup, aku tidak pernah mendapatkan hal yang luar biasa seperti yang orang lain dapatkan. Aku merasa hidupku bagai air danau yang hanya berdiam diri di satu tempat, tak pernah mengalir seperti air sungai, pun tak pernah menjadi ombak yang disukai peselancar di tepi pantai.

"Kamu tahu, El? Kebahagiaan itu bukan ketika mendapatkan hal yang luar biasa, bukan pula menjadi orang lain yang kita anggap mereka itu bahagia."

"Lalu?" tanyanya penasaran.

"Bahagia itu ketika kita mampu hadir secara penuh di dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Menikmati keseharian kita. Memberikan apa yang kita punya untuk dunia, bukan mengharapkan sesuatu dari apa yang dunia ini punya. Itu hanya akan memberikan kekecewaan. Kebahagiaan itu ketika seorang Elina mampu menjadi diri Elina seutuhnya, bukan menjadi orang lain."

Ah, mengapa kata-kata yang mengalir dari bibirku terasa begitu dewasa. Apakah aku sedang memberikan ceramah kepada Elina atau sedang memberikan ceramah kepada diri sendiri. Rasa-rasanya, aku seperti sedang menceramahi diri sendiri.

"Kamu betul. Aku terlalu fokus mengejar dunia tanpa berpikir apa yang sudah kuberikan untuk dunia. Terima kasih," ujarnya dengan segaris senyum menghiasi wajahnya. Itu dia. Itu adalah senyum yang kurindu. Senyum seorang Elina yang pernah singgah di dalam hatiku.

Aku melepaskan mantel yang sedari tadi mendekapku. Aku juga ingin berpagutan secara langsung bersama hujan di bulan Desember. Ikut menikmati apa yang sedang Elina rasakan.

"Mengapa kamu melepas mantelmu?"

"Tak apa. Aku hanya ingin mendapatkan kebahagiaan dari hujan."

Kami berdiam diri dalam waktu yang cukup lama. Menikmati berbagai cerita dan rasa yang timbul tenggelam di dalam benak masing-masing. Hingga hujan di sore itu reda, barulah aku mengajak Elina pulang.

"Kamu pulang naik apa?"

"Jalan kaki," jawabnya.

"Kalau begitu ikutlah bersamakaku. Rumahmu masih sama dengan rumahmu tiga tahun yang lalu kan?"

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun