"Masih ingat aku?"
Elina mengangguk, tapi tatapan matanya masih lurus ke depan, ke arah sepasang merpati yang tengah meringkuk di dalam kandangnya, saling memberikan kehangatan lewat panas tubuhnya masing-masing.
"Aku tidak pernah mengenal bahagia, Al."
Ia bukan hanya menjawab pertanyaanku, namun juga menyampaikan kalimat pembuka obrolan.
"Bahagia seperti apa yang belum pernah kamu rasakan, El?"
Ia diam sejenak. Mengatur kata-kata yang hendak ia utarakan. "Entahlah, sepanjang hidup, aku tidak pernah mendapatkan hal yang luar biasa seperti yang orang lain dapatkan. Aku merasa hidupku bagai air danau yang hanya berdiam diri di satu tempat, tak pernah mengalir seperti air sungai, pun tak pernah menjadi ombak yang disukai peselancar di tepi pantai.
"Kamu tahu, El? Kebahagiaan itu bukan ketika mendapatkan hal yang luar biasa, bukan pula menjadi orang lain yang kita anggap mereka itu bahagia."
"Lalu?" tanyanya penasaran.
"Bahagia itu ketika kita mampu hadir secara penuh di dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Menikmati keseharian kita. Memberikan apa yang kita punya untuk dunia, bukan mengharapkan sesuatu dari apa yang dunia ini punya. Itu hanya akan memberikan kekecewaan. Kebahagiaan itu ketika seorang Elina mampu menjadi diri Elina seutuhnya, bukan menjadi orang lain."
Ah, mengapa kata-kata yang mengalir dari bibirku terasa begitu dewasa. Apakah aku sedang memberikan ceramah kepada Elina atau sedang memberikan ceramah kepada diri sendiri. Rasa-rasanya, aku seperti sedang menceramahi diri sendiri.
"Kamu betul. Aku terlalu fokus mengejar dunia tanpa berpikir apa yang sudah kuberikan untuk dunia. Terima kasih," ujarnya dengan segaris senyum menghiasi wajahnya. Itu dia. Itu adalah senyum yang kurindu. Senyum seorang Elina yang pernah singgah di dalam hatiku.