Lelaki tua itu tersenyum. Ia sadar jika Didi bukan lagi anak kecil. Tidak sama lagi seperti lima belas tahun yang lalu ketika ia sering memeluk dan menggendongnya. Kini ia merasa canggung jika harus memeluk, apalagi menggendongnya.
"Kamu yang kuat ya!"
Didi hanya terdiam.
"Dunia memang terkadang tampak kejam. Sering kali kita merasa tidak diperlakukan secara adil oleh Tuhan. Tapi ingat, Nak! Dalam urusan dunia, kita harus melihat ke bawah. Lihatlah mereka yang lebih susah dari kita agar kita semakin bersyukur. Kalau terus-terusan melihat orang yang berduit saja, membanding-bandingkan dengan mereka, kita hanya akan mendapatkan kecemburuan dan kedengkian.
Kamu sebentar lagi akan lulus SMA. Kamu lebih beruntung dari ayah dan ibumu yang hanya lulusan MTS. Ayah tidak memaksa kamu harus menjadi seperti apa, sebab tujuan hidupmu ada pada diri kamu sendiri. Ayah juga tidak bisa berjanji bisa menyekolahkanmu ke perguruan tinggi. Tapi kamu bisa berjanji pada dirimu sendiri. Kamu harus yakin, meski ayahmu hanya seorang tukang becak, namun kamu bisa berkuliah, syukur-syukur bisa berkuliah di Jerman seperti Habibie. Bukankah itu mimpimu, Nak?"
**
"... Ayah tidak bisa berjanji bisa menyekolahkanmu ke perguruan tinggi. Tapi kamu bisa berjanji pada dirimu sendiri. ..." Kalimat itu, kejadian itu, dan wajah teduh ayah pada saat itu kembali terngiang ketika Didi sedang menaiki becak sambil menikmati suasana Kota Hamburg. Ia tak menduga jika kata-kata ayahnya pada saat itu adalah pesan terakhirnya sebelum diambil oleh Sang Maha Pemilik Janji.
"Bagaimana kabar kamu, Nak?"
"Alhamdulillah sehat, Bu. Sekarang Didi lagi naik becak, Bu."
"Oalah, di Jerman ternyata juga ada becak. Tahu begitu, dulu bapak menjadi tukang becak di Jerman saja ya, Nak. Kan tidak mungkin ada penumpang seperti perempuan tua sialan itu." seloroh ibunya dari balik sambungan telepon yang tak lama kemudian disusul isak tangis tiada henti.
***