"Hus! Jangan bilang begitu, Las. Tidak baik. Cukup."
"Sekarang Mas lebih memilih perempuan tua itu dibanding istri sendiri? Atau jangan-jangan Mas selingkuh ya sama perempuan tua itu."
"Astagfirullah, sabar Lastri, sabar. Tidak mungkin Mas melakukan itu. Mas masih takut Tuhan."
"Takut Tuhan apa takut ketahuan?"
Lelaki tua itu tidak bisa lagi menjawab pertanyaan dari istrinya. Lengang. Keduanya saling memandang dalam diam.
"Tuh kan, Mas tidak bisa menjawab. Berarti benar kalau Mas selingkuh sama penumpang itu."
"Tidak, Lastri."
Lastri tak lagi menggubris ucapan suaminya. Ia berjalan menuju ke dapur. Sementara lelaki tua itu masih berdiri mematung. Menundukkan kepala, menatap lantai plester yang mengilat. Beralih menatap kursi-kursi rotan di sebelah kanannya, lalu mendongak, melihat atap dari anyaman bambu yang cat putihnya sudah mulai mengelupas.
Sementara dari balik pintu kamar, Didi menguping percakapan kedua orang tuanya. Percakapan yang barusan didengarkan begitu menusuk hati. Selama ini, ia selalu bersyukur dengan keadaan keluarganya. Tidak pernah mengeluh. Namun, kali ini dadanya terasa sesak, dan ia pun tak kuasa menahan air mata. Ia terkulai di tepi ranjang. Tangannya menyambar sebingkai foto dari meja belajar. Menatap lekat-lekat sebuah foto dirinya yang diapit ayah dan ibunya. Ia merasa jika dirinya menanggung beban yang tak ringan. Beban berupa harapan orang tua kepada seorang anak semata wayang. Beban yang tak bisa ia pindahkan kepada siapa pun.
"Kamu kenapa, Nak?"
Didi mengalihkan pandangan kepada yang bertanya. Segera ia menyeka air matanya dan mengembalikan foto ke meja belajar. "Tidak apa-apa, Yah."