Mohon tunggu...
hasan.ali.penulis
hasan.ali.penulis Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

📚"Salahkah Aku Terlahir Introvert?" on Play Buku 📚"Berteman dengan Sepi" on Kwikku 📚"Cinta Tah Cita" on Lentera 📚 "InSTAN" on Kwikku ⏳

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Egrang

21 Agustus 2024   21:16 Diperbarui: 21 Agustus 2024   21:32 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, musyawarah telah mencapai kata mufakat. Egrang akan menjadi salah satu lomba yang diadakan dalam rangka peringatan agustusan. Berita itu disambut antusias Joko, bahkan mengalahkan antusiasnya menyambut perayaan agustusan itu sendiri.

Sehari setelah mengetahui hasil keputusan musyawarah, Joko segera mengambil egrangnya yang teronggok di dalam gudang. Membersihkan, mengecek kondisi, dan langsung saja memainkannya. Mulai saat itu, ia berlatih sepanjang hari. Pagi sebelum berangkat sekolah, sore sepulang sekolah, pagi hingga sore ketika akhir pekan.

"Mau berlatih dua puluh empat jam pun, kamu tetap tidak bisa mengalahkanku, Jok. Sudah istirahat saja kamu, ha... ha...," ejek Bayu, sang juara dalam lomba egrang tahun lalu.

Tentu Joko tidak mengindahkan ejekan itu, meski terus dilayangkan oleh Bayu ketika lewat di depan rumah Joko. Kebetulan rumah Bayu dan rumah Joko hanya dipisahkan dua rumah lainnya.

Latihan Joko semakin hari semakin membuatnya berada di level yang berbeda. Ia berlatih menaiki dan menuruni anak tangga. Lalu berjalan di saluran irigasi sawah dengan melawan arus. Ia mempersiapkan lomba egrang ini seakan-akan mewakili Indonesia di ajang olimpiade. Tidak ada yang mampu menghentikan jadwal latihannya kecuali panggilan ibunya untuk segera berangkat sekolah dan azan magrib.

"Heh, Jok! Jangan latihan terus, nanti kamu jatuh dan cedera baru tau rasa." Peringatan Bayu itu, tentu sama sekali tidak membuat Joko bergeming. Ia terus melanjutkan latihannya.

"Sandekala, Nak. Magrib dulu," perintah ibunya pada suatu sore.

Belum juga menjawab, Joko malah berteriak histeris. Ibunya segera berlari mendekati Joko. Tepat saat azan berkumandang, Joko terjatuh dari egrangnya. Kaki kirinya terpeleset dari pijakan. "Keseleo, Mak."

Kaki Joko membengkak. Ibunya memapah Joko ke dalam rumah. Mengompresnya dengan air dingin, lalu berinisiatif memanggil tukang pijit, namun Joko menolak. Ia lebih memilih untuk dibawa ke rumah sakit.

"Anak ibu harus beristirahat dulu, Bu. Setidaknya selama tiga hari, sampai benar-benar sembuh," ujar dokter yang menangani Joko.

"Tapi Joko mau ikut lomba egrang, Mak. Aduuuh...," pintanya sesampainya di rumah.

"Jangan dulu, Nak. Jangan bandel ya kamu! Ini obatnya diminum dulu."

Ibunya keluar dari kamar Joko. Ia ditinggalkan dalam posisi kaki kiri diangkat lebih tinggi dari tubuhnya dan diganjal menggunakan bantal.

"Kamu ndakpapa, Jok?"

"Ndakpapa, Yah."

"Syukurlah, masih bisa ikut lomba egrang kan hari Sabtu besok?" tanya ayahnya sembari berjalan, lalu duduk di tepi ranjang Joko.

"Bagaimana mau ikut, Yah, Joko harus istirahat minimal tiga hari."

"Ha... ha.... Lemah kali kamu, Jok. Baru keseleo saja udah nyerah kamu."

"Mana ada Joko lemah, Yah. Aduuuh...."

"Ha... ha.... Kamu tahu, Jok? Dulu Panglima Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya melawan agresi militer Belanda yang kedua hanya dengan sebelah paru-parunya loh. Beliau tetap terjun langsung ke medan pertempuran meski harus ditandu. Masa kamu yang cuma keseleo saja sudah keok, ndak mau ikut lomba egrang."

Meski terdengar ada sedikit unsur ejekan, kata-kata ayahnya mampu memompa semangat dalam diri Joko. Malam berikutnya, tepat saat malam 17 Agustus, kurang dari dua puluh empat jam dari perlombaan, Joko kembali berlatih egrang. Kali ini, ia tidak bisa menggunakan kedua kakinya. Ia berlatih hanya dengan kaki kanannya. Egrang sebelah kirinya hanya digunakan untuk pegangan tangan. Sementara kaki kirinya mengawang.

Ibu Joko berteriak berkali-kali, memerintahkan Joko untuk beristirahat. Sementara ayahnya justru tersenyum menyaksikan anaknya dari teras rumah. "Ayo, Jok! Lambat kali kamu ini."

Joko semakin terpacu. Meski tidak bisa secepat sebelum cedera, tapi rasa-rasanya itu sudah cukup untuk membuatnya bisa menjadi juara.

**

Hari yang ditunggu-tungu tiba. Para warga RT 03 tumpah ruah di lapangan bulu tangkis tempat pelaksanaan lomba. Para pemuda yang menjadi panitia sibuk mempersiapkan peralatan lomba, mematangkan jadwal, dan memanggil peserta. Lomba diadakan mulai pukul tujuh pagi. Dimulai dari lomba untuk anak-anak, dilanjut lomba untuk remaja, lomba untuk ibu-ibu, dan terakhir lomba untuk bapak-bapak.

Joko tidak peduli dengan lomba selain egrang, dan ia juga tidak akan mengikuti lomba lainnya. Ia datang hanya untung menang lomba egrang.

Bendera merah putih berkibar di setiap sudut lapangan. Tidak ada yang tidak gembira. Tidak ada yang tidak menikmati suasana hari itu. Jika pun ada, itu adalah ibu Joko. Beliau masih waswas dengan anaknya yang memaksakan diri ikut lomba egrang. Apalagi suaminya, bukannya ikut melarang, malah mendorong Joko untuk tetap mengikuti lomba egrang.

"Ha... ha..., kamu berjalan aja masih pakai tongkat, mau ikut lomba egrang? Mending kamu ikut lomba makan kerupuk saja sana sama bocil-bocil." Ejekan Bayu sama sekali tidak membuat nyali Joko ciut.

"Kalau dengan dua kaki yang sehat saja kamu kalah, apa lagi kamu mau pakai satu kali, mimpi Jok, ha... ha...." Joko tetap tenang. Justru wajah Bayu yang tampak merah padam karena provokasinya tidak berhasil. Ia tahu betul bagaimana persiapan yang dilakukan oleh Joko. Meski hanya akan menggunakan satu kakinya, namun tetap tidak akan mudah untuk mengalahkan Joko.

Setelah lomba untuk anak-anak selesai, yang ditunggu-tunggu Joko akan segera dimulai. Lomba egrang dibagi menjadi dua kategori, yaitu untuk putra dan putri. Pertandingan untuk kategori putra akan dimulai lebih dulu. Pertandingan dimulai dari babak kualifikasi, babak semifinal, dan babak final. Panitia sempat melarang Joko untuk mengikuti lomba egrang. Namun, Joko keukeuh untuk tetap ikut. Apalagi dengan kedatangan ayahnya yang ikut membujuk panitia agar Joko tetap diperbolehkan ikut dalam lomba egrang. Panitia pun pada akhirnya mengizinkan dengan syarat jika terjadi apa-apa maka panitia tidak bertanggung jawab. Joko dan ayahnya menyetujui syarat itu.

"Tiga..., dua..., satu...!"

Peluit dibunyikan wasit. Joko memulai babak kualifikasi dengan percaya diri. Banyak orang yang melihatnya dengan sebelah mata. Namun, orang-orang itu segera dibuat kagum oleh Joko. Meski kaki kirinya tidak menapak pada pijakan, hanya kaki kanannya saja yang digunakan sebagai tumpuan dan digunakan untuk berjalan, namun langkahnya begitu cepat. Egrang itu bagaikan telah menyatu dengan kakinya, membuatnya seolah-olah berlari dengan menggunakan kakinya sendiri. Bahkan larinya menggunakan egrang bisa jadi lebih cepat dibandingkan dengan larinya menggunakan kaki. Joko berhasil menjadi yang tercepat di babak kualifikasi.

Di babak semifinal, Joko masih tidak dapat dikalahkan. Ia kembali berhasil menjadi yang tercepat. Pun dengan Bayu. Ia juga berhasil melewati babak kualifikasi dan semifinal dengan mudah. Suasana di arena pertandingan semakin ramai. Final egrang putra akan segera tersaji. Final jilid dua. Joko melawan Bayu.

"Sudah siap kalah, Jok?" tanya Bayu, kembali dengan nada mengejak. Sementara Joko tetap pada tabiatnya. Fokus dan tak menggubris.

Penonton bersorak. Wasit meniup peluitnya.

Joko segera melompat ke egrangnya. Langkahnya begitu cepat. Ia unggul dua langkah di depan Bayu. Orang-orang bersorak menyuarakan nama Joko. Komentator menyanjung-nyanjung. Hari itu, Joko menjadi nama yang paling banyak dikumandangkan di RT 03.

Bayu kewalahan. Ia telah berusaha maksimal, namun hingga setengah jalan, langkahnya tetap kalah cepat dari Joko. Dua langkah sebelum Joko sampai di garis finis, Bayu melemparkan sebelah egrangnya ke egrang Joko. Ptaak! Tepat sasaran. Egrang Bayu tepat mengenai egrang kanan Joko yang segera saja membuatnya oleng dan terjatuh.

Orang-orang berteriak histeris. Ibu Joko hampir pingsan. Ayah Joko tak berhenti mengumpat. Komentator terdiam. Nama Bayu menggema di arena pertandingan, bukan untuk disanjung, melainkan dikecam. Bayu tidak peduli, ia melanjutkan pertandingan dengan sebelah egrangnya hingga berhasil melewati Joko yang terjatuh dan finis sebagai juara.

Joko menangis selepas pertandingan. Ayahnya segera menghampiri dan menyemangatinya. "Masa seorang juara menangis. Jangan cengeng! Juara itu tidak mesti harus menjadi yang pertama. Ketika kamu sudah berusaha secara maksimal dan bertanding secara jujur, itu berarti kamu sudah menjadi juara. Ayah bangga padamu, Nak. Kamu telah bertanding layaknya seorang pahlawan yang sedang merebut kemerdekaan."

***

Hasan Ali, penulis kelahiran Purbalingga. Buku-bukunya: "Salahkah Aku Terlahir Introvert?" bisa dibaca di aplikasi Google Play Books, "Berteman dengan Sepi" dan "InSTAN" bisa dibaca di aplikasi Kwikku, dan "Cinta Tah Cita" bisa dibaca di aplikasi Lentera. Cerpen-cerpennya terbit di SIP Publishing, golagongkreatif.com, dan dicetak secara antologi bersama penulis lain. Pembaca bisa menyapa penulis melalui instagram dan tiktok @hasan.ali.penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun