Satu Atap, Dua Narasi: Bagaimana Media Membangun Realitas yang Bertolak Belakang
Media punya peran besar dalam membentuk cara kita memandang dunia. Apa yang kita anggap sebagai "fakta" sering kali adalah hasil dari cara media menyampaikan berita---atau lebih tepatnya, bagaimana mereka membingkai suatu peristiwa. Uniknya, bahkan media yang dimiliki oleh perusahaan yang sama bisa menyampaikan sudut pandang yang bertolak belakang. Kok bisa? Jawabannya ada pada cara mereka mengatur strategi pemberitaan berdasarkan siapa audiensnya dan apa yang ingin dicapai.
Misalnya, ambil contoh isu bahan bakar minyak (BBM) yang ramai jadi topik menjelang Pemilu 2024. CNBC Indonesia dan CNN Indonesia, dua media besar yang ada di bawah satu grup induk, menyajikan berita tentang BBM dengan nada yang sangat berbeda. CNBC Indonesia cenderung menggambarkan pemerintah seperti pahlawan yang berhasil menjaga stabilitas harga BBM di tengah krisis global. Di sisi lain, CNN Indonesia malah fokus pada kritik terhadap kebijakan BBM, terutama dampaknya pada masyarakat kecil.
Apa artinya? Kedua media ini, meski berada di bawah satu "atap", sebenarnya berbicara kepada audiens yang berbeda. CNBC Indonesia lebih condong menyasar pelaku bisnis dan investor yang peduli pada stabilitas ekonomi. Mereka menyukai narasi positif, karena stabilitas ekonomi juga berarti peluang bisnis yang baik. Sementara itu, CNN Indonesia lebih membidik audiens umum---orang-orang biasa yang sehari-harinya harus berhadapan dengan dampak kebijakan BBM, seperti kenaikan harga atau pembatasan subsidi. Jadi, framing atau sudut pandang yang mereka pilih disesuaikan dengan kebutuhan audiens mereka.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa media bukan sekadar menyampaikan berita, tetapi juga membangun narasi. Satu isu yang sama bisa terlihat seperti cerita yang benar-benar berbeda tergantung bagaimana media "membungkusnya". Inilah yang membuat kita, sebagai pembaca, perlu lebih kritis dan sadar bahwa apa yang kita baca di media sering kali hanyalah potongan dari gambaran besar. Jadi, apa yang terlihat seperti "fakta" sebenarnya adalah realitas yang telah dikemas ulang oleh media sesuai tujuan mereka.
Mengapa BBM Jadi Senjata Politik di Pemilu 2024?
Isu bahan bakar minyak (BBM) selalu jadi topik panas di Indonesia. Nggak heran, karena BBM itu punya dampak langsung ke hampir semua aspek kehidupan kita---mulai dari harga sembako, ongkos transportasi, sampai biaya produksi. Jadi, ketika Pemilu 2024 mendekat, BBM otomatis jadi alat politik yang sangat strategis. Tapi kenapa BBM begitu penting dalam politik? Yuk kita bahas!
BBM itu urusannya sama rakyat banyak. Semua orang, dari pengusaha besar sampai tukang ojek, merasakan efek langsung dari kebijakan BBM. Misalnya, kalau harga BBM naik, otomatis ongkos angkot juga ikut naik. Dampaknya? Semua kebutuhan hidup jadi lebih mahal. Nah, di sinilah politisi sering masuk untuk menunjukkan keberpihakan mereka. Siapa pun yang bisa meyakinkan rakyat kalau mereka punya "solusi" soal BBM bakal dapat simpati dan suara. kebijakan BBM sering dianggap cermin keberhasilan atau kegagalan pemerintah. Kalau pemerintah bisa menjaga harga BBM tetap stabil, mereka bakal terlihat seperti pahlawan yang melindungi rakyat dari "badai ekonomi global." Sebaliknya, kalau harga BBM naik atau subsidi dipotong, oposisi bakal langsung pakai itu sebagai senjata untuk menyerang pemerintah. Mereka bakal bilang pemerintah nggak peduli sama rakyat kecil atau nggak mampu mengelola negara dengan baik. BBM itu juga punya dimensi ekonomi dan simbolis yang kuat. Di satu sisi, pemerintah perlu menjaga harga BBM supaya rakyat nggak kesulitan. Tapi di sisi lain, subsidi BBM itu mahal banget untuk negara. Kalau terlalu banyak subsidi, anggaran negara bisa terbebani. Jadi, pemerintah sering dihadapkan pada dilema besar: mau bikin rakyat senang, tapi anggaran negara ngos-ngosan, atau mau ambil langkah tidak populer seperti menaikkan harga BBM, tapi bikin rakyat marah? Di masa Pemilu, keputusan seperti ini bisa menentukan hasil pemungutan suara. BBM sering dijadikan alat untuk menunjukkan keberpihakan politik. Misalnya, kandidat atau partai yang ingin terlihat "pro-rakyat" akan bicara soal memperjuangkan harga BBM murah atau memperluas subsidi. Di sisi lain, mereka yang ingin terlihat "pro-pasar" akan bicara soal efisiensi anggaran atau inovasi energi. Semua ini pada akhirnya adalah strategi untuk menarik hati pemilih.
Jadi, singkatnya, BBM jadi senjata politik di Pemilu 2024 karena menyentuh kebutuhan dasar masyarakat dan jadi simbol bagaimana pemerintah atau kandidat peduli sama rakyat. Di sisi lain, media juga memainkan peran penting dengan membingkai isu BBM ini. Apakah pemerintah terlihat sebagai pahlawan yang melindungi rakyat atau justru sebagai pihak yang tidak peduli---semua tergantung bagaimana isu ini diberitakan. Dan, seperti yang kita tahu, narasi media bisa memengaruhi cara kita memahami kenyataan.
Dua Wajah Media: Bagaimana Framing Menciptakan Realitas Berbeda
Media itu seperti kacamata yang kita pakai buat melihat dunia. Tapi bayangkan kalau kacamatanya berbeda warna---misalnya satu biru, satu merah---maka hal yang sama bisa terlihat beda banget. Nah, itulah yang terjadi pada pemberitaan isu bahan bakar minyak (BBM) menjelang Pemilu 2024. CNBC Indonesia dan CNN Indonesia, meskipun sama-sama berada di bawah satu grup perusahaan, menyajikan realitas yang bertolak belakang. Kok bisa? Jawabannya ada di framing alias cara mereka "membingkai" berita.
Framing ini bukan cuma soal apa yang diceritakan, tapi juga bagaimana cerita itu disampaikan. Menurut teori framing Robert N. Entman, ada empat elemen penting: mendefinisikan masalah (define problems), menentukan siapa yang salah atau bertanggung jawab (diagnose causes), memberikan penilaian moral (make moral judgments), dan merekomendasikan solusi (treatment recommendations). Elemen-elemen ini adalah alat yang digunakan media untuk memandu cara kita berpikir tentang suatu isu.
CNBC Indonesia memilih untuk membingkai isu BBM dengan cara yang positif terhadap pemerintah. Misalnya, dalam berita berjudul "Pertamina Tahan Harga BBM Jelang Pemilu, Ini Kata Erick Thohir", masalah utamanya didefinisikan sebagai tantangan global untuk menjaga harga BBM tetap stabil. Siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah dan Pertamina diposisikan sebagai pahlawan yang berhasil menghadapi tantangan ini. Penilaian moralnya juga jelas: pemerintah dianggap proaktif dan peduli pada rakyat. Solusinya? CNBC menyarankan agar kebijakan stabilisasi harga BBM ini terus dilanjutkan demi kesejahteraan rakyat.
Gaya pemberitaan seperti ini bikin pemerintah terlihat hebat, seolah-olah mereka adalah pelindung rakyat di tengah "badai" ekonomi dunia. Narasi ini cocok banget dengan audiens CNBC: pelaku bisnis, investor, dan orang-orang yang peduli dengan stabilitas ekonomi.
Sebaliknya, CNN Indonesia mengambil sudut pandang yang lebih kritis. Dalam berita seperti "Mengenal Pertalite, BBM Wong Cilik yang Pembeliannya Akan Dibatasi", masalahnya didefinisikan sebagai ancaman bagi masyarakat kecil. Kebijakan pembatasan BBM ini dianggap membebani rakyat yang sudah kesulitan. Pemerintah? Mereka diposisikan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil. Penilaian moralnya? Kebijakan ini dinilai tidak adil dan kurang sensitif terhadap kondisi sosial. Solusi yang ditawarkan CNN adalah subsidi energi yang lebih inklusif dan berpihak pada rakyat kecil.
Dengan framing seperti ini, CNN menggambarkan pemerintah bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai pihak yang kurang peduli pada kebutuhan rakyat biasa. Ini sesuai dengan audiens CNN yang lebih luas, termasuk masyarakat kecil yang langsung merasakan dampak kebijakan BBM. Framing itu kayak kemasan produk. Isi ceritanya mungkin sama, tapi cara dikemasnya bisa bikin kita melihatnya dengan cara berbeda. CNBC mengemas kebijakan BBM sebagai cerita sukses pemerintah, sementara CNN mengemasnya sebagai cerita tentang ketidakadilan. Hasilnya, kita sebagai pembaca bisa punya pemahaman yang berbeda tergantung berita mana yang kita baca. Maka dari itu
Media itu punya kuasa besar untuk menciptakan realitas. Dua media di bawah satu grup yang sama bisa saja menyajikan dua versi realitas yang berbeda. Itu sebabnya kita perlu membaca berita dengan kritis. Jangan langsung percaya satu sisi cerita, tapi coba lihat dari berbagai sudut pandang. Karena di balik setiap berita, ada framing yang sengaja dirancang untuk memengaruhi cara kita berpikir.
Mengapa Narasi Berbeda Ini Muncul?
Kalau kita bicara soal kenapa dua media yang berada di bawah satu grup perusahaan bisa menyajikan berita yang isinya bertolak belakang, jawabannya ada di strategi masing-masing media. Walaupun secara struktur organisasi mereka "bersaudara," tetapi tujuan, audiens, dan pendekatan editorialnya sangat berbeda. Inilah yang menciptakan dua realitas yang sama sekali tidak serupa.
Pertama, mari kita lihat audiens mereka. CNBC Indonesia menyasar pelaku bisnis, investor, dan orang-orang yang lebih peduli pada stabilitas ekonomi dan peluang investasi. Dengan audiens seperti itu, mereka memilih untuk membingkai berita dengan nada yang lebih optimis. Narasi tentang keberhasilan pemerintah menjaga stabilitas harga BBM atau inovasi energi selalu menjadi prioritas mereka. Sebaliknya, CNN Indonesia lebih banyak bicara pada audiens umum---kelompok masyarakat yang sehari-harinya bergulat dengan dampak langsung kebijakan, seperti kenaikan harga atau pembatasan akses BBM bersubsidi. Karena itu, CNN lebih sering mengangkat kritik dan menyoroti sisi negatif kebijakan pemerintah. Narasi seperti ini lebih relevan bagi pembaca mereka yang cenderung mencari isu sosial yang menyentuh kehidupan sehari-hari.
Selain audiens, kepentingan ekonomi juga berperan besar. CNBC Indonesia punya hubungan erat dengan dunia bisnis dan pasar keuangan. Karena itu, mereka memiliki insentif untuk menyampaikan berita yang "menenangkan" pasar. Pemberitaan mereka sering kali dirancang untuk mempertahankan optimisme pelaku bisnis, sekaligus membangun kepercayaan terhadap pemerintah yang dianggap mampu menjaga stabilitas. Di sisi lain, CNN Indonesia tidak terlalu terikat dengan pasar keuangan. Mereka punya kebebasan lebih untuk mengangkat kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah tanpa khawatir menurunkan sentimen pasar.
Ideologi editorial juga menjadi alasan penting di balik perbedaan ini. CNBC Indonesia lebih condong pada pandangan pro-ekonomi pasar. Mereka sering mengutamakan narasi keberhasilan pemerintah dalam kebijakan ekonomi dan cenderung meminimalkan kritik sosial. Sedangkan CNN Indonesia lebih fokus pada isu-isu keadilan sosial. Mereka memiliki kecenderungan untuk menyuarakan keresahan masyarakat kecil yang mungkin diabaikan oleh kebijakan pemerintah. Dengan pendekatan ini, CNN lebih sering menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat rentan.
Terakhir, setiap media punya "citra" yang ingin mereka bangun di mata pembacanya. CNBC Indonesia ingin dilihat sebagai media yang optimis, pro-solusi, dan mendukung kestabilan ekonomi. Mereka fokus pada berita yang mencerminkan keberhasilan pemerintah dan potensi pasar. Sebaliknya, CNN Indonesia ingin dikenal sebagai media yang kritis, berani, dan peduli pada isu-isu rakyat kecil. Citra ini adalah bagian penting dari strategi brand mereka, yang bertujuan untuk menarik dan mempertahankan pembaca setia.
Jadi, meskipun CNBC Indonesia dan CNN Indonesia berada di bawah satu payung grup media, perbedaan dalam audiens, kepentingan ekonomi, ideologi, dan citra membuat mereka menyajikan narasi yang sangat berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa media tidak pernah sepenuhnya netral; mereka selalu punya sudut pandang yang disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan masing-masing. Bagi kita sebagai pembaca, penting untuk selalu melihat berita dengan cara yang kritis. Membaca dari berbagai sumber dan mencoba memahami konteks di balik pemberitaan akan membantu kita mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan tidak mudah terpengaruh oleh framing tertentu. Realitas yang kita pahami sering kali bukan fakta murni, melainkan hasil dari narasi yang telah dipilih dan dikemas oleh media.
Membaca Media dengan Kritis
Di tengah pemberitaan yang beragam, seperti yang kita lihat dari kasus CNBC Indonesia dan CNN Indonesia, satu hal yang jelas: kita nggak bisa percaya begitu saja pada satu sumber berita. Media punya cara masing-masing untuk membingkai sebuah cerita, dan itu sering dipengaruhi oleh kepentingan, audiens, atau bahkan strategi bisnis mereka. Sebagai pembaca, kita harus lebih kritis dalam menyerap informasi.
CNBC Indonesia menggambarkan pemerintah seperti pahlawan yang berhasil menjaga stabilitas harga BBM di tengah krisis. Di sisi lain, CNN Indonesia menunjukkan sisi yang lebih kelam, menyoroti dampak kebijakan BBM terhadap masyarakat kecil yang semakin tertekan. Mana yang benar? Jawabannya: bisa jadi dua-duanya benar, tergantung dari sudut pandang mana kamu melihatnya. Tapi di sinilah masalahnya: berita yang kita baca sering kali hanya menunjukkan "sepotong kue," bukan keseluruhan gambaran. Dan itulah kenapa kita harus belajar membaca lebih dari sekadar judul atau paragraf pertama.
Media, pada dasarnya, adalah bisnis. Mereka harus menjual berita yang menarik perhatian audiens mereka. Dan untuk melakukannya, mereka memilih cara tertentu untuk menyampaikan sebuah cerita. Framing yang mereka gunakan, seperti menonjolkan sisi positif atau negatif, sebenarnya adalah strategi untuk membuat berita mereka lebih relevan bagi pembaca mereka. Jadi, apa yang kita anggap sebagai "fakta" sering kali sudah dipengaruhi oleh sudut pandang tertentu.
Biar nggak gampang terjebak, kita harus mulai membiasakan diri membaca berita dari berbagai sumber. Jangan cuma percaya satu media, apalagi kalau media itu terus-terusan punya nada yang sama dalam pemberitaan mereka. Misalnya, kalau CNBC Indonesia terus memuji pemerintah, coba cari perspektif lain dari media yang lebih kritis, seperti CNN Indonesia, untuk mendapatkan sudut pandang yang berbeda. Sebaliknya, kalau CNN terlalu sering mengkritik, mungkin ada baiknya mencari berita lain yang menyoroti sisi positifnya.
Selain itu, penting juga untuk mempertanyakan motivasi di balik pemberitaan. Siapa audiens yang mereka sasar? Apa kepentingan mereka dalam membingkai cerita seperti itu? Apakah berita yang mereka sampaikan punya data pendukung yang valid? Dengan mempertanyakan hal-hal ini, kita bisa lebih waspada terhadap bias media dan nggak mudah terpengaruh oleh narasi yang sengaja dibentuk.
Kesimpulannya, jangan jadi pembaca yang pasif. Di zaman sekarang, informasi melimpah ruah, dan tugas kita adalah menyaring mana yang benar-benar berisi dan mana yang hanya sekadar sensasi. Membaca berita secara kritis bukan berarti curiga pada semua media, tapi lebih ke membangun kesadaran bahwa apa yang kita baca adalah hasil konstruksi. Kalau kita bisa memahami ini, kita nggak cuma jadi pembaca berita, tapi juga jadi orang yang lebih bijak dalam menyikapi informasi. Karena pada akhirnya, realitas yang kita pahami itu adalah pilihan kita sendiri: mau melihatnya dari satu sisi saja, atau mencoba memahami keseluruhannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI