Sebagai gambaran, yang menjadi pejabat itu adalah bapaknya, tapi anehnya fasilitas negara juga dinikmati oleh anak, menantu, keponakan, paman, bibi dan kerabat lainnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan jabatan si-bapak.
Ini jelas tidak adil. Rakyat bekerja keras membayar pajak, tapi pelayanan yang diterima seringkali tidak sebanding dan digunakan oleh pihak yang tidak seharusnya mendapatkan fasilitas.
Pejabat publik seharusnya sadar bahwa mereka ada karena rakyat. Tanpa rakyat, mereka tidak akan punya gaji, tunjangan, atau fasilitas mewah.
Tapi, sayangnya, kesadaran ini seringkali hilang begitu seseorang menduduki kursi kekuasaan. Mereka lupa bahwa tugas utama mereka adalah melayani, bukan dilayani.
Menjadi pejabat itu harus tau diri karena itu semua ada pertanggung jawabannya.
Saatnya Pejabat Kembali pada Khittah-nya
Itulah pentingnya mengenal diri dan mengenal jabatan yang diemban. Demokrasi seharusnya membuat semua orang setara, termasuk pejabat publik. Tapi, feodalisme yang masih melekat di sistem kita membuat pejabat sering lupa diri. Mereka merasa lebih tinggi daripada rakyat, padahal mereka ada karena rakyat.
Sudah saatnya pejabat publik kembali ke khittah-nya: melayani rakyat, bukan dilayani. Fasilitas yang diberikan seharusnya digunakan untuk meningkatkan kinerja, bukan untuk memanjakan diri.
Dan yang paling penting, pejabat harus sadar bahwa mereka dibiayai oleh uang rakyat. Jadi, sudah seharusnya mereka bekerja dengan tulus untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.
Mari kita ingatkan para pejabat: "Anda ada karena rakyat. Jangan lupakan itu."