Mohon tunggu...
Haryono
Haryono Mohon Tunggu... Freelancer - Digital Strategy - PT Babada Wasaka Indonesia dan Bertravel Media

Suka jalan-jalan, menikmati kuliner, suka dengan suasana alam dan tata kota. Bekerja sebagai digital strategy di Pekanbaru, Riau. Kerja part time sebagai owner agency digital marketing yang membantu UMKM dan korporasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Indonesia ala Feodal dengan Pejabat Publik yang Lupa Diri

29 Januari 2025   11:56 Diperbarui: 29 Januari 2025   11:56 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Iring-iringan Rombongan Kejaksaan Agung Menerobos Kemacetan Dengan Membuka Jalan  (Sumber: Radar Malang dari X)

Indonesia adalah negara demokrasi, bukan kerajaan. Tapi, kalau kita lihat gaya hidup dan sikap sebagian pejabat publik, rasanya mirip sekali dengan feodalisme zaman dulu. Pejabat begitu dihormati, dilayani, dan diberi fasilitas mewah, sementara rakyat yang membiayai semua itu justru sering diabaikan.

Padahal, uang yang digunakan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas pejabat itu berasal dari uang pajak rakyat. Lalu, kenapa masih ada pejabat yang arogan, korup, dan tidak profesional? 

Mari kita bahas.

Pejabat Publik: Dihormati atau Dimanjakan?

Di Indonesia, menjadi pejabat publik seolah mendapatkan "tiket VIP" untuk hidup enak dengan fasilitas dari dari rakyat. Mulai dari pengawalan di jalan raya, rumah dinas mewah, kendaraan dinas, kesempatan perjalanan dinas keluar negeri yang katanya untuk studi banding, uang tunjangan yang menggiurkan, hingga prioritas dalam urusan administrasi.

Fasilitas ini seharusnya membuat mereka lebih fokus bekerja untuk rakyat. Tapi nyatanya, banyak pejabat yang malah terlena dan lupa diri.

Contoh kecil saja, lihatlah bagaimana pejabat sering dikawal polisi dengan lampu strobo saat melintas di jalan raya. Rakyat biasa harus antre macet, sementara pejabat bisa melenggang lancar. Padahal dengan kemacetan yang ada harusnya pejabat tersebut berpikir, mencari jalan keluar agar permasalahan kemacetan kota bisa diatasi.

Saya pribadi berpendapat bahwa sebaiknya pejabat itu tidak perlu dikawal ketika dijalanan kota, jika kondisinya tidak penting dan darurat. Rasakan dan nikmati saja kemacetan kota itu, karena itu semua adalah hasil kerja pejabat yang tidak berhasil dalam menata kota dan mencari solusi bagi kemacetan kota. 

Silahkan dinikmati dan direnungi pakai hati, nurani dan berpikir karena pejabat itu berikan fasilitas untuk memikirkan solusi atas permasalahan yang ada. 

Fasilitas ini seharusnya digunakan untuk kepentingan negara, bukan untuk memanjakan ego pribadi. Belum lagi rumah dinas dan kendaraan dinas yang seringkali jauh lebih mewah daripada kebutuhan sebenarnya.

Apakah ini wajar? Mari berpikir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun