Walaupun terasa berat, aku harus ikhlas menerima kenyataan pahit ini. Sepupu yang aku cintai telah menjadi milik sahabatku sendiri. Aku masih ingat percakapan terakhir ku dengannya di parkiran waktu itu.
"Maksud kamu apa Dre?" Diana terkejut dengan pernyataan cintaku. "Kamu pasti bercanda kan."
"Aku serius. Dari kamu TK, hingga saat ini aku masih menyukaimu. Tak pernahkah kamu sadar kenapa aku selalu berada di sisimu setiap kamu butuh? Aku bahkan merelakan rapat pentingku hari ini, di kantor. Hanya untuk menemanimu membeli kebaya ini. Semua aku lakukan, karena aku benar-benar mencintaimu."
Diana tak berkata apa-apa.Tetap diam dan bersikap tenang seolah yang aku katakan adalah kebohongan.
"Aku tak tahu apa hebatnya sosok Dito. Aku tahu kamu Diana! Mana mungkin, kamu sanggup hidup meralat dengan Dito. Seumur hidupmu, tangan halusmu bahkan tak pernah menyentuh cucian kotor."
Aku diam sesaat, mengatur nafasku sebelum melanjutkan percakapan ini. "Diana... Aku mohon, batalkan pernikahanmu," pintaku dengan harapan dia mau menjawab, 'Iya Dre, akan kubatalkan pernikahanku'.
Bukannya menjawab permintaanku, Diana malah berlari memeluk erat tubuhku. Aku harap dia mulai sadar dengan kebodohannya memilih Dito menjadi calon suaminya. Ternyata tidak, dia tidak menitihkan air mata atau tersentuh dengan kejujuranku. Setelah dia melepas pelukannya, dia tatap kedua bola mataku kemudian tersenyum padaku.
"Dito memang tak bisa memanjakanku, seperti halnya orang tuaku dan dirimu yang selalu memenuhi seluruh kemauanku.Tapi, dia mengajariku sesuatu yang berbeda, yang tak pernah kalian ajarkan. Bukan tentang uang yang berujung kemewahan. Tapi, tentang bagaimana menghargai uang dalam kesederhanan."
Aku mengerutkan kening. Bertanya-tanya, apa maksud perkataannya? Hingga, kalimat itupun keluar di bibir mungilnya.
"Walaupun, uang Dito hanya mampu membelikan aku satu kebaya ini. Tapi, uang yang ia miliki adalah hasil kerja kerasnya. Bukan dari pemberian orang tuanya. Dia beda denganmu Dre, yang tak kaya sejak lahir. Itulah alasanku memilih dirinya."
Mulutku mengatup rapat, tak lancang lagi berbicara. Seperti halnya saat ini, berjalan meninggalkan sepasang pengantin yang sedang berbahagia itu dalam diam. Hatiku memang berduka, tapi logikaku berkata berbeda.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!