Dengan pandangan mata tak percaya ku lihat pesan yang baru saja masuk ke layar ponselku.
Kenapa harus dia lagi?
Sebagian hatiku meminta untuk segera membukanya, tapi sebagian yang lain mendorongku untuk menghapus pesan itu. Dengan perasaan ragu dan pikiran yang bimbang antara menekan tombol hijau atau tombol merah. Â
"Sinta, ayo cepetan masuk kelas. Dosennya udah datang," suara cempreng wanita itu mengusik kegundahanku.
Kumasukan ponsel ke dalam tas, kutarik tubuhku untuk berjalan ke arahnya.
"Kamu ngapain malah ngalamun? Ayo cepatan masuk! Pak Rio udah di depan kelas," ajaknya lagi kepadaku.
Aku mengangguk dan mengikutinya dari belakang. Terlihat Pak Rio sudah duduk di mejanya sambil menatap kami berdua dengan tatapan tak acuh. Mungkin kami sudah terbiasa telat sehingga dia bersikap seperti itu. Retno, sahabatku menyenggol lengan dan memintaku duduk di sampingnya.
Sepanjang penjelasan materi kuliah dari Pak Rio, hanya seperempat atau malah nihil yang masuk ke otakku. Bisa dibilang masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Mungkin pikiranku masih terjebak pada keingintahuan tentang isi pesan tadi.
Akhirnya hal yang dinanti olehku bahkan oleh mahasiswa yang lain pun tiba. Kelas yang usai. Dengan bebas ku geliatkan tangan untuk menghilangkan jenuh dan bosan selama di kelas.
"Sin, abis ini lo mau kemana?" pertanyaan klasik itu selalu muncul mulus di bibir tipis Retno.
Dengan bosan aku menjawab, "kantin."
"Okey, gue ikut," balasnya dengan sumringah.
Aku dan Retno berjalan ke luar ruangan, sesekali menatap mahasiswa lain yang sedang duduk dan sebagian lagi berdiri menunggu dosen yang akan mengajar mereka. Entah berapa kelas dan anak tangga yang kami lewati aku malas menghitungnya bahkan sekedar menghafalnya otakku tak mau merespon. Mungkin aku lelah?!
"Mang, soto kulit campur daging dua ya," teriak sahabatku nyaring ke abang tukang soto langganan kami yang sedang sibuk menyajikan soto untuk pelanggan lain. "Lo mau pesan minum apa?"
Aku terdiam dan melirik daftar menu yang terpajang di atas gerobak soto Mang Cipto. Lima detik kemudian mataku tertuju ke salah satu menu minuman andalan di tempat ini.
"Aku pesan es campur aja."
"Mang, kita pesan satu es campur dan satu es teh." Serunya lagi dan dibalas anggukan oleh Mang Cipto si pemilik warung.
Ku lihat sekeliling, tampak sekumpulan mahasiswa laki-laki yang sedang bergerompol dan saling bercanda satu sama lain, kemudian ku pindahkan pandangan ke ibu separuh baya yang sedang membawa nampan berisi makanan dan minuman untuk dua orang mahasiswi yang sedang asik dengan ponsel mereka. Sungguh malang nasibnya di usia senja masih bekerja untuk menghidupi keluarganya.
"Sin, tu lihat Kak Damar!"
Retno menepuk bahuku dan mengarahkan tangannya ke tiga orang yang duduk dengan pakaian jas putih, dua orang sedang asik melahap baksonya sedangkan satu orang menatap ke arah kami berdua sambil tersenyum. Senyuman manis itu selalu bisa menaklukan kaum hawa yang melihatnya.
"Dia pasti cariin lo, cepetan samperin sebelum diembat cewek lain."
"Apan sih kamu," ku timpal ucapan retno dengan nada datar.
"Lo sok jual mahal, kemarin dia ajak lo jalan kan. Kenapa ditolak? Kalo gue jadi lo dah pasti gue mau. Kurang apa coba dia tinggi, manis, pinter, calon dokter lagi! Udah lo terima aja."
Ku tanggapi ucapan Retno hanya dengan senyuman tipis. Yah, benar! Minggu lalu Kak Damar menawarkan tumpangan kepadaku tapi aku menolaknya dengan sopan. Kejadian kemarin dilihat oleh Retno dan yang lain, mereka terkejut dengan sikapku yang masih suka menghindarinya padahal dia sudah mendekatiku selama 6 bulan ini.
Setelah menunggu cukup lama Mang Cipto membawakan pesanan kami dan menaruhnya di atas meja. Dengan lahap ku santap soto tanpa menyisakan satu butirpun nasi di mangkok. Retno melirikku dengan tatapan kagum. Entah apa yang dipikirkannya aku tak ingin tahu lebih.
"Udah yuk, kita balik ke kos," ajakku sambil menarik tangannya.
Dengan muka jengkel ia mengikutiku. Tampak raut muka tak suka ia tunjukan kepadaku. Aku hanya tersenyum geli melihatnya.
Kubanting tubuhku di kasur kamar kos yang empuk sambil merogoh ponsel di dalam tas. Terlihat dua nama muncul di layar ponsel. Ku buka folder pesan, Mas Tresno dan Kak Damar. Merekalah yang mengirimkan pesan padaku tadi pagi.
Dengan malas ku buka pesan dari Mas Tresno.
Apa kabar dek?
Itulah pesan singkat yang entah sudah berapa kali ia kirim dan tak pernah aku balas. Aku tersenyum sinis.
Sebegitu rindukah dirimu kepadaku, setelah 8 bulan yang lalu kau hancurkan impian ku untuk menikah denganmu. Dengan teganya kau kirimkan selembar undangan bertuliskanTresno dan Lara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H