"Lo sok jual mahal, kemarin dia ajak lo jalan kan. Kenapa ditolak? Kalo gue jadi lo dah pasti gue mau. Kurang apa coba dia tinggi, manis, pinter, calon dokter lagi! Udah lo terima aja."
Ku tanggapi ucapan Retno hanya dengan senyuman tipis. Yah, benar! Minggu lalu Kak Damar menawarkan tumpangan kepadaku tapi aku menolaknya dengan sopan. Kejadian kemarin dilihat oleh Retno dan yang lain, mereka terkejut dengan sikapku yang masih suka menghindarinya padahal dia sudah mendekatiku selama 6 bulan ini.
Setelah menunggu cukup lama Mang Cipto membawakan pesanan kami dan menaruhnya di atas meja. Dengan lahap ku santap soto tanpa menyisakan satu butirpun nasi di mangkok. Retno melirikku dengan tatapan kagum. Entah apa yang dipikirkannya aku tak ingin tahu lebih.
"Udah yuk, kita balik ke kos," ajakku sambil menarik tangannya.
Dengan muka jengkel ia mengikutiku. Tampak raut muka tak suka ia tunjukan kepadaku. Aku hanya tersenyum geli melihatnya.
Kubanting tubuhku di kasur kamar kos yang empuk sambil merogoh ponsel di dalam tas. Terlihat dua nama muncul di layar ponsel. Ku buka folder pesan, Mas Tresno dan Kak Damar. Merekalah yang mengirimkan pesan padaku tadi pagi.
Dengan malas ku buka pesan dari Mas Tresno.
Apa kabar dek?
Itulah pesan singkat yang entah sudah berapa kali ia kirim dan tak pernah aku balas. Aku tersenyum sinis.
Sebegitu rindukah dirimu kepadaku, setelah 8 bulan yang lalu kau hancurkan impian ku untuk menikah denganmu. Dengan teganya kau kirimkan selembar undangan bertuliskanTresno dan Lara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H