Aku mulai putus asa semakin hari bukannya awan hitam yang datang tetapi sengatan matahari yang semakin panas. Kenapa kemarau sekejam ini? Aku tak pernah merasakan sebelumnya.
Kudengar suara burung-burung saling bersautan dan terbang tak karuan. Hewan-hewan lain ikut berlari ketakutan. Aku menatap curiga keganjilan ini.
"Rusa kenapa kamu berlari?"
"Monyet, kenapa kamu tampak bingung?"
"Hai, burung kenapa kalian terbang terburu-buru?"
Pertanyaan-pertanyaan yang aku lontarkan kepada mereka tak ada satupun terjawab. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri berhamburan ke berbagai arah.
Tubuhku semakin merasakan rasa sesak. Aku mulai memandang ke atas. Kulihat awan hitam pekat menjulang tinggi di atas langit. Hatiku semakin bahagia sebentar lagi akan turun hujan. Terima kasih Tuhan, ucapku.
Sayang bukan hujan yang datang. Tetapi kobaran api yang melahap tubuhku dengan cepat hingga seluruh tubuhku menghitam dan lenyap. Aku mulai mengerti. Ternyata inilah jawaban dari seluruh pertanyaanku. Bukan dari sinar matahari daerah ini semakin panas tapi karena api. Entah darimana datangnya si jago merah ini, aku tak tahu. Andai aku bisa lari, pasti sudah kuangkat seluruh tubuhku untuk meninggalkan hutan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H