Terik sang mentari menyengatku dengan ganasnya. Daun-daun mulai mengerut dan berguguran. Semak-semak hijau di sekitarku perlahan mengkuning dan mati. Semakin hari akarku semakin sulit menyerap air. Tanah yang dulu subur kini gersang dan tandus. Yah, musim kemarau yang panjang terjadi tahun ini. Aku dan teman-temanku hanya bisa pasrah dengan kehendak Tuhan ini. Terus menanti! Dan menanti akan datangnya butiran air hujan dari langit.
"Hai monyet, lihat dirimu tampak lelah, kenapa tidak naik ke tubuhku?" tawarku pada seekor monyet yang tanpa kelelahan.
Sang monyet mendongkakan kepala kepadaku, tersenyum. Sayang aku tak bisa melindunginya seperti sebelumnya dengan ranting dan daunku yang menjulang ke segala arah.
"Wahh, terima kasih pohon." Sang monyet merangkak naik ke batangku dan duduk memandang ke depan mengusap keringat yang bercucuran, "tampaknya semakin hari semakin panas. Aku sulit mencari makan dan minum akhir-akhir ini," keluhnya.
"Kamu benar, entah kapan kemarau ini akan berakhir?"
Minggu telah berganti bulan entah sudah berapa hari yang aku lewati, tanda-tanda akan datangnya hujan belum terlihat. Aku hanya bisa menunduk pasrah. Dengan terpaksa terus ku gugurkan daun-daunku agar bisa berhemat air. Batangku mulai mengering dan mengelupas perlahan. Kini hanya tinggal ranting kering dan keropos yang ku miliki. Mungkinkah aku akan mati seperti halnya semak.
"Pohon, bolehkah aku minta sedikit batangmu," minta Burung Pipit.
"Ya tentu," jawabku getir.
Dengan gigih Si Pipit mulai mematuk tubuhku. Lahap sekali ia memakan setiap serpihan kecil rantingku. Entah bagaimana rasanya? Bukankah hambar dan seret?!
"Kenapa kau makan batang ini, bukankah banyak makanan di hutan ini?"
"Akhir-akhir ini sulit, aku sudah terbang ke penjuru hutan ini. Hasilnya nihil tak ada makanan."