Mohon tunggu...
S. Haryani C.
S. Haryani C. Mohon Tunggu... Penulis - A Freelance Writer

DM for Collaborate Artikel, Esai, Puisi, Narasi, dan Notulen Pertemuan 📍 Surabaya, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Resensi Novel Mustika Naga (Bagian 1)

24 Juli 2015   14:09 Diperbarui: 24 Juli 2015   14:26 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siro adi ingsun, sekseono ingsun Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo Kadawuhan netepake Putri Ingsun Gusti Kanjeng Ratu Pembayun tak tetepake Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun."

(Artinya)

"Saudara semua, saksikanlah saya Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo mendapat perintah untuk menetapkan Putri saya Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Mengertilah, begitulah perintah saya."

Beberapa kutipan di dalam novel Mustika Naga yang ada kaitannya dengan Sultan HB X, Kasultanan Yogyakarta:

“Patok-patok Tanah Jawa terlepas menjelang Orde Baru runtuh, ekonomi daerah, bencana alam silih berganti, desakan alam agama dikosongkan, Ngarsa Dalem Kaping Sadasa mengeluarkan Sabda Raja, mengaji Al-Quran dengan langgam Jawa di Istana Negara, banyak. Tapi saya harus ke Denpasar. Ditunggu Keisya,” ucapku. (hlm. 188)

Mas Yuswo di sebelahnya mencomot sate klatak. Masih tenang-tenang saja padahal sejak Ngarsa Dalem Kaping Sadasa mengeluarkan Sabda Raja, keadaan semakin genting. Tidak terasa sampai permukaan, memang. (hlm. 184)

“Mustika Naga selalu di tangan seorang Nyai dan mustahil jatuh kecuali pada yang berhak. Jika pun seorang laki-laki memegangnya, ia memegang itu untuk perempuannya.” (hlm. 182)

Dan tiba-tiba ia menyingkap tabir bahwa nyai yang selama ini kusangka ringkih dan hanya bisa membatik ternyata adalah pemimpin para naga. Naga perempuan? Jangan-jangan Keisya benar: garuda adalah laki-laki, api, aku laki-laki, Keisya. (hlm. 189)

“Perjanjian itu, di mana-mana, selalu antapihak. Ngarsa Dalem itu di pihak yang mana dalam perjanjian antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan? Dapat kuasa dari mana? Jika dari pihak Ki Ageng Pemanahan, lalu siapa yang dari pihak Ki Ageng Giring? Ini perjanjian lisan, bukan tulisan, tidak bisa turun begitu saja pada ahli waris,” papar Mas Yuswo.(hlm. 185)

Jelaskanlah relevansi novel dengan peristiwa zaman sekarang... (akan ada hadiah untuk yang berani menjawab)
Lalu temukan bagian resensi yang lain dengan fokus yang berbeda...
Sangat unik dan menarik, bukan? 
Hanya pada Mustika Naga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun