Mohon tunggu...
Ahmad Jazuli Harwono
Ahmad Jazuli Harwono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis untuk melupakan masalah, dan satu-satunya cara yang paling memungkinkan(saat ini) untuk beraktualisasi. Penulis dapat di hubungi melaui email:paklik_jul@yahoo.co.uk dan hp:081 386 25 6949

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melawan Kampanye Anti Riba

22 Agustus 2016   20:17 Diperbarui: 22 Agustus 2016   20:26 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kampanye anti riba belakangan terjadi cukup massif, apalagi di medsos. Hal ini tentu saja cukup membuat resah, bahkan menyinggung, terutama bagi para pekerja di bank seperti saya. Tidak hanya itu, saya juga melihat banyak teman saya yang akhirnya menjadi ketakutan akibat ulasan-ulasan begituan, sampai akhirnya memilih resign, ada juga teman lainyang sampai mengover kredit rumahnya dan memilih kontrak rumah. Ini apa apaan?

Pelaku riba, seperti orang yang bekerja di bank kayak saya ini, dihukumi lebih berat dosanya dibandingkan para pezina. Bahkan, dosanya disamakan dengan berzina dengan Ibu Kandung. Saya berangkat pagi pulang malam, dengan beban target segunung, bekerja demi anak istri, ternyata dikatakan dosa saya bahkan lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berangkat mencopet, merampok, melacur, memperkosa istri orang, atau bahkan lebih berat dosanya dibanding berbuat kejahatan-kejahatan yang lebih besar lainya. Apakah standar moralitas seperti ini masuk akal?

Kampanye anti riba adalah gerakan keagamaan yang tidak rasional, kasar, dan menyesatkan. Dan karena itu menurut saya tidak harus diikuti. Mengapa? Ini alasan-alasanya:

 1.Hukum tentang Riba memang sudah jelas di alqur’an. Bahwa riba itu haram. Tetapi pertanyaanya, apakah semua aturan hukum/ syariat yang bersumber dari qur’an dan hadits sudah pasti bisa dilaksanakan?  Jawab: Ada banyak ajaran dalam alquran-hadits, karena perkembangan zaman, akhirnya menjadi tidak lagi bisa diterapkan. Tidak relevan dengan dinamika zaman.

 Contoh:
 Berdasarkan hukum islam, orang mencuri harusnya dipotong tanganya, tapi apa hukum seperti ini masih bisa diterapkan?

 Orang berzina, harusnya dirajam, bahkan sampai mati bila statusnya sudah kawin. Apa ini bisa diterapkan?

 Atau, kalau islam yang kaffah katanya harus meneladani apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad. Tetapi pertanyaanya, apakah semua yang dilakukan nabi muhamad bisa ditiru?
 Nabi muhamad menikahi aisah yang belum genap 10 tahun. Jika orang sekarang menikahi anak usia segitu, bukankah justru disebut sebagai kejahatan?

 2.Kalau harus selalu menuruti logika halal haram, neraka surga, ada banyak. Dan tidak mungkin semua bisa diterapkan. Padahal, bukankah Islam dituntut untuk kaffah? Dan dikatakan fasik bila mengikuti sebagian-sebagian?.Tetapi bila faktanya ada banyak ajaran yang bertentangan dengan akal dan logika, apakah harus dipaksa untuk melaksanakan?

Jangankan riba, musik, melukis makhluk hidup, pakai celana menutup mata kaki, istri menolak diajak berhubungan, wanita keluar tanpa wali/muhrim, memilih pemimpin wanita, memilih pemimpin non muslim, hormat bendera merah putih, menghukumi perkara tidak dengan hokum Allah (mengikuti demokrasi), kecipratan air kencing, gitu aja juga sudah diancam neraka.

 3. Perintah dan larangan terkait riba tentu juga tidak dapat dipahami begitu saja berdasar ayat tekstualnya. Latar belakang turunya ayat, suasana historis masyarakat waktu itu, tentu juga harus dikaji.

 Misalnya yang perlu dikaji, apakah dijaman nabi sudah mengenal inflasi? Bagaimana tipikal riba yang berkembang di masa nabi waktu itu? Sehingga nabi mengharamkan. Apakah sama persis dengan yang berkembang di perbankan/koperasi sekarang?

 Sistem perbankan modern belum ada dijaman nabi. Yang ada mungkin hanyalah kreditur perorangan, yang bisa jadi lebih mirip rentenir djaman sekarang ketimbang disamakan dengan perbankan.

 Jadi kalau ada fatwa haram riba lantas serta merta itu ditujukan ke sistem perbankan saat ini jelas itu hanya hasil kreatifitas orang jaman sekarang yang pandai mencocok cocokan ayat-ayat. Jangankan soal Riba, Selfie di facebook, main game Pokemon pun juga di fatwa haram.

 4. Inflasi terjadi setiap tahun. Bagaimana mungkin industri jasa keuangan bisa bertahan jika tidak memungut jasa bunga? Ngutangi 10 juta sak iki, mosok 15 tahun engkas tetep kudu mbalek 10 juta? Yo tekor bandare!! Trus ge operasional apa?

 5. Mengharamkan bank konvensional, lalu harus hijrah ke bank syariah? Benarkah bank syariah lebih baik? Belum tentu. Bank syariah juga tidak lebih baik dari bank konvensional. Hanya istilah-istilah arabnya saja yang lebih banyak. Faktanya, peminjam di bank syariah tetap saja harus membayar dengan jumlah lebih dibanding yang dipinjamnya. Dan kalau tidak bayar angsuran meskipun karena usaha bangkrut, tetap saja jaminan disita.

 Iman mungkin satu satunya bukti bahwa perbankan syariah lebih baik. Tetapi bila berdasar data dan fakta belum tentu.

 6. Kisah orang jadi mlarat karena hutang bank ada. Tetapi yang mendapat manfaat positif karena keberadaan bank jauh lebih banyak.

 Sudah Berapa banyak masyarakat yang akhirnya punya rumah karena kpr?
 Sudah berapa juta rakyat akhirnya punya kndaraan karena bantuan leasing?
 Dan sdah berapa juta pengalaman masyarakat yang terbantu karena keberadaan bank ketika mendapat kesulitan?

Mosok, karena alasan iman lantas begitu saja mengabaikan fakta positif tentang bank? Padahal bisa jadi anda tahu dan mungkin punya pengalaman sendiri soal kontribusi positif bank.

Sistem perbankan kita memang bukan berarti tidak boleh dikritik. Tetapi meninggalkan perbankan karena alasan dogmatis semata, tentu saja hal ini konyol. Tidak bsa dipungkiri, perbankan kita juga masih memiliki banyak kelemahan. Tapi menurut saya, dasar mngkritisi perbankan harusnya brbasis ilmu dan logika, bukan dogma. Naifnya, justru banyak juga golongan terpelajar yang mengabaikan pengalaman intelektualnya dan mnyerah begitu saja pada dogma agama.

 Terakhir

Manusia sudah dilengkapi akal budi oleh Tuhan. Sehingga harusnya sudah tahu dan bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Ukuran baik dan buruk tidak bisa harus berpatokan pada ada atau tidak nya dalil. Dunia ini sangat kompleks, dan berkembang sangat cepat. Sangat tidak mungkin setiap peristiwa di dunia ini dari zaman kezaman pasti sudah ada aturanya didalam sebuah kitab yang kata-katanya tidak pernah bertambah?

 Perlu keberanian dan sikap kritis untuk membimbing jiwa agar terlepas dari mata rantai batin, dogma dan doktrin agama.

Mencari kebenaran itu tidak harus terkungkung dengan cara bagaimana suatu dogma harus ditafsirkan. Tetapi ada sudut pandang lain, yang bahkan dogma sendiri harusnya juga dipertanyakan. Mengapa tidak

 Salam merdeka
 Ahmad Jazuli, Pakar Riba Abal abal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun