Mohon tunggu...
Haruna Rosid
Haruna Rosid Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya suka mencoba hal-hal baru agar bertambah pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menciptakan Budaya Positif

25 Agustus 2022   21:49 Diperbarui: 25 Agustus 2022   22:10 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagai seorang pendidik, saya mengibaratkan diri sebagai seorang petani yang memiliki peranan penting untuk menjadikan tanamannya tumbuh subur. Saya harus memastikan bahwa tanah tempat tumbuh tanaman adalah tanah yang cocok untuk ditanami. Sekolah itu diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga saya harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik.

Dengan demikian, karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.

Oleh karena itu, saya harus menciptakan suatu lingkungan positif, dimana warga sekolah saling mendukung, saling belajar, saling bekerja sama sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan baik; dari kebiasaan-kebiasaan baik akan tumbuh menjadi karakter-karakter baik warga sekolah, dan pada akhirnya karakter-karakter dari kebiasaan-kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya positif.

Menciptakan budaya postif harus dimulai dengan pengetahuan, maka CGP dalam modul 1.4. mempelajari Teori Kontrol Dr. William Glasser hubungannya dengan 3 motivasi perilaku manusia, Teori Motivasi hukuman dan penghargaan, dan konsep pendekatan restitusi, Keyakinan Kelas, Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas, Lima posisi kontrol,  dan segitiga restitusi.

Saya merasa senang mempelajari modul 1.4 ini, materinya sangat tepat sekali dengan tugas dan kewajiban saya sebagai pendidik. Dimana setiap hari saya berhadapan dengan murid yang perlu disadarkan karena belum melaksanakan nilai-nilai yang diyakini dalam kelas. Saya menjadi termotivasi untuk memperbaiki diri, memulai dari diri sendiri untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi siswa dan menghindari hukuman pada siswa, karena dapat menyakiti dan menimbulkan rasa dendam.

Karena ketertarikan saya pada meteri budaya positif ini, saya mengikuti kegiatan pembelajaran tepat waktu, memperhatikan penjelasa, bertanya hal yang belum saya pahami dan memberikan pendapat ketika dibutuhkan.

Walaupun saya aktif dalam proses pembelajaran, nyatanya saya masih kesulitan untukm memahami materi secara mandiri, karena saya kurang dalam membaca, saya perlu menambah referensi yang lebih luas, tidak hanya mengandalkan materi dari LMS saja.

Dengan mempelajari materi ini, dimana saya dituntut untuk mampu menciptakan lingkungan positif serta mendukung murid menjadi pribadi yang bahagia, mandiri, dan bertanggung jawab, sesuai dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara, menguasai teori-teori pendukungnya, menganalisis kasus, sampai dengan mewujudkannya dalam aksi nyata, menjadikan kepribadian saya lebih matang. Saya tidak perlu menghukum murid, tidak perlu marah-marah dan dendam jika anak melakukan suatu kesalahan, saya harus melakukan segitiga restitusi, membuat saya lebih nyaman.

Tata tertib sekolah pasti ada di setiap sekolah. Dalam tata tertib diberlakukan adanya sanksi dan reward. Hal ini sudah berlangsung lama dan beragam penerapannya antar satu sekolah dengan sekolah lainnya. Beberapa sekolah menerapkan sanksi dengan poin, sekolah yang lain ada yang menerapkan dengan sanksi positif. Bagaimanakah mengubah  sanksi menjadi kesadaran akan keyakinan nilai-nilai, sehingga murid menyadari kesalahannya, mau merubah atas kesadaran sendiri sehingga tidak menimbulkan perasaan marah, takut atau bahkan dendam ?

Mengubah sesuatu yang sudah lama dengan sesuatu yang baru memang tidak mudah, membutuhkan kerjasama dan pemahaman bersama agar dapat bersam sama menciptakan budaya postif dan lambat laun meninggalkan hukuman atau konsekuensi dari suatu kesalahan.

Salah satu sisi dari tiga sisi restitusi adalah Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbehavior). Pada sisi ini, setiap tindakan dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu.

Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat di bawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka.

Saya yakin sekali, pada sisi ini akan terjadi kontraversi diantara para pendidik sendiri, jika tidak ada kesepemahaman. Sebab selama ini kesalahan adalah sesuatu yang tidak bisa ditolerir, sedangkan pada restitusi, suatu tindakan yang salah akan ditolerir, karena setiap tindakan pasti memiliki tujuan. Kontraversi ini bahkan bukan hanya terjadi pada suatu sekolah saja, tetapi mungkin akan terjadi pada setiap sekolah yang menerapkan restitusi.

Hal tersebut menjadi tantangan bagi CGP untuk dapat melakukan perubahan. Perubahan dimulai dari diri sendiri untuk merubah orang lain. Kolaborasi dengan semua komponen sekolah mutlak harus dilakukan. Kepala sekolah, wakil kepala sekolah, pengurus standar pendidikan di sekolah sampai dengan karyawan dan pelaksana harus memahami penerapan restitusi di sekolah. Harapannya akan ada persepsi dan langkah bersama dalam menciptakan budaya postif di sekolah.

Sebelum saya mengenal restitusi, saya menerapkan konsekuensi atas kesalahan yang dilakukan murid, bahkan sanksi saya berikan kepada murid sesuai dengan tata tertib yang berlaku.

Suatu contoh, murid yang datang terlambat ke sekolah, diberikan kredit poin kesalahan yang terus diakumulasi. Demikian juga siswa yang tidak mengerjakan tugas atau tidak berseragam sesuai aturan, akan di beri poin kesalahan. Pada jumlah tertentu, siswa tersebut akan diberi sanksi dengan pemanggilan orang tua, skors sampai dikeluarkan dari sekolah.

Hal tersebut ternyata menjadikan murid memiliki dendam kepada saya, mereka menjadi tidak terbuka, menjaga jarak dengan guru, hal ini tentu mengganggu terjadinya proses pembelajaran yang baik.

Oleh karena itu, pada masa yang akan datang saya akan menerapkan restitusi dengan memperbanyak keyakinan kelas yang harus dilakukan oleh siswa dengan penuh kesadaran. Saya yakin keyakinan seseorang akan lebih memotivasi seseorang dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna.

Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami tujuan mulianya.

Budaya positif merupakan bagian dari visi guru penggerak. Budaya positif harus dikembangkan sehingga mampu untuk mewujudkan visi guru penggerak yang nantinya juga akan lebih luas lagi menjadi visi sekolah. Yaitu "Terwujudnya merdeka belajar dan murid yang berprofil pelajar Pancasila". Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan adanya kolaborasi kekuatan positif yang ada baik dari luar maupun dari dalam sekolah (pemetaan kekuatan).

Dalam hal ini dapat dilakukan melalui suatu pendekatan yaitu pendekatan Inkuiri Apresiatif dengan tahapan BAGJA (Buat pertanyaan, Ambil pelajaran, Gali impian, Jabarkan rencana, Atur eksekusi). Inkuiri Apresiatif adalah suatu pendekatan berbasis kekuatan positif.

Dari sinilah, peran guru penggerak sangat penting dalam menularkan kebiasaan baik kepada guru lain dalam membangun budaya positif di sekolah. Antara lain: Guru penggerak harus mampu menjadi teladan, menjalin kolaborasi dengan rekan guru lain dan seluruh warga sekolah dalam melaksanakan budaya positif,  menggerakkan komunitas praktisi yang ada di sekolah,  menjadi coach bagi guru lain serta mampu menjadi pemimpin dalam pembelajaran yang berpihak pada murid.

Guru penggerak harus bisa menumbuhkan budaya positif di kelas menjadi budaya positif di sekolah dan menjadi visi di sekolah. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara memulai dari diri sendiri dalam menumbuhkan budaya positif di kelas dan menajdi teladan bagi seluruh warga sekolah, mensosialisasikan dan berkolaborasi dengan rekan guru serta Kepala Sekolah, Penuh kesabaran, keuletan, dan positif thinking terhadap penolakan ide dan pelanggaran,  terus melakukan refleksi dan perbaikan

Ayo berubah, bergerak untuk kemajuan pendidikan Indonesia.

Referensi :

https://ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id/artikel/tugas-1-4-a-9-koneksi-antar-materi-budaya-positif

Matei Modul 1.4 CGP angkatan 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun