Tengkulak menggunakan situasi pandemi maupun kelebihan pasokan untuk mempengaruhi kondisi psikologis peternak. Adanya kecemasan berlebihan menyebabkan mau tidak mau peternak membanting harga produknya dibawah harga pokok penjualan (HPP).Â
Peternak pun tidak dapat balik modal, bahkan mengalami kerugian. Bahasa sederhananya, lebih baik dijual dengan harga murah daripada tidak laku sama sekali.
Perusahaan pembibitan ayam petelur juga ikut berpartisipasi mendistribusikan telur infertil atau telur HE sehingga terjadi kelebihan pasokan telur ayam di pasar.Â
Padahal pemerintah telah melarang penjualan telur infertil yang diatur dalam Permentan Nomor 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.Â
Bab III pasal 13 menyebutkan, pelaku usaha integrasi, pembibit GPS, pembibit PS, pelaku usaha mandiri dan koperasi dilarang memperjualbelikan telur tertunas dan infertil sebagai telur konsumsi.
Selain itu, menurut Ditjen PKH ekspor telur ayam pada tahun 2020 sebanyak 78 ton sedangkan impor telur sebanyak 2.027,55 ton. Sehingga masih terdapat defisit nilai neraca ekspor-impor telur ayam sebab nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor. Hal tersebut menambah daftar panjang permasalahan telur ayam yang justru menyebabkan panic selling bagi peternak menjadi suatu keharusan.
Padahal penghasilan peternak sudah pas-pasan, sebab pengeluaran budidaya lebih banyak dihabiskan untuk pengadaan jagung sebagai bahan baku utama pakan ayam.Â
Sedangkan mayoritas jagung didapatkan dari impor padahal kebutuhannya lebih dari 50% dalam ransum. Harga jagung tingkat dunia pun mengalami kenaikan namun tidak diimbangi dengan kenaikan permintaan sehingga peternak tidak bisa menaikkan harga jual telur ayam.
Sebenarnya, banyak solusi yang dapat menjadi upaya pencegahan panic selling telur ayam. Diantaranya, penguatan mental peternak ayam petelur sebagai tokoh utama.Â
Dalam situasi pandemi, sebenarnya pasar masih mau menerima harga telur ayam yang normal. Namun karena terdapat rantai panjang penjualan dari peternak sampai ke pasar, adanya berbagai perilaku konsumen dan tidak meratanya distribusi telur ayam ke berbagai wilayah di Indonesia menyebabkan prinsip pasar berlaku, bahwa harga ditentukan oleh supply dan demand.
Berdasarkan data Ditjen PKH tahun 2020 yang diperoleh dari 34 provinsi, sebaran populasi ternak sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dimana populasi ayam ras petelur terbanyak berada di Provinsi Jawa Timur. Pengeluaran tertinggi untuk telur ayam berada di provinsi Sumatera Selatan sebanyak 694,4 juta butir. Sedangkan pemasukan tertinggi berada di Provinsi Banten sebanyak 571,1 juta butir. Hal tersebut menggambarkan distribusi telur ayam masih belum merata. Dimana terdapat wilayah yang defisit dan swasembada atau surplus telur ayam.