5 KK asal Kabupaten Sleman : 3 KK diantaranya benar-benar asli dari Sleman dan juga belum pernah ikut transmigrasi sebelumnya. 2 KK lainnya bukan asli dari Sleman, tetapi semuanya berasal dari Sumatera, dengan cara tertentu yang disepakati, bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sleman atau DIY.
5 KK asal Kulonprogo : 4 KK asli dari Kulonprogo, 1 KK asal berasal dari Sumatera.
10 KK asal Gunung Kidul : 1 KK asli Gunung Kidul, 9 KK berasal dari Sumatera, bahkan ada yang sudah berkali-kali ikut program transmigrasi. Terbukti, mereka yang pernah atau sudah berkali-kali pernah ikut program transmigrasi, bahwa aktivitas tersebut mereka gunakan sebagai bisnis, ada yang kalau desanya sudah definitif dan menerima sertifikat lahan, sebagaian atau semua lahan mereka dijual (bagi yang sudah berkali-kali) atau dijadikan investasi (bagi yang pernah ikut transmigrasi).
Bahkan, sewaktu tulisan ini dibuat, dimana daerah transmigrasi ini belum definitif, ada sebagian lahan usaha I (seluas 0,75 hektar) yang sudah diperjual-belikan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan setelah perjanjian program plasma sawit ditanda-tangani pada tanggal 20 Mei 2014, dan bagi hasilnya (sebesar 30 %) mulai diberikan pada bulan Pebruari 2015 dimana warga transmigran (petani plasma sawit) hanya mendapatkan nominal sebesar rp 40.000,- sampai rp 70.000,- per hektar, berhubung tanaman sawit yang sudah menghasilkan (TM) baru seluas 40 % sampai 50 % dari luas total lahan plasma sawit 249 hektar, maka semakin banyak lahan plasma sawit yang diperjual-belikan secara sembunyi-sembunyi, bahkan 2 hektar semuanya (istilahnya disebut dengan 1 paket).
Para transmigran yang berasal dari Sumatera itu, yang bukan asli dari Jawa, mereka dapat ikut  transmigrasi demikian, ada yang harus mengeluarkan biaya Rp 5 jt sampai dengan Rp 7 jt, bahkan ada yang lebih dari itu, karena disamping harus membayar biaya administrasi mulai dari proses perpindahan penduduk secara administrasinya sampai dengan diluluskan dalam proses penyeleksian dan harus memboyong anggota keluarganya ke Jawa, ada yang harus kost atau mengontrak dahulu di Jawa sebelum ditempatkan di Transito Tegalrejo.
Tetapi, terlepas dari itu semua, ada manfaatnya praktek bertransmigrasi ala yang demikian itu. Pengaruh positif yang dirasakan bagi transmigran yang benar-benar asli dari Jawa (transmigran murni) adalah semangat dan kemampuan mereka mengolah lahan dan kemampuan hidup di daerah transmigrasi, mampu men-support / menyemangati para transmigran murni. Mereka ini lebih lihai, lebih piawai, lebih berpengalaman, dalam menghadapi kehidupan di daerah transmigrasi yang belum ada listrik, jalan tanah, sering mendengar suara-suara sekumpulan kera, dan masih berdekatan dengan hutan.
Fenomena tersebut boleh dilestarikan atau perlu diperbaiki oleh Dinas / Instansi yang terkait, semua itu diserahkan kembali kepada kebijaksanaan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (PEMDA), Dinas / Instansi Pemerintah yang berwenang, dan stake holder yang terlibat dalam program transmigrasi.
Masalah pembinaan yang perlu mendapat perhatian dalam proses pembinaan di daerah UPT. Lubuk Talang ini adalah :
- Penentuan atau penunjukan Kepala UPT (KUPT)
- Seyogiyanya KUPT yang ditugaskan oleh Dinas yang berwenang kalau bisa yang sudah berpengalaman.
- Juga perlu diperhatikan bahwa jangan sampai ada saudara atau famili dari KUPT atau justru pegawai dinas setempat menjadi warga transmigrasi di daerah lokasi transmigrasi karena seperti yang terjadi di daerah UPT. Lubuk Talang ini, KUPT dalam proses pembinaannya menjadi tidak netral, ada indikasi bernada nepotisme, bahkan dalam membina tidak mampu mendidik warga transmigran dengan kepemimpinan yang baik. Disamping itu ada indikasi bahwa KUPT meng-claim memiliki lahan ± 4,5 hektar di daerah lokasi transmigrasi atau di lahan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di sekitar daerah lokasi transmigrasi yang sebelumnya melarang warga transmigrasi menebangi hutan HPT untuk memperluas lahannya. Lokasinya dapat dilihat di
- http://wikimapia.org/29828240/id/UPT-Lubuk-Talang-Trans-Lapindo-Calon-SP-9-Permukiman-Lahan-Pekarangan-Titik2-diplot-berdasarkan-GPS-Android-HPL-seluas-611-hektar
- Selain itu juga, ada indikasi menjual lahan transmigrasi atau lahan HPT kepada seorang mantan camat, orang-orang PT. DDP, dan lain-lain, seperti yang diberitakan di
- http://www.kompasiana.com/hartopo_pn/program-plasma-sawit-bermasalah-di-upt-lubuk-talang-malin-deman-mukomuko-bengkulu_54f84698a3331169638b511c
- http://bengkulutoday.com/144-hektar-lahan-upt-lubuk-talang-di-duga-plasma-siluman/
- http://wargabengkulu.blogspot.my/2015/03/kronologi-pemberitaan-kasus-konflik.html
- Program-program pembinaan, yang dijadikan proyek oleh Dinas setempat, seyogiyanya dilakukan lebih transparan dan lebih berpihak kepada kepentingan warga transmigran karena hampir semua anggarannya dari Pusat. Konon Pemerintah Pusat memberikan anggaran Rp 1 M per tahun selama 5 tahun untuk pembinaan setiap UPT di seluruh Indonesia. Contoh : program bantuan kambing peranakan Etawa (PE) dan bantuan listrik Pusat Listrik Tenaga Surya (PLTS). Seyogiyanya semua warga transmigrasi (semuanya 200 KK) mendapat haknya. Waktu itu yang diberikan kepada warga transmigrasi hanya 100 ekor kambing PE betina dan 40an jantan (hal ini sempat menjadi kasus) dan hanya 100 unit PLTS (3 unit diantaranya untuk fasilitas umum). Adanya kasus bantuan kambing PE yang bermasalah itu menyebabkan warga transmigrasi menjadi saling curiga dan tidak kompak lagi dalam menanggapi program-program pembinaan dari Dinas setempat. Mulai adanya kasus bantuan kambing PE itulah, warga transmigrasi mulai terpecah-belah persatuannya.
- Masalah terbesar yang sampai saat tulisan ini dibuat ( Desember 2013) belum diselesaikan oleh Dinas adalah masalah sertifikat lahan dan program kebun plasma sawit. Padahal warga transmigrasi yang ditempatkan tahun 2008 sebanyak 80 KK sudah berjalan 5 tahun dimana masa pembinaannya sudah selesai. Sementara itu lahan usaha II (dan sebagian lahan usaha I) seluas 249 hektar yang dimasukkan dalam program kebun plasma itu sebagiannya sudah dikelola oleh PT. DDP (lahan yang sudah ditanami tanaman sawit sudah sekitar 40 % sampai 50% dari luas 249 hektar) dan sudah dipanen oleh PT. DDP dengan hasil produksi 100 ton Tandan Buah Segar (TBS) per bulannya yang apabila dihargai minimal senilai Rp 1000,- per kg TBS maka sudah mencercah senilai Rp 100 juta per bulannya, sedangkan warga transmigran belum dapat apa-apa, padahal lahan tersebut milik warga transmigran. Lahan milik PEMDA setempat yang dibebaskan oleh Pemerintah Pusat untuk program transmigrasi di daerah ini sebenarnya berdasarkan informasi dari Pemerintahan Desa Lubuk Talang Kecamatan Malin Deman Kabupaten Mukomuko semuanya seluas lebih dari 1000 hektar, tetapi faktanya hanya tinggal 600an hektar saja. Ada indikasi lahan-lahan tersebut diperjual-belikan oleh sebagian warga setempat kepada PT. DDP secara tidak sah.
Tulisan ini dibuat dengan tujuan supaya bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua dan bisa menjadikan periksa bagi penyempurnaan program-program transmigrasi di masa-masa mendatang.
Tulisan ini dibuat tanggal 28 – 29 Desember 2013
Sumber Data :