Mohon tunggu...
Hartopo PN
Hartopo PN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani Sawit dan Karet

Lahir di Yogyakarta. Tinggal di Bengkulu sejak 2009. Pernah kuliah di Geografi UGM. Mulai 2009 bertani & berkebun sawit & karet. Nikah 1997 & dikaruniai 3 anak laki-laki.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masih Layakkah Program Transmigrasi Dilaksanakan di Kabupaten Mukomuko?

17 April 2016   12:19 Diperbarui: 19 April 2016   06:47 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah membaca pembertitaan di Kompas.Com edisi Kamis, 17/3/2016 berjudul “41 Persen Kabupaten Ini Dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan Sawit” seperti di bawah ini :

“Sebanyak 41 persen Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, dikuasai oleh 9 perusahaan perkebunan sawit. Sementara itu, sisanya merupakan lokasi hunian penduduk. Adapun total luas Kabupaten Mukomuko mencapai 4.037 kilometer persegi.

"Perusahaan skala besar telah mengepung kabupaten ini, yang 41 persennya dikuasai oleh 9 perusahaan, sementara 172.800 jiwa berhimpitan di 59 persen area yang tersisa," kata Manajer Program Yayasan Genesis, Supintri Yohar, Rabu (16/3/2016).

Hal itu disampaikan Supin dalam Lokakarya Kajian Lingkungan Hidup Kabupaten Mukomuko sebagai Dasar Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Tata Ruang Sumatera”.

Pemberitaannya di sini: 41 Persen Kabupaten Ini Dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan Sawit

Kondisi di atas telah dibuktikan oleh adanya kesulitan yang semakin meningkat dalam hal penentuan lokasi Unit Permukiman Transmigrasi (UPT). Penentuan lokasi sebuah UPT sudah sangat tidak layak baik secara ekonomis maupun politis. Contoh, penentuan lokasi UPT yang sekarang telah menjadi desa definitif Desa Gajah Makmur SP 8 dan UPT. Lubuk Talang (Trans Lapindo) desa persiapan Talang Makmur di Kecamatan Malin Deman.

Hal tersebut terjadi karena sebagian besar lahan sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sawit seperti PT. DDP, PT. ALNO dan PT. Agro Muko. Bahkan di UPT. Lubuk Talang sempat terjadi konflik lahan yang berkepanjangan sehingga melahirkan program plasma sawit yang sebenarnya sangat merugikan warga transmigrasi, hingga sampai detik ini pun manajemen program plasma sawit tersebut (Divisi Plasma UPT. Lubuk Talang) sangat menindas petani sawit.

Penentuan lokasi UPT yang sangat tidak layak tersebut dapat diperbandingkan secara sederhana dan mudah dengan penentuan lokasi UPT yang telah diprogramkan dengan sangat baik di Kecamatan Air Rami, yaitu yang sekarang telah menjadi desa definitif semuanya, yaitu SP 1, SP 2, SP 3, SP 4, SP 5 dan SP 6.

Dengan perencanaan penentuan lokasi UPT yang sangat baik di Kecamatan Air Rami tersebut sangat memungkinkan proses pembangunan jalan dan listrik yang paling penting, dapat dilaksanakan dengan merata dan lebih adil. Pembangunannya pun menjadi lebih ekonomis dan berpengaruh sangat baik secara politis dalam proses pembinaan warga transmigrasi yang secara nyata berimplikasi positip dapat mempercepat kemajuan pola pikir dan perkembangan perekonomian masyarakat transmigrasi.

Sedangkan akibat penentuan lokasi UPT yang sangat tidak layak di Desa Gajah Makmur SP 8 dan UPT. Lubuk Talang, dimana relatif sangat jauh :

1. Jarak UPT. Lubuk Talang dengan SP 8 sekitar 4 km,

2. Jarak SP 8 dengan Desa Perambah Hutan relatif lebih jauh,

3. Jarak Desa Perambah Hutan dengan Desa Talangarah juga relatif sangat jauh,

4. Jarak Desa Talangarah dengan Desa Talang Baru juga relatif jauh.

Sehingga hanya sampai Desa Talang Baru dari Ipuh, yang telah direncanakan dengan sangat baik dalam penentuan lokasi sebuah UPT atau pembangunan kawasan permukiman penduduk.

Perencanaan lokasi UPT yang sangat tidak layak di Kecamatan Malin Deman, menyebabkan banyak kerugian yang dirasakan oleh warga transmigrasi.

Kerugian-kerugian tersebut adalah :

1. Secara ekonomis

Berhubung jarak antar UPT relatif jauh dan sulit, maka dipastikan pembangunan jalannya relatif sangat mahal sehingga hanya mengandalkan jalan-jalan bekas jalan tikus (jalan-jalan bekas pengangkutan penebangan kayu legal maupun illegal). Pemda Kabupaten tidak akan memprioritaskan pembangunan jalan di daerah semacam ini. 

Akibatnya warga transmigrasi sangat sulit dan berat aksesibilitasnya untuk menjual hasil buminya dan melakukan kegiatan perdagangan dan pembangunan fisik. Apalagi untuk mengharapkan adanya listrik PLN, cukup impossible (tidak memungkinkan). Sehingga untuk pengadaan listrik secara swasembada adalah sangat mahal karena hanya dapat dilakukan dengan pengusahaan getset dengan harga BBM yang sangat mahal (harga BBM di pom bensin Ipuh Rp 7.000,- di SP 8 dan UPT. Lubuk Talang Rp 10.000,- sampai Rp 11.000,-), belum harga barang-barang pokok dan sekunder, apalagi barang-barang tersier lainnya.

2. Secara politis

Muncul dugaan bahwa program transmigrasi di UPT. Lubuk Talang hanya sebagai langkah usaha menyelamatkan dan meringankan beban warga Desa Gajah Makmur SP 8, sekaligus mengusahakan tenaga kerja murah bagi perusahaan perkebunan sawit PT. DDP. 

Menempatkan warga transmigrasi di daerah sangat terpencil (akses publik yang relatif sulit) adalah menjadikan jauh lebih mudah bagi oknum dinas transmigrasi terkait untuk melakukan intimidasi demi keamanan dan mulusnya melaksanakan program-program pembinaan yang diproyekkan, sehingga mayoritas warga transmigrasi yang hanya berpendidikan SD – SLTP dengan terpaksa harus selalu menerima dan dipaksa mendukung. Faktanya, ternyata berujung pada adanya dugaan / indikasi penyalahgunaan wewenang dalam hal penguasaan lahan plasma sawit oleh 4 kelompok tani “siluman” seluas 144 hektar.

Akibat dalam proses pembinaan disertai dengan intimidasi dan pemecahbelahan persatuan warga transmigrasi dan pelemahan kemampuan perekonomiannya (dengan terpaksa sebagian besar warga harus menjadi buruh lepas dan sebagain kecil warga menjadi buruh tetap di PT. DDP), maka warga transmigrasi menjadi relatif menjadi warga yang penakut dalam hal memperjuangkan kebenaran atau hak dan sulit bersatu (dalam arti lebih banyak mencari selamat dan untung untuk diri-sendiri).

Fakta di lapangan tersebut dapat dipetakan dan dicermati pada peta di bawah ini :

[caption caption="Peta Wikimapia"][/caption]

[caption caption="Peta Wikimapia"]

[/caption]

NB : Kedua peta di atas berskala sama (skala 1 : 1000), 1 km di lapangan berbanding 1 cm di peta.

 

Dengan situasi dan kondisi di atas, maka memang sudah tak layak program transmigrasi dilaksanakan di Kabupaten Mukomuko.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun