Menempatkan warga transmigrasi di daerah sangat terpencil (akses publik yang relatif sulit) adalah menjadikan jauh lebih mudah bagi oknum dinas transmigrasi terkait untuk melakukan intimidasi demi keamanan dan mulusnya melaksanakan program-program pembinaan yang diproyekkan, sehingga mayoritas warga transmigrasi yang hanya berpendidikan SD – SLTP dengan terpaksa harus selalu menerima dan dipaksa mendukung. Faktanya, ternyata berujung pada adanya dugaan / indikasi penyalahgunaan wewenang dalam hal penguasaan lahan plasma sawit oleh 4 kelompok tani “siluman” seluas 144 hektar.
Akibat dalam proses pembinaan disertai dengan intimidasi dan pemecahbelahan persatuan warga transmigrasi dan pelemahan kemampuan perekonomiannya (dengan terpaksa sebagian besar warga harus menjadi buruh lepas dan sebagain kecil warga menjadi buruh tetap di PT. DDP), maka warga transmigrasi menjadi relatif menjadi warga yang penakut dalam hal memperjuangkan kebenaran atau hak dan sulit bersatu (dalam arti lebih banyak mencari selamat dan untung untuk diri-sendiri).
Fakta di lapangan tersebut dapat dipetakan dan dicermati pada peta di bawah ini :
[caption caption="Peta Wikimapia"]
[caption caption="Peta Wikimapia"]
NB : Kedua peta di atas berskala sama (skala 1 : 1000), 1 km di lapangan berbanding 1 cm di peta.
Dengan situasi dan kondisi di atas, maka memang sudah tak layak program transmigrasi dilaksanakan di Kabupaten Mukomuko.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H