Hal tersebut dikarenakan Pohonnya yang menjulang tinggi nan rimbun ternyata menghasilkan kayu berkualitas baik, kuat dan awet, serta dapat digunakan sebagai kayu bangunan, perabotan rumah tangga.
Kulit kayunya yang berserat berguna sebagai tali, dan getahnya bisa memukat/jebakan burung, oleh masyarakat tradisional.
Dan kayunya malahan ada yang bisa dihasilkan bahan pewarna kuning. Hal tadi tentu saja, menjadi alasan perburuan pohon buah Cemepdak ini di alam oleh Masyarakat.
Jika tidak ada yang mengenalkan jenis sumber pengan ini kepada generasi selanjutnya, apalagi tidak mengkomersialisasikannya, tentu menjadi kerugian kita nantinya, dalam mencipta ketahanan pangan yang kuat.
Nah yang ingin saya katakan, dengan kelestarian Hutan yang terjaga, tentulah kita dapat menemukan sejuta bahan pangan yang terpendam, dan terus mengalirkan sejuta inspirasi pula dalam mencipta pangan atau kuliner yang layak diandalkan. Salah satunya Cempedak.
Dalam konteks luas, tidak hanya Cempedak, namun semua Flora dan Fauna yang berasal dari alam akan tentu akan menjadi tembok ketahanan dan sumber pangan kita yang tidak akan pernah mati, dalam menahan gempuran produk pangan luar.
Dengan ikut melestarikan alam, hutan dan lingkungan, tentu saja kita akan terus ingat jika pangan Indonesia tidak akan pernah kalah dengan pangan luar negeri yang telah berhasil dalam mengemas sumber pangan dari alam mereka sendiri dan pasti melestarikannya.
Tuhkan, kayak nya cerita tadi bisa sedikit menjawab dua kalimat mimim Kompasiana di awal tulisan ini. Iya gak min?Â
Ini baru Cempedak, akan banyak sumber pangan lainnya yang bisa terus dieksploitasi di alam lestari kita, dimana saja, di alas Nusantara ini. Jadi kita wajar kok untuk pantas  terus Jumawa oleh pangan lokal Indonesia ya!