Sedangkan Melati, sibuk meracik sambel terdahsyat menemani si ayam bakar buatan Lani, yang segera akan matang. Nah, sedangkan saya menyiapkan piring-piring dan gudukan nasi yang seketika akan tersedia menggunakan Rice-cooker.
Huah, kenekatan malam itu, menjadi bukti jika dapur tidak sebuas yang saya pikirkan sebelumnya. Dapur benar-benar bisa membakar semangat kami untuk menghadirkan kehangatan keluarga kami.
Terlepas dari rasa ayam dan ikannya enak apa tidak, kebersamaan pada malam itu, menjadi titik awal, dimana kebahagian itu simple dan selalu ada terhampar di depan mata kita, untuk kita nikmati bersama. Itulah resep kenikmatan yang tiada-tara, yakni kebersamaan tadi.
 "Awas apinya kecilin sayang, nanti gosong tuh ikannya," ucapku kepada Melati yang terus serius memperhatikan bakarannya.
Satu persatu potongan ayam dan ikan matang dan berkumpul di piring besar. Saatnya menyantap hasilnya. Lani sudah siap dengan nasi, menunggu ikan bakar itu mendarat di atasnya.
"Wah kelihatannya enak ni mah," ujar Lani.
"Kalau tidak enak, uang kembali," sahut Melati.
Kamipun tertawa terbahak-bahak kemudian. Sambil mencolek dagingnya di atas sambal yang pedas itu.
"Huaah, pedassss, toolong," teriak Lani, sambil meminum air putih.
Namun momen ini akan menjadi titik awal bagi saya, untuk dapat memelihara kejujuran dalam menjaga kebersamaan dari hal terkecil apapun di dalam rumah. Karena kejujuran akan menyampaikan kasih sayang kepada orang yang kita sayangi.