Mohon tunggu...
Har Sono
Har Sono Mohon Tunggu... -

hitam. dark. suka melamun.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sunset dan Sunrise (Sebuah Novel: Album 1)

3 Januari 2011   03:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:01 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pun sore ini, ketika kami bertemu di stasiun, dia menyebutku seperti itu.

Kereta senja meringsek masuk ke stasiun. Kepulan asap dan debu berhamburan, juga suara bising. Orang-orang seperti dimuntahkan dari kotak besi besar itu. Berduyun-duyun sembari membawa tas-tas besar mereka. Muntahan itu menyebar sedemikian rupa hingga membentuk titik-titik banyak di beberapa tempat. Suasana stasiun berubah padat ibarat semut yang keluar dari sarangnya.

Aku melihat Aziz di kejauhan. Dia masih mengenaliku. Sore ini, Aziz memakai setelan jeans dan kaos oblong warna biru tua. Di bahunya bergantungan tas besar bawaannya. Tangan kirinya menyeret koper besar.

“Sumi kenalkan ini kedua temanku, Bari dan Landung. Mereka satu jurusan juga dengan kita.”

Bari adalah pribadi yang ramah. Dia menyalamiku akrab. Dari awal senyumnya tak henti-henti berkembang. Dia memiliki kulit yang putih, lebih putih dari aku malah. Dan hidung yang mancung. Sangat tampan wajahnya. Tubuhnya dibalut dengan jaket warna putih dan jeans belel biru tua.

“Kau Erena? Lebih cantik dari yang diceritakan Aziz pada kami,” puji Bari kepadaku.

Pipiku langsung bersemu merah mendapat pujian itu.

Bari memperlihatkan sikap yang bersahabat. Ramah. Senyuman manis dari seorang tamu yang datang dari daerah lain. Karena saya adalah tuan rumah, dan mereka adalah tamu.

Tapi tidak untuk rekan Aziz yang satunya. Kami bertatapan sepersekin detik saat bertemu tadi, tapi dia buru-buru buang muka. Mulutnya membisu, tak seperti Bari atau Aziz yang terus becerita. Dia hanya berucap satu kata padaku, namanya. Lalu diam. Rahang mukanya tampak keras, rambutnya cepak, dia lebih hitam dari Bari. Namun matanya lebih indah. Beberapa kali kami bertatapan sepersekian detik, walau setelahnya dia membuang muka.

Kuakui, dadaku berdegup kencang saat itu. Entah rasa apa yang timbul. Muncul tiba-tiba saat kami bertatapan tadi. Dia tak tersenyum, namun sangat menawan. Matanya tajam dan dinaungi lebat bulu mata yang hitam. Dan aku tertawan di sana.

Ketika kami bertiga meninggalkan stasiun tugu, saya berjalan di sebelahnya. Saat itulah, saya bisa membauinya dengan sempurna. Keringatnya yang bercampur dengan parfum, yang entah sudah berapa jam dia pake, semakin sempurna merasuki hatiku. Aku tak merasakan hal tak mengenakan. Justru sebaliknya, aku terseret ke dalamnya.

Namanya, Landung

# # #

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun