KETIKA Fauzi Bowo mengaku kalah, struktur birokrasi Pemprov DKI serta merta guyah. Maklum, sudah menjadi rahasia umum bahwa di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo yang sentralistik, rantai komando di lingkaran para birokrat pemangku hirarki kepangkatan sepenuhnya berada dalam kendali Gubernur. Wewenang membuat keputusan strategis berikut pertanggungjawabannya, juga terkonsentrasi di pundak Gubernur Fauzi Bowo. Situasi seperti itulah yang, antara lain, membuat Wakil Gubernur Priyanto merasa diabaikan, dianggap tidak penting, dan menyatakan mundur meskipun akhirnya ditolak DPRD DKI.
Di sisi lain, dalam tempo lima tahun masa kepemimpinannya, Fauzi Bowo mampu “mewariskan” infrasruktur berskala raksasa seperti Banjir Kanal Timur, terminal terpadu Pulo Gebang, jalan layang Casablanca dan Antasari-Blok M serta rencana besar lain yang akan maupun sedang dan sudah dilaksanakan. Selain infrastruktur raksasa yang bisa dilihat dengan mata telanjang, juga ada warisan Fauzi Bowo yang sepi publisitas dan luput dari perhatian publik--padahal warisan itu dapat diharapkan mampu mewujudkan pemerintahan bersih.
Warisan itu adalah sistem e-rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Pemprov-DKI yang diterapkan sejak 2009, dua tahun setelah Fauzi Bowo menjabat Gubernur DKI. Sistem rekrutmen PNS secara on-line tersebut membuat proses seleksi CPNS transparan, jujur, akuntabel, bebas suap/ KKN, mampu menjaring lulusan terbaik dari universitas terkemuka di Indonesia.
Sistem e-rekrutmen yang mulai diterapkan tahun 2009 merekrut 3.225 CPNS, tahun 2010 merekrut 1.810 CPNS, dan seluruhnya berjumlah 5.035 CPNS yang kompeten, jujur, bersih. suap/KKN. Ihwal Sistem e-rekrutmen berikut data CPNS 2009-2010 dirilis di bkkdki.jakarta.go.id, situs resmi Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta.
Generasi Baru PNS Antikorupsi
Di penghujung tahun 2011, dalam forum diskusi dengan Fauzi Bowo yang digelar di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan, saya banyak bertanya tentang sistem e-rekrutmen CPNS DKI. Meskipun sebagian besar peserta dan wartawan terkesan tidak tertarik dengan topik tersebut, Fauzi Bowo dengan fasih menjelaskan latar belakang dan tujuannya membangun sistem e-rekrutmen sebagai upaya mewujudkan pemerintahan bersih dan terbebas dari korupsi.
Korupsi, kita tahu, sudah demikian akut dan canggih. Korupsi anggaran, misalnya, pada kenyataannya sudah terjadi sejak proses anggaran tersebut direncanakan dan bukan setelah anggaran ditetapkan untuk digunakan. Dan realitas itu ditengarai lazim terjadi di lembaga penerintahan dan di Banggar DPR RI.
Dan perilaku korup pegawai pemerintah juga lazim terjadi sejak proses pendaftaran, seleksi dan rekrutmen CPNS yang “tarip suapnya” per kepala berkisar antara Rp100 juta sampai Rp250 juta, tergantung daerah dan golongan yang dipilih si pencari kerja. Praktik rekrutmen CPNS seperti itu, sampai sekarang masih terus terjadi di sejumlah daerah, sebagian melibatkan kepala daerah dan jajaran pejabatnya dalam praktik percaloan CPNS.
Dari diskusi dan penjelasan Fauzi Bowo tentang sistem e-rekrutmen, dua hal layak diketahui khalayak ramai.
Pertama, sistem e-rekrutmen yang diterapkan Pemprov DKI pada tahun 2009 dan 2010 berhasil menjaring, menyeleksi dan merekrut 5.035 CPNS atas dasar kompetensi, pendidikan, kejujuran dan moralitas yang baik. Dari beberapa CPNS DKI angkatan 2009-2010 yang pernah saya ajak berbincang tentang hal tersebut, diperoleh keterangan bahwa rekrutmen CPNS DKI 2009-2010 memang bersih dari suap dan praktik KKN.
Kedua, dari 5.035 CPNS angkatan 2009-2010, terdapat 1.209 (seribu dua ratus sembilan!) akuntan (S1 Ekonomi Jurusan Akuntansi dan DIII) lulusan terbaik universitas negeri dan swasta terkemuka. Fakta tersebut setidaknya menjelaskan bahwa Fauzi Bowo sedang menyiapkan “pasukan khusus” untuk mengelola keuangan Pemprov DKI. Maklum, APBD yang mencapai Rp140 triliun tentu membutuhkan banyak akuntan terdidik yang handal dan jujur. Untuk itu tak bisa lain kecuali merekrut akuntan lulusan universitas terkemuka.
Ketika saya tanyakan kenapa latarbelakang dan tujuan penerapan sistem e-rekrutmen tersbut tidak terpublikasikan kepada khalayak luas, Fauzi Bowo hanya angkat bahu dan tersenyum. Selain diakui sebagai kelemahan aparat Humas Pemprov DKI, menurut Fauzi Bowo juga disebabkan pers lebih tertarik memberitakan pembangunan infrastruktur raksasa seperti fly-over, banjir atau kemacetan dibanding mempublikasikan sistem e-rekrutmen sebagai upaya membangun generasi baru PNS yang mampu mewujudkan pemerintahan bersih korupsi.
Harus Terus Dikawal
Setelah meraih gelar S1 ekonomi jurusan akuntansi, kebanyakan akuntan akan menempuh pendidikan profesi (terutama di Universitas Indonesia) agar mendapat gelar S.Ak (Sarjana Akutansi). Sebab, gelar S.Ak meluaskan peluang kerja sebagai auditor di lembaga keuangan seperti BPK, Departemen Keuangan, bahkan Kantor Akuntan Publik (KAP) PricewaterhouseCoopers (PwC), impian para S.Ak.
Maklum, PwC adalah KAP terbesar di dunia. Didirikan tahun 1849 dan berkantor pusat di New York City, PwC mempekerjakan lebih dari 130.000 profesional di 148 negara, termasuk Indonesia. Bagi S.Ak, bekerja di PwC bukan sekadarkebanggaan. PwC adalah pintu masuk untuk berkarier di perusahaan multinasional atau mengelola KAP milik sendiri. Faktanya, sebagian besar KAP ternama didirikan dan dikelola akuntan mantan auditor PwC.
Merekrut 1.209 akuntan lulusan universitas terkemuka, bukanlah perkara mudah. Tapi, dengan sistem e-rekrutmen yang berbasis internet, jumlah pendaftar memang berkali lipat lebih banyak dibanding rekrutmen konvensional lewat pos. Wajar jika sistem e-rekrutmen bisa menjaring lulusan universitas terkemuka dalam jumlah besar.
Dalam diskusi di Bulungan, Fauzi Bowo dengan tegas menyatakan bahwa sejak menjabat Gubernur rekrutmen CPNS dijamin bersih dari praktik suap/KKN. Oleh karena itu, sistem e-rekrutmen CPNS DKI 2009-2010 yang diterapkan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo, selain layak diteruskan oleh Gubernur Jokowi juga harius terus “dikawal” agar tidak terkontaminasi virus korupsi.
Menutup Celah yang Bisa Diselinapi Virus Korupsi
Sistem e-rekrutmen memang berhasil merekrut 5.035 CPNS kompeten, jujur, terdidik, handal dan layak disebut generasi baru PNS yang mampu mewujudlkan pemerintahan bersih. Sampai tahap rekrutmen CPNS, sistem e-rekrutmen memang efektif meniadakan praktik suap/KKN. Tapi, pada tahap pengangkatan CPNS menjadi PNS, terdapat celah yang bisa diselinapi virus korupsi. Pasalnya, selain dilaksanakan secara manual oleh BKD DKI Jakarta, pengangkatan CPNS menjadi PNS juga melibatkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang tidak berada di bawah kewenangan Gubernur DKI.
Hal lain, proses pengangkatan CPNS menjadi PNS juga berkaitan dengan anggaran gaji. Selama masih CPNS, gaji yang diterima hanya 60% dari jumlah gaji setelah diangkat jadi PNS. Jika jumlah CPNS 5.035 orang, maka selisih gaji 40% per bulan nilainya tentu mencapai puluhan miliar.
Selain itu, sangat mungkin ada “oknum” CPNS yang terbujuk melakukan suap supaya cepat diangkat jadi PNS. Jika hal itu terjadi, berarti sistem e-rekrutmen terkontaminasi virus korupsi. Kalau tidak segera diketahui dan diberantas tuntas, maka cepat atau lambat sistem e-rekrutmen justru diperalat koruptor .
Mencermati proses pengangkatan CPNS menjadi PNS, adalah “mengawal” kelahiran generasi baru PNS agar tidak terkontaminasi virus Korupsi.
Tapi, mencermati data Nomor Induk Kepagawaian (NIK) CPNS 2009-2010 yang diangkat jadi PNS yang dirilis BKD DKI Jakarta di situs bkkdki.jakarta.go.id, adalah menyaksikan keganjilan yang menimbulkan banyak pertanyaan: kenapa CPNS rekrutmen 2010 sudah diangkat jadi PNS, padahal CPNS rekrutmen 2009 masih sangat banyak yang belum diangkat jadi PNS? Apakah selisih masa kerja selama satu tahun tidak berpotensi mengacaukan “tolok ukur” kinerja, integritras dan persyaratan lain yang harus dipenuhi CPNS sebelum diangkat jadi PNS? Adilkah mendahulukan pengangkatan CPNS 2010 menjadi PNS padahal proses rekrutmen CPNS 2009 juga lewat sistem e-rekrutmen? Kalau sebagian CPNS 2009 yang telah bekerja sejak 2010 harus menerima gaji 60% selama lebih dari 2 tahun, atas dasar apa sebagian CPNS 2010 yang bekerja sejak 2022 tidak perlu menerima gaji 60% dalam kurun waktu yang sama dengan CPNS 2009? Apakah silang sengkarut tolok ukur, rasa keadilan, selisih masa kerja berikut besaran gaji, dan semua yang amburadul itu tidak menimbulkan kerumitan logika? Bukankah semestinya bisa dilaksanakan secara transparan dan sederhana?
Jawaban memuaskan dari semua pertanyaan di atas , sayangnya, tidak dapat ditemukan di situs resmi BKD DKI. Bahkan justru menimbulkan pertanyaan lain: apakah generasi baru PNS yang bebas virus korupsi hanya mimpi Fauzi Bowo seorang? Kalau itu juga mimpi kita semua, kenapa baru beberapa hari ditinggal Fauzi Bowo, proses proses pengangkatan CPNS menjadi PNS terkesan amburadul?
Syukurlah masih ada harapan dan optimisme bahwa Gubernur Jokowi dan Cawagub Ahok tidak hanya sekadar bisa menemukan jawaban yang benar dari semua pertanyaan di atas, tapi juga bisa menemukan cara yang efisien dan efektif untuk “mengawal” terwujudnya generasi baru PNS antikorupsi. Meskipun jadwal pelantikannya tertunda seminggu lebih, Gubernur Jokowi dan Cawagub Ahok tentu tidak ikut ketularan menunda tindakan memberantas korupsi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H