Mohon tunggu...
Angiola Harry
Angiola Harry Mohon Tunggu... Freelancer - Common Profile

Seorang jurnalis biasa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Penting Pahami Kolaborasi Jurnalisme dan Kehumasan

23 Januari 2023   10:57 Diperbarui: 21 Maret 2023   06:59 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu itu baru sekitar 5 tahun saya bekerja sebagai jurnalis dan itu terjadi di pertengahan 2008. Saya diminta untuk membantu kawan senior (mantan jurnalis selama 12 tahun) yang sudah tidak lagi menangani pekerjaan kewartawanan. 

Oh ya, Indonesia di tahun itu kebetulan sedang menuju tahun politik, karena menjelang Pemilu 2009. Lalu kita sebut saja si senior itu Mas Nop dan dia petinggi di sebuah partai politik, bekerja sebagai ahli di bidang komunikasi dan hubungan masyarakat (humas).

Saya mengenal dia ketika meliput kegiatan partai tersebut -sebagai tugas dari media massa tempat saya bekerja saat itu, yakni koran Media Indonesia. Sehari pasca liputan, berita tentang kegiatan partai tersebut pun diterbitkan di halaman dalam (halaman kedua) koran. 

Sore hari di hari itu, rupanya ada SMS masuk ke handphone saya (maklum jaman dulu belum ada WhatsApp). Singkat cerita, dari SMS berlanjut ke hubungan telfon. Dia menelfon dari kantor partai itu, karena nomor yang muncul di layar kaca HP saya diawali +6221....

Disingkat lagi ceritanya, pada intinya dia tertarik kepada tulisan saya, yang menurutnya banyak kalimat dan kata-kata yang memang dia harapkan. Mungkin kalau di jaman sekarang, kata-kata dan kalimat tersebut maksudnya ialah keywords dan SEO (untuk keterbacaan atau reach).  

Jaman dulu, pengukuran atau pengindikasian keyword dan SEO belum secanggih jaman sekarang. Dulu masih belum ada software pengukur keyword dan SEO, sehingga peran manusia masih sangat besar untuk membaca tone informasi (tentang tone ini akan dijelaskan selanjutnya). Dan menurut catatan Signal AI tentang efektifitas kehumasan (Public Relationship metric), bisa dibilang begini, "This is an important PR metric you can measure is the reach of specific publications."

Jadi, menurut Mas Nop, apa yang saya lakukan telah berhasil membantunya dalam hal reach pembaca. Tentunya saya menanyakan ke dia, 'Kenapa menurut dia, saya ini 'consider succeed' dalam meraih jangkauan pembaca?' Jawaban Mas Nop, karena pihaknya sudah mengukur potensi keberhasilan jangkauan tersebut (reach) dengan indikasi. 

Salah satunya, berupa kalimat dan kata-kata yang diharapkan muncul tadi -banyaknya keywords yang muncul dari tulisan yang saya bikin di artikel koran itu. Karena itulah dia senang membaca berita yang saya bikin tentang kegiatan partainya.

Nah, kemudian dari soal reach atau jangkauan pembaca tersebut, ternyata tugas Mas Nop belum selesai. Yang selesai adalah tugas saya sebagai penulis berita koran. Karena itulah Mas Nop meminta saya untuk datang ke kantornya dan menawarkan sebuah pekerjaan sampingan. Dia ingin saya ke kantornya untuk mendengarkan pekerjaan sampingan apa yang dia tawarkan. 

Sampai di kantornya, dia meminta saya membantu menganalisis berita-berita yang muncul, seputar aktivitas partainya. Saat itu masih dalam bentuk kliping, belum semua terdigitalisasi. Jadi saya diminta untuk membaca kliping di rumahnya, setiap weekend (entah Sabtu atau Minggu), karena di hari Senin laporan tentang hasil analisis tersebut sudah harus disodorkan ke Kepala Humas partai itu. Jadi Sabtu dan Minggu saya kerja di rumah dia.

Selanjutnya hasil analisis yang saya bikin itu, akan membantu Mas Nop untuk bikin press release berkala tentang isu terkini partainya, yang menjabarkan tentang banyak hal. Diantaranya menjabarkan tentang progress kinerja partainya, citra partainya di masyarakat, tone atau kecenderungan nilai berita tentang partainya, dan sebagainya, yang kemudian dirangkai dalam kalimat jurnalisme untuk press release. Di situlah kemudian saya belajar tentang dua hal, yakni brand impact dan sentiment analysis.

Brand image yang tidak lain adalah citra sepak terjang partai yang selama ini dilihat publik. Pencitraan ini tertuang dalam berita-berita politik karya para wartawan, yang biasanya dibikin lewat talking news method. Talking news ialah dimana wartawan akan melakukan wawancara ke pengamat politik tentang sepak terjang partai politik A, B, atau C. Kemudian mereka berkoordinasi dengan jurnalis yang nge-post di DPR, untuk juga mewawancara kader-kader partai berkaitan dengan isu dari hasil wawancara tersebut.

Dari situlah tampak gambaran sentiment analysis dimana tone-nya akan memperlihatkan kemana arah nilainya. Apakah negatif atau positif. Bila negatif, maka yang akan muncul di pemberitaan adalah ungkapan-ungkapan tentang ketidakpuasan, tanggapan-tanggapan dari isu miring, serta berbagai pernyataan reponsif atau issue counter (sebagai tanggapan alias bela diri). 

Sebaliknya, bila positif maka yang berita yang sering muncul adalah apresiasi publik, rencana program-program masa depan partai, bahkan out of the box programs. Juga berita tentang informasi koordinatif, seperti kolaborasi dengan pemerintah, lembaga, instansi, CSR swasta dan lainnya, karena nilai-nilai positif yang muncul di persepsi publik.

Tone dari brand image dan sentiment analysis tersebut kemudian akan mengundang media coverage. Nah, disinilah yang patut diwaspadai. Karena hal ini: "Good news is a bad news" bisa menjadi serangan balik dari persoalan reach tadi. 

Tone negatif bisa menjadi sesuatu yang sangat dicari media massa (ketimbang tone positif), sebagai bahan bakar pemberitaan. Bahasa sederhananya begini, "Berita positif kita tampung, tapi yang negatif lebih gede daya tampungnya." Kecuali tone positif tersebut memiliki nilai tersendiri bagi kepentingan media massa yang menerbitkan berita itu. Misalnya besar impact-nya bagi CEO media massa, bisa mengundang iklan atau kerjasama tertentu, dan sebagainya.

Maka di situlah inti dari tujuan Mas Nop meminta bantuan saya. Mas Nop ternyata ingin agar semua yang saya pelajari di atas, dieksekusi. Intinya pekerjaan yang dia berikan ke saya, harus bisa membantu dia mengantisipasi Crisis Communications. 

Karena menurutnya, crisis communication bukanlah hal yang harus diatasi setelah terjadi (is way too late when shit happen), melainkan hal yang harus diantisipasi. Maka Mas Nop pun melakukan monitoring dan pengukuran rutin indikator kehumasan, untuk menjaga reputasi partainya, dengan unsur-unsur (salah satunya) yang saya bantu ungkap.

Saya pun sangat bersyukur dari kesempatan yang diberikan Mas Nop. Karena dari situ, saya dengan kaca mata jurnalisme, telah diperkaya oleh beberapa unsur pengukuran kehumasan (PR metrics). Setidaknya ada empat hal keuntungan yang saya dapat:

1. Mengetahui tentang reach atau jangkauan media. Dari hal ini saya bisa mengasah cara menulis yang pantas untuk setiap peristiwa dan isu.
2. Memahami brand impact dari informasi yang beredar ke publik. Sebagai jurnalis, mengetahui brand impact akan sangat membantu dalam membuat tulisan bermanfaat dan antisipatif.
3. Membuat sentiment analysis yang didapat dari kumpulan informasi yang telah terbit atau beredar. Inilah pelajaran penting bagi jurnalis, yakni banyak mencari tahu.
4. Tahu tentang crisis communication, yang bagi para PR akan dipakai untuk mengantisipasi serangan. Tapi untuk jurnalis, ini bermanfaat untuk membuat kita senantiasa berpikir ke depan bahkan out of the box.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun