Mohon tunggu...
Angiola Harry
Angiola Harry Mohon Tunggu... Freelancer - Common Profile

Seorang jurnalis biasa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kenapa (Tidak) Bekerja dengan Cinta?

19 Februari 2020   09:29 Diperbarui: 21 Februari 2020   14:29 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puspita Zorawar. Foto: Dokumentasi pribadi

Bekerjalah dengan cinta. Tapi sayangnya, terungkap bahwa 70 persen karyawan berkinerja buruk bukan karena tak menyukai pekerjaannya, melainkan benci tempat kerjanya. Siapa yang mengungkap? 

Ahli human resource dari UGM Dra Puspita Zorawar M, Psi dalam sebuah diskusi dengan salah satu bank BUMN di Jakarta beberapa waktu lalu. Apa yang dikatakan Puspita Zorawar akhirnya menjawab cerita-cerita di bawah ini.

Diawali dengan sedikit kekesalan pada saat akhir masa kuliah, usai menerima surat keterangan lulus (SKL) dan transkrip akhir sementara. Kedua berkas itu adalah modal awal upaya diri mencari pekerjaan. Modal selanjutnya pengetahuan umum yang mantap, serta penampilan yang meyakinkan. Untuk urusan penampilan, maka diawali dulu dari potongan rambut.

Waktu itu kebetulan siang bolong, tengah hari panas kering musim kemarau, sedang berada di daerah Jatibening, Bekasi. Tampak ada tukang pangkas rambut yang sedang duduk menatap televisi. Tersirat makna bahwa jasa pangkas rambut tersebut sedang kosong pelanggan. Ya sudah berarti kebetulan, mumpung tidak diantri. "Permisi..."

Si tukang pangkas pun menoleh dengan wajah yang kalau kata orang Jawa "aras-aras"en' dan mengangkat dagu. Gelagatnya seperti terganggu kegiatannya menonton TV oleh kedatangan pelanggan.

"Mau cukur, Mas. Bisa?"

"Ya bisa atuh. Sok duduklah situh.."

Gujubuneng deh ini manusia. Jawabannya sekena omongannya saja kepada pelanggan. Awalnya jadi ragu, ini orang bisa mencukur apa tidak ya?

"Mas, tolong dirapihin aja rambut saya."

"Dirapihin? Gini aja udah rapih. Ya ngga?", kemudian dia taruh lagi gunting yang sudah dia pegang di meja cukur.

"Ya, maksud saya, coba pinggir dan belakangnya ditipiskan lagi, lalu atasnya juga sudah kepanjangan."

"Oh gitu. Ya udah.."

Dalam hati mulai keluar ocehan, "Bego banget sih nih tukang pangkas. Ya saya ini ke tukang cukur pasti mau potong rambut. Terus mentang-mentang sudah kelihatan rapi, ya sudah begitu saja? Niat nyari duit apa enggak sih ini manusia?"

Tapi ocehan itu hanya terlintas di kepala saja. Jangan sampai terucap supaya tak jadi masalah lebih besar lagi. Potong sana potong sini rambut dan akhirnya beres. Wow! Hasilnya... Keren! Benar-benar memuaskan. Ternyata di balik "malesin" kelakuannya, si abang-abang ini skilful juga.

"Nah, iya Mas, keren nih. Ya sudah begini saja sudah."

"Okeh. Cukup ya gitu ajah?"

Puspita Zorawar. Foto: Dokumentasi pribadi
Puspita Zorawar. Foto: Dokumentasi pribadi
"Iya Mas, begini saja sudah."

Dia pun melanjutkan membersihkan bekas rambut dan melakukan pemijatan di sekitar tengkuk. Dan wow lagi! Pijatannya pun mantap, menyegarkan. Memang dia sebenarnya piawai. Namun sayangnya, sikapnya yang tidak piawai.

Selanjutnya, hampir sama dengan kisah tukang pangkas, ini terjadi saat sudah di dunia kerja. Kali ini cerita di perusahaan media massa terkemuka di Indonesia. Si pemimpin perusahaan tersenyum kecil lantaran perusahaannya berhasil meraih target pendapatan iklan Rp 2 miliar. 

Sebaliknya, para karyawan perusahaan sumringah karena kerja keras mereka tak sia-sia. Namun kemudian si pimpinan perusahaan berhidung besar itu mengatakan, "Bulan depan minimal pendapatan iklan Rp 8 miliar!"

Ungkapan itu pun disambut dengan reaksi datar para karyawan. Hanya terdengar hiruk pikuk ringan dengan ekspresi wajah tersenyum, namun dibarengi kerutan dahi, "Wah..." Ada pula peserta yang dengan suara sayup mengungkapkan, "Ngasih target memang mudah bos, tapi menjalankannya?" Meski begitu, reaksi para peserta tersebut telah terbaca oleh sang pemimpin perusahaan, dan tentunya dia tak peduli.

Dari kedua cerita tersebut, pada hakikatnya, terungkap bahwa tukang pangkas dan para karyawan perusahaan media massa itu memang bagus dalam bekerja. Namun masih belum bagus dalam menyikapi pekerjaan. Dalam hal ini, belum bagus yang dimaksud ialah kurangnya semangat para karyawan. Kenapa bisa begitu ya?

Puspita Zorawar mengatakan fenomena seperti itu tak lain adalah ciri persoalan engagement atau ikrar diri terhadap sebuah komitmen. "Performa karyawan akan baik bila dalam dirinya terdapat engagement yang baik pula," ungkap Puspita. Bisa jadi, menurutnya, pengikatan semangat bekerja dengan apa yang diberikan perusahaan, pemilik usaha, atau atasan yang kurang fair terhadap karyawan.

Menurutnya hal seperti di atas, yakni kurangnya baiknya menyikapi sebuah tugas atau komitmen, jarang terjadi terhadap pemilik perusahaan atau usaha. Karena mereka sendiri yang menjalankan usaha dengan strateginya, sudah memperhitungkan risiko di depan dengan target keuntungan. Bila ada pemilik usaha yang bermental seperti cerita di atas, maka mereka adalah seburuk-buruknya pengusaha.

Lalu Puspita pun memaparkan data lima tahun ke belakang, mengenai nilai survey engagement. Data-data perusahaan mana yang berhasil menembus angka 4,29 atau world class company, dari tiga negara terkemuka di Asia Tenggara. 

Singapura, negara yang 90 kali lebih kecil dari Indonesia, terdapat 42 persen perusahaan yang dinyatakan world class company. Malaysia 32 persen, dan Indonesia hanya 29 persen saja. Apa yang terjadi pada Indonesia sehingga kalah dari Singapura dan Malaysia?

Orientasi Terbalik?

Salah satu yang mungkin bukan yang utama tapi sering terdengar, adalah orientasi terbalik. Sering terdengar keluhan di perkantoran, yaitu bagi yang absen lebih awal dan pulang lebih larut, bisa mengalahkan kinerja kurang. Kuantitas lebih penting dari kualitas. Penting meski bukan yang terpenting. Akibatnya, banyak ketidakadilan yang terjadi. Banyak pegawai yang pagi-pagi menjelang jam kerja, berkompetisi mengejar absen supaya tidak telat. Tapi ketika bekerja, hasilnya berantakan.

Pekerjaan dikerjakan dengan konsentrasi yang sudah turun, semangat kerja yang sudah melorot, dan pasca istirahat kantor hanya tinggal sisa-sisa tenaga yang ada. Alhasil pekerjaan dilakukan sampai lembur dengan tenaga dan pikiran sisa-sisa, serta boros pengeluaran energi kantor.

Mereka yang di golongan ini, pulang malam, kelelahan, tapi besok paginya harus kejar absen lagi. Alhasil, sering kita lihat di jalanan, semakin pagi menjelang siang, banyak pengendara yang ugal-ugalan berupaya tidak telat absen. Jadi pembalap di tempat yang bukan seharusnya dan jadi pecundang di tempat yang diharapkan. Jadi pembalap gagal, karyawan pun bukan. Sangat ironis.

Sementara tidak sedikit juga pegawai yang karena terdorong oleh konsentrasi bekerja, mereka berupaya datang dan sampai ke kantor dengan bugar dan fresh, dengan cara bangun lebih pagi, berangkat lebih awal sehingga tidak terlibat kompetisi kejar absen mendekati jam kerja. 

Pekerjaan pun dilakukan dengan lebih baik, recharge tenaga dan pikiran setelah jam istirahat masih mampu untuk menyelesaikan tantangan kerja hingga akhir jam kerja. Tak perlu lembur tapi pekerjaan beres dan rapi.

Sayangnya, banyak juga kantor yang kurang menghargai tipe orang-orang yang mampu me-manage waktu dan tenaga tersebut, karena mereka sering tampak pulang tenggo ketimbang lembur.

Parahnya, bos-bos mereka pun kelakuannya sama, tidak efektif, sehingga mereka yang sering lembur dianggap lebih baik dari yang tenggo. Lantaran itu tadi, kuantitas lebih diutamakan ketimbang kualitas. Maka ada dua hal yang patut dibereskan dari masalah-masalah di atas. 

Pertama manajemen waktu dan banyak-banyak memperbaiki diri. Kedua, perusahaan membenahi penilaian kinerja, banyak-banyak berdialog dengan pegawainya, saling mengisi mereka yang kekurangan dengan yang kelebihan.

Lebih jauh Puspita menjelaskan, ada 4 tipe engagement karyawan. Tipe kedua adalah yang harus bisa diantisipasi para atasan. Tipe ketiga dan setelahnya lebih baik tak ada:

  1. Pertama tipe karyawan efektif, yakni mereka yang memiliki skill tinggi dibarengi semangat dan kesetiaan yang tinggi.
  2. Kedua, karyawan detached, yakni mereka yang berkemampuan (skill) tinggi, namun semangat dan loyalitasnya loyo.
  3. Ketiga adalah karyawan frustasi, yang memiliki semangat dan kesetiaan cukup tinggi namun skill mereka rendah.
  4. Dan yang terakhir ialah tipe karyawan tak efektif, dengan semangat kerja, kesetiaan, serta kemampuan yang rendah.
  5. Tipe terakhir tak lain adalah karyawan benalu. Perusahaan tak bisa menghindari terdapatnya klasifikasi tipe karyawan tersebut. Namun perusahaan yang prima adalah yang 95 persen karyawannya efektif, sisanya hanya karyawan detached. Itu pun dengan manajemen yang terus mendorong peningkatan jumlah efektivitas karyawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun