Parahnya, bos-bos mereka pun kelakuannya sama, tidak efektif, sehingga mereka yang sering lembur dianggap lebih baik dari yang tenggo. Lantaran itu tadi, kuantitas lebih diutamakan ketimbang kualitas. Maka ada dua hal yang patut dibereskan dari masalah-masalah di atas.Â
Pertama manajemen waktu dan banyak-banyak memperbaiki diri. Kedua, perusahaan membenahi penilaian kinerja, banyak-banyak berdialog dengan pegawainya, saling mengisi mereka yang kekurangan dengan yang kelebihan.
Lebih jauh Puspita menjelaskan, ada 4 tipe engagement karyawan. Tipe kedua adalah yang harus bisa diantisipasi para atasan. Tipe ketiga dan setelahnya lebih baik tak ada:
- Pertama tipe karyawan efektif, yakni mereka yang memiliki skill tinggi dibarengi semangat dan kesetiaan yang tinggi.
- Kedua, karyawan detached, yakni mereka yang berkemampuan (skill) tinggi, namun semangat dan loyalitasnya loyo.
- Ketiga adalah karyawan frustasi, yang memiliki semangat dan kesetiaan cukup tinggi namun skill mereka rendah.
- Dan yang terakhir ialah tipe karyawan tak efektif, dengan semangat kerja, kesetiaan, serta kemampuan yang rendah.
- Tipe terakhir tak lain adalah karyawan benalu. Perusahaan tak bisa menghindari terdapatnya klasifikasi tipe karyawan tersebut. Namun perusahaan yang prima adalah yang 95 persen karyawannya efektif, sisanya hanya karyawan detached. Itu pun dengan manajemen yang terus mendorong peningkatan jumlah efektivitas karyawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H